AgusAGSSeni tradisi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu seni kerakyatan dan seni keraton. Seni kerakyatan memiliki ciri-ciri: a) tumbuh sebagai bagian kebudayaan masyarakat tradisional di wilayah masing-masing, b) memiliki ciri khas dari masyarakat petani yang tradisional, c) perkembangannya lamban, d) merupakan bagian dari satu ‘kosmos’ kehidupan yang bulat tanpa terbagi dalam pengkotakan spesialisasi, e) karya seni bukan merupakan hasil kreativitas perseorangan, bersifat anomim sesuai dengan sifat kolektivitas masyarakat pendukungnya, f) bentuk seninya bersifat fungsional dalam arti tema, g) bentuk ungkap dan penampilannya berkaitan dengan kepentingan petani, h) tidak halus dan tidak rumit, i) penguasaan terhadap bentuk semacam itu tidak melalui latihan-latihan khusus, j) peralatan sederhana dan terbatas, k) dalam penyajian seolah-olah tidak ada jarak antara pemain dan penonton. Dalam perkembangan, pusat orientasi ‘kosmos’ bergeser kepada raja penguasa, dan seni tradisi dikembangkan menjadi seni yang beorientasi ke pusat baru, yaitu keraton. Muncullah seni keraton yang merupakan penghalusan dari seni kerakyatan. Seni keraton memiliki ciri-ciri yang berlawanan dengan seni kerakyatan. Ciri-ciri seni keraton adalah: a) didukung oleh komunitas keraton, b) bentuk dan isinya tergarap halus, c) penguasaan terhadapnya memerlukan latihan yang tekun dan lama, dan d) peralatannya kompleks. Dalam perkembangan, seni keraton juga berkembang ke luar tembok keraton, ke tengah-tengah masyarakat kota dan desa-desa meskipun tidak deras dan merata (Kayam, 1981: 59-60; Humardani via Rustopo, 2001: 106-108). Adapun contoh seni tradisi kerakyatan di Jawa Tengah adalah Tayub, Rodat, Angguk, Dolalak, Emprak, Barongan, Sintren, dan sebagainya. Sementara itu, seni tradisi keraton berupa seni tari, karawitan, pedalangan, seni rupa, dan sastra. Sekedar sebagai contoh seni tradisi keraton adalah tari bedhaya, srimpi, dan wayang wong.