Mbaru Niang adalah rumah adat dari wilayah Pulau Flores, Indonesia. Rumah adat Mbaru Niang berbentuk kerucut dan memiliki lima lantai dengan tinggi sekitar 15 meter. Rumah adat Mbaru niang dinilai sangat langka karena hanya terdapat di kampung adat Wae Rebo yang terpencil di atas pegunungan. Usaha untuk mengkonservasi Mbaru Niang telah mendapatkan penghargaan tertinggi kategori konservasi warisan budaya dari UNESCO Asia-Pasifik tahun 2012 dan menjadi salah satu kandidat peraih Penghargaan Aga Khan untuk Arsitektur tahun 2013.[1][2]
Penjelasan:
Mbaru Niang berbentuk kerucut dengan atap yang hampir menyentuh tanah. Atap yang digunakan rumah adat Mbaru Niang ini menggunakan daun lontar. Mirip rumah adat "honai" di Papua, Mbaru Niang adalah rumah dengan struktur cukup tinggi, berbentuk kerucut yang keseluruhannya ditutup ijuk. Mbaru Niang memiliki 5 tingkat dan terbuat dari kayu worok dan bambu serta dibangun tanpa paku. Tali rotan yang kuatlah yang mengikat konstruksi bangunan. Setiap mbaru niang dihuni enam sampai delapan keluarga.[3]
Setiap lantai rumah Mbaru Niang memiliki ruangan dengan fungsi yang berbeda beda yaitu:
tingkat pertama disebut lutur digunakan sebagai tempat tinggal dan berkumpul dengan keluarga
tingkat kedua berupa loteng atau disebut lobo berfungsi untuk menyimpan bahan makanan dan barang-barang sehari-hari
tingkat ketiga disebut lentar untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan, seperti benih jagung, padi, dan kacang-kacangan
tingkat keempat disebut lempa rae disediakan untuk stok pangan apabila terjadi kekeringan,
tingkat kelima disebut hekang kode untuk tempat sesajian persembahan kepada leluhur.[4]
Jawaban:
Mbaru Niang adalah rumah adat dari wilayah Pulau Flores, Indonesia. Rumah adat Mbaru Niang berbentuk kerucut dan memiliki lima lantai dengan tinggi sekitar 15 meter. Rumah adat Mbaru niang dinilai sangat langka karena hanya terdapat di kampung adat Wae Rebo yang terpencil di atas pegunungan. Usaha untuk mengkonservasi Mbaru Niang telah mendapatkan penghargaan tertinggi kategori konservasi warisan budaya dari UNESCO Asia-Pasifik tahun 2012 dan menjadi salah satu kandidat peraih Penghargaan Aga Khan untuk Arsitektur tahun 2013.[1][2]
Penjelasan:
Mbaru Niang berbentuk kerucut dengan atap yang hampir menyentuh tanah. Atap yang digunakan rumah adat Mbaru Niang ini menggunakan daun lontar. Mirip rumah adat "honai" di Papua, Mbaru Niang adalah rumah dengan struktur cukup tinggi, berbentuk kerucut yang keseluruhannya ditutup ijuk. Mbaru Niang memiliki 5 tingkat dan terbuat dari kayu worok dan bambu serta dibangun tanpa paku. Tali rotan yang kuatlah yang mengikat konstruksi bangunan. Setiap mbaru niang dihuni enam sampai delapan keluarga.[3]
Setiap lantai rumah Mbaru Niang memiliki ruangan dengan fungsi yang berbeda beda yaitu:
tingkat pertama disebut lutur digunakan sebagai tempat tinggal dan berkumpul dengan keluarga
tingkat kedua berupa loteng atau disebut lobo berfungsi untuk menyimpan bahan makanan dan barang-barang sehari-hari
tingkat ketiga disebut lentar untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan, seperti benih jagung, padi, dan kacang-kacangan
tingkat keempat disebut lempa rae disediakan untuk stok pangan apabila terjadi kekeringan,
tingkat kelima disebut hekang kode untuk tempat sesajian persembahan kepada leluhur.[4]