dowosuluk Wujil karya Sunan Bonang dari segi puitika dengan konteks sejarah jawa Timuran dan perkembangan awal sastra pesisir di abad ke 15 dan 16 M. Teks asli Suluk Wujil sendiri dapat di jumpai antara lain dalam MS Bataviasche Genotschaft 54 (setelah RI merdeka disimpan di Museum Nasional, kini di Perpustakaan Nasional Jakarta) dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dilakukan oleh Poerbatjaraka dalam tulisannya “De Geheime Leer van Soenan Bonang (Soeloek Woedjil)” (majalah Djawa vol. XVIII, 1938). Karena Suluk Wujil ini merupakan buah karya yang ditulis pada masa peralihan Hindu - Islam, maka Suluk ini pun mencerminkan hal-hal penggambaran kehidupan budaya, intelektual dan keagamaan di Jawa Timur yang sedang berada pada masa transisi religiusitas dari kepercayaan Hindu beralih menuju kepercayaan Islam. Peralihan itu sendiri ditandai dengan runtuhnya satu kerajaan Hindu terbesar terakhir di Pulau Jawa yakni Kerajaan Majapahit dan mulai besarnya kerajaan Demak Bintoro selaku kerajaan Islam Pertama di Pulau Jawa. Demak sendiri sebenarnya memiliki keterkaitan langsung dengan Majapahit karena sang pendiri Kerajaan Demak yakni Raden Patah merupakan putera raja Majapahit Prabu Kertabumi atau Brawijaya V dari hasil perkawinannya dengan seorang puteri Cina yang telah memeluk Islam. Dengan runtuhnya Majapahit ini secara langsung berpengaruh pada tata nilai kehidupan masyarakat sekaligus menandai perpindahan kegiatan kebudayan dari sebuah kerajaan Hindu beralih ke kerajaan Islam. Di ranah sastra sendiri peralihan itu tercermin dari terhentinya kegiatan menulis sastra Jawa Kuna sepeninggal penyair terakhir Majapahit, Mpu Tantular dan Mpu Tanakung, yang meninggal dunia pada pertengahan abad ke-15 tanpa penerus yang kuat. Dengan begitu pusat pendidikan pun lambat laun beralih ke pusat-pusat baru di daerah pesisir yang dekat dengan Kerajaan Demak. Dari segi bahasa Suluk Wujil ini memperlihatkan gaya bahasa yang tidak biasa dan terkesan aneh karena menggunakan bahasa Jawa Madya yang memang pada saat itu tidak lazim digunakan dalam penulisan tembang. Tidak hanya itu, dari segi puitika pun, Sunan Bonang menggunakan gaya tembang Aswalalita dan Dandanggula yang menyimpang dari patron penyair-penyair kebanyakan di zaman Hindu. Oleh karenanya, hanya dari kedua ciri dan gaya tersebut saja kita langsung bisa merasakan semangat peralihan yang begitu kentara dalam Suluk Wujil ini. Tapi meskipun begitu, pilihan Sunan Bonang yang tetap mempertahankan penggunaan bentuk tembang Jawa Kuno yaitu aswalalita, yang didasarkan pada puitika Sanskerta dan juga banyak menggunakan tamsil-tamsil yang tidak asing dalam kebudayaan Jawa pada masa itu seperti misalnya tamsil wayang, dalang dan lakon cerita pewayangan seperti Perang Bharata antara Kurawa dan Pandawa, menjadikan karyanya tidak dirasakan sebagai sesuatu yang asing bagi pembaca sastra Jawa, malahan dipandangnya sebagai suatu kesinambungan. Ciri lain yang membuat Suluk Wujil karya Sunan Bonang ini menjadi karya penting karena isi dari tembang ini memang menitik beratkan pada masalah hakiki seputar wujud dan rahasia-rahasia terdalam dari ajaran agama Islam dan dipadu dengan pertanyaan metafisik yang esensial dan menggoda sepanjang zaman yang memang begitu digandrungi oleh orang-orang terpelajar pada masa itu. Demikianlah sebagai karya bercorak tasawuf paling awal dalam sastra Jawa, kedudukan Suluk Wujil dan suluk-suluk Sunan Bonang yang lain sangatlah penting. Sejak awal pengajarannya tentang tasawuf, Sunan Bonang menekankan bahwa konsep fana’ atau persatuan mistik dalam tasawuf tidak mengisyaratkan kesamaan manusia dengan Tuhan, yaitu yang menyembah dan Yang Disembah.
0 votes Thanks 1
navalsa
Suluk wijil adalah karya penting sunan bonang untuk menggambarkan kehidupan budaya
Karena Suluk Wujil ini merupakan buah karya yang ditulis pada masa peralihan Hindu - Islam, maka Suluk ini pun mencerminkan hal-hal penggambaran kehidupan budaya, intelektual dan keagamaan di Jawa Timur yang sedang berada pada masa transisi religiusitas dari kepercayaan Hindu beralih menuju kepercayaan Islam. Peralihan itu sendiri ditandai dengan runtuhnya satu kerajaan Hindu terbesar terakhir di Pulau Jawa yakni Kerajaan Majapahit dan mulai besarnya kerajaan Demak Bintoro selaku kerajaan Islam Pertama di Pulau Jawa. Demak sendiri sebenarnya memiliki keterkaitan langsung dengan Majapahit karena sang pendiri Kerajaan Demak yakni Raden Patah merupakan putera raja Majapahit Prabu Kertabumi atau Brawijaya V dari hasil perkawinannya dengan seorang puteri Cina yang telah memeluk Islam. Dengan runtuhnya Majapahit ini secara langsung berpengaruh pada tata nilai kehidupan masyarakat sekaligus menandai perpindahan kegiatan kebudayan dari sebuah kerajaan Hindu beralih ke kerajaan Islam.
Di ranah sastra sendiri peralihan itu tercermin dari terhentinya kegiatan menulis sastra Jawa Kuna sepeninggal penyair terakhir Majapahit, Mpu Tantular dan Mpu Tanakung, yang meninggal dunia pada pertengahan abad ke-15 tanpa penerus yang kuat. Dengan begitu pusat pendidikan pun lambat laun beralih ke pusat-pusat baru di daerah pesisir yang dekat dengan Kerajaan Demak. Dari segi bahasa Suluk Wujil ini memperlihatkan gaya bahasa yang tidak biasa dan terkesan aneh karena menggunakan bahasa Jawa Madya yang memang pada saat itu tidak lazim digunakan dalam penulisan tembang. Tidak hanya itu, dari segi puitika pun, Sunan Bonang menggunakan gaya tembang Aswalalita dan Dandanggula yang menyimpang dari patron penyair-penyair kebanyakan di zaman Hindu. Oleh karenanya, hanya dari kedua ciri dan gaya tersebut saja kita langsung bisa merasakan semangat peralihan yang begitu kentara dalam Suluk Wujil ini. Tapi meskipun begitu, pilihan Sunan Bonang yang tetap mempertahankan penggunaan bentuk tembang Jawa Kuno yaitu aswalalita, yang didasarkan pada puitika Sanskerta dan juga banyak menggunakan tamsil-tamsil yang tidak asing dalam kebudayaan Jawa pada masa itu seperti misalnya tamsil wayang, dalang dan lakon cerita pewayangan seperti Perang Bharata antara Kurawa dan Pandawa, menjadikan karyanya tidak dirasakan sebagai sesuatu yang asing bagi pembaca sastra Jawa, malahan dipandangnya sebagai suatu kesinambungan. Ciri lain yang membuat Suluk Wujil karya Sunan Bonang ini menjadi karya penting karena isi dari tembang ini memang menitik beratkan pada masalah hakiki seputar wujud dan rahasia-rahasia terdalam dari ajaran agama Islam dan dipadu dengan pertanyaan metafisik yang esensial dan menggoda sepanjang zaman yang memang begitu digandrungi oleh orang-orang terpelajar pada masa itu.
Demikianlah sebagai karya bercorak tasawuf paling awal dalam sastra Jawa, kedudukan Suluk Wujil dan suluk-suluk Sunan Bonang yang lain sangatlah penting. Sejak awal pengajarannya tentang tasawuf, Sunan Bonang menekankan bahwa konsep fana’ atau persatuan mistik dalam tasawuf tidak mengisyaratkan kesamaan manusia dengan Tuhan, yaitu yang menyembah dan Yang Disembah.