Kabiet ini dilantik pada tanggal 7 September 1950 dengan Mohammad Natsir (Masyumi) sebagai perdana menteri. Kabinet ini merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh partai Masyumi. Kabinet ini juga merupakan kabinet koalisi di mana PNI sebagai partai kedua terbesar dalam parlemen tidak turut serta, karena tidak diberi kedudukan yang sesuai. Kabinet ini pun sesungguhnya merupakan kabinet yang kuat pormasinya di mana tokoh – tokoh terkenal duduk di dalamnya, seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX,Mr.Asaat,Ir.Djuanda, dan Prof Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo Program pokok dari Kabinet Natsir adalah: Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat.Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.
Keberhasilan yang pernah dicapai oleh Kabinet Natsir: 1. Di bidang ekonomi, ada Sumitro Plan yang mengubah ekonomi kolonial ke ekonomi nasional. 2. Indonesia masuk PBB 3. Berlangsung perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat.
Sementara kendala/masalah yang dihadapi selama kabinet Natsir adalah sebagai berikut. 1. Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan belanda mengalami jalan buntu (kegagalan) 2. Pada penerapan Sumitro Plan, pengusaha nasional diberi bantuan kredit, tetapi bantuan itu diselewengkan penggunanya sehingga tidak mencapai sasaran 3. Timbul masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan RMS
Berakhirnya kekuasaan kabinet disebabkan oleh adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disampaikan kepada parlemen tanggal 22 Januari 1951 dan memperoleh kemenangan, sehingga pada tanggal 21 Maret 1951 Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
KABINET NATSIR (6 September 1950 – 21 Maret 1951)
Kabiet ini dilantik pada tanggal 7 September 1950 dengan Mohammad Natsir (Masyumi) sebagai perdana menteri. Kabinet ini merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh partai Masyumi. Kabinet ini juga merupakan kabinet koalisi di mana PNI sebagai partai kedua terbesar dalam parlemen tidak turut serta, karena tidak diberi kedudukan yang sesuai. Kabinet ini pun sesungguhnya merupakan kabinet yang kuat pormasinya di mana tokoh – tokoh terkenal duduk di dalamnya, seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX,Mr.Asaat,Ir.Djuanda, dan Prof Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo Program pokok dari Kabinet Natsir adalah: Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat.Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.Keberhasilan yang pernah dicapai oleh Kabinet Natsir:
1. Di bidang ekonomi, ada Sumitro Plan yang mengubah ekonomi kolonial ke ekonomi nasional.
2. Indonesia masuk PBB
3. Berlangsung perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat.
Sementara kendala/masalah yang dihadapi selama kabinet Natsir adalah sebagai berikut.
1. Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan belanda mengalami jalan buntu (kegagalan)
2. Pada penerapan Sumitro Plan, pengusaha nasional diberi bantuan kredit, tetapi bantuan itu diselewengkan penggunanya sehingga tidak mencapai sasaran
3. Timbul masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan RMS
Berakhirnya kekuasaan kabinet disebabkan oleh adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disampaikan kepada parlemen tanggal 22 Januari 1951 dan memperoleh kemenangan, sehingga pada tanggal 21 Maret 1951 Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.