Seorang ulama dari Jawa Timur yang juga mantan Rais Aam PB Nahdlatul Ulama, KH Ahmad Shiddiq, suatu ketika pernah menyitir konsep ukhuwah (persaudaraan). Menurutnya, ada tiga macam ukhuwah, yaitu ukhuwah Islamiyah(persaudaraan umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan bangsa), dan ukhuwah basyariyah(persaudaraan umat manusia). Ukhuwah basyariyah bisa juga disebut ukhuwah insaniyah.
Pada konsep ukhuwah Islamiyah, seseorang merasa saling bersaudara satu sama lain karena sama-sama memeluk agama Islam. Umat Islam yang dimaksudkan bisa berada di belahan dunia mana pun. Dalam konsep ukhuwah wathaniyah, seseorang merasa saling bersaudara satu sama lain karena merupakan bagian dari bangsa yang satu, misalnya bangsa Indonesia. Ukhuwah model ini tidak dibatasi oleh sekat-sekat primordial seperti agama, suku, jenis kelamin, dan sebagainya. Adapun, dalam konsep ukhuwah basyariyah, seseorang merasa saling bersaudara satu sama lain karena merupakan bagian dari umat manusia yang satu yang menyebar di berbagai penjuru dunia. Dalam konteks ini, semua umat manusia sama-sama merupakan makhluk ciptaan Tuhan.
Hampir sama dengan ukhuwah wathaniyah, ukhuwah basyariyahjuga tidak dibatasi oleh baju luar dan sekat-sekat primordial seperti agama, suku, ras, bahasa, jenis kelamin, dan sebagainya. Menurut hemat saya, ukhuwah basyariyah merupakan level ukhuwah yang tertinggi dan mengatasi dua ukhuwah lainnya: Islamiyah dan wathaniyah. Artinya, setelah menapaki ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah, sudah sepatutnya seseorang menggapai ukhuwah yang lebih tinggi, lebih mendalam, dan lebih mendasar, yaitu ukhuwah basyariyah.
Penjelasan:
Dengan semangat ukhuwah basyariyah, seseorang melihat orang lain terutama sebagai sesama manusia, bukan apa agamanya, sukunya, bangsanya, golongannya, identitasnya, dan baju-baju luar lainnya. Kita mau menolong seseorang yang membutuhkan pertolongan bukan karena dia seagama, sesuku, atau sebangsa dengan kita misalnya, melainkan karena memang dia seorang manusia yang berada dalam kesulitan dan sudah seharusnya kita tolong, apa pun agama dan sukunya.
Dalam ukhuwah basyariyah,seseorang merasa menjadi bagian dari umat manusia yang satu: jika seorang manusia “dilukai”, maka lukalah seluruh umat manusia. Hal ini sesuai dengan pesan Alquran dalam surah Al-Mâ’idah [5] Ayat 32: barang siapa membunuh seorang manusia tanpa alasan yang kuat, maka dia bagaikan telah membunuh seluruh umat manusia. Sebaliknya, barang siapa menolong seseorang, maka ia telah menolong seluruh manusia.
Betapa sangat indah, kuat, dan mendalamnya pesan yang disampaikan ayat Alquran di atas. Kemudian, apakah ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah--yang masih mempertimbangkan dan mementingkan identitas formal dan baju luar seseorang--lantas tidak diperlukan lagi? Tentu saja keduanya masih dibutuhkan. Tetapi, seseorang perlu berhati-hati, jangan sampai ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah yang diekspresikannya terjatuh pada apa yang bisa diistilahkan sebagai “fanatisme” (juga “nasionalisme”) yang sempit dan picik.
Dalam konteks itu, misalnya, seseorang mau menolong dan mau berteman dengan orang lain karena faktor agamanya dan kebangsaannya belaka. Seseorang yang beragama Islam hanya mau “bersentuhan” dengan seseorang yang beragama Islam juga. Atau lebih sempit lagi hanya mau “bersentuhan” dengan seseorang yang sealiran/semazhab dan segolongan belaka. Seseorang juga hanya mau “bersentuhan” dan bekerja sama dengan seseorang yang secara formal diidentifikasi sebagai bangsa Indonesia.
Ukhuwah wathaniyah yang sempit juga bisa terjatuh pada apologi dan pembelaan seseorang yang tidak proporsional bagi bangsanya. Padahal, kalau bangsa kita salah dan berbuat jahat (misalnya mangagresi dan menjajah negara lain), maka menjadi kewajiban dari warganyalah untuk mengkritik, menyalahkan, dan meluruskannya. Meskipun agama, mazhab, dan kebangsaannya sama dengan kita, jika seseorang berbuat salah dan zalim, harus kita kritik dan tunjukkan kesalahannya secara lugas, jujur, dan tegas.
Dalam kasus lain, kadang ada ukhuwah Islamiyah yang dipahami secara sempit dan picik yang lantas menggerakkan seseorang untuk menempatkan para pemeluk agama di luar Islam sebagai saingan bahkan musuh yang layak diserang dan dibinasakan. Ukhuwah Islamiyah yang seperti ini tentu saja kontraproduktif karena diekspresikan secara fanatik dan dogmatik.
3 votes Thanks 2
DhiraDhia
aku in folow kk jdi boleh gk folow back aku? please......
Jawaban:
Seorang ulama dari Jawa Timur yang juga mantan Rais Aam PB Nahdlatul Ulama, KH Ahmad Shiddiq, suatu ketika pernah menyitir konsep ukhuwah (persaudaraan). Menurutnya, ada tiga macam ukhuwah, yaitu ukhuwah Islamiyah(persaudaraan umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan bangsa), dan ukhuwah basyariyah(persaudaraan umat manusia). Ukhuwah basyariyah bisa juga disebut ukhuwah insaniyah.
Pada konsep ukhuwah Islamiyah, seseorang merasa saling bersaudara satu sama lain karena sama-sama memeluk agama Islam. Umat Islam yang dimaksudkan bisa berada di belahan dunia mana pun. Dalam konsep ukhuwah wathaniyah, seseorang merasa saling bersaudara satu sama lain karena merupakan bagian dari bangsa yang satu, misalnya bangsa Indonesia. Ukhuwah model ini tidak dibatasi oleh sekat-sekat primordial seperti agama, suku, jenis kelamin, dan sebagainya. Adapun, dalam konsep ukhuwah basyariyah, seseorang merasa saling bersaudara satu sama lain karena merupakan bagian dari umat manusia yang satu yang menyebar di berbagai penjuru dunia. Dalam konteks ini, semua umat manusia sama-sama merupakan makhluk ciptaan Tuhan.
Hampir sama dengan ukhuwah wathaniyah, ukhuwah basyariyahjuga tidak dibatasi oleh baju luar dan sekat-sekat primordial seperti agama, suku, ras, bahasa, jenis kelamin, dan sebagainya. Menurut hemat saya, ukhuwah basyariyah merupakan level ukhuwah yang tertinggi dan mengatasi dua ukhuwah lainnya: Islamiyah dan wathaniyah. Artinya, setelah menapaki ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah, sudah sepatutnya seseorang menggapai ukhuwah yang lebih tinggi, lebih mendalam, dan lebih mendasar, yaitu ukhuwah basyariyah.
Penjelasan:
Dengan semangat ukhuwah basyariyah, seseorang melihat orang lain terutama sebagai sesama manusia, bukan apa agamanya, sukunya, bangsanya, golongannya, identitasnya, dan baju-baju luar lainnya. Kita mau menolong seseorang yang membutuhkan pertolongan bukan karena dia seagama, sesuku, atau sebangsa dengan kita misalnya, melainkan karena memang dia seorang manusia yang berada dalam kesulitan dan sudah seharusnya kita tolong, apa pun agama dan sukunya.
Dalam ukhuwah basyariyah,seseorang merasa menjadi bagian dari umat manusia yang satu: jika seorang manusia “dilukai”, maka lukalah seluruh umat manusia. Hal ini sesuai dengan pesan Alquran dalam surah Al-Mâ’idah [5] Ayat 32: barang siapa membunuh seorang manusia tanpa alasan yang kuat, maka dia bagaikan telah membunuh seluruh umat manusia. Sebaliknya, barang siapa menolong seseorang, maka ia telah menolong seluruh manusia.
Betapa sangat indah, kuat, dan mendalamnya pesan yang disampaikan ayat Alquran di atas. Kemudian, apakah ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah--yang masih mempertimbangkan dan mementingkan identitas formal dan baju luar seseorang--lantas tidak diperlukan lagi? Tentu saja keduanya masih dibutuhkan. Tetapi, seseorang perlu berhati-hati, jangan sampai ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah yang diekspresikannya terjatuh pada apa yang bisa diistilahkan sebagai “fanatisme” (juga “nasionalisme”) yang sempit dan picik.
Dalam konteks itu, misalnya, seseorang mau menolong dan mau berteman dengan orang lain karena faktor agamanya dan kebangsaannya belaka. Seseorang yang beragama Islam hanya mau “bersentuhan” dengan seseorang yang beragama Islam juga. Atau lebih sempit lagi hanya mau “bersentuhan” dengan seseorang yang sealiran/semazhab dan segolongan belaka. Seseorang juga hanya mau “bersentuhan” dan bekerja sama dengan seseorang yang secara formal diidentifikasi sebagai bangsa Indonesia.
Ukhuwah wathaniyah yang sempit juga bisa terjatuh pada apologi dan pembelaan seseorang yang tidak proporsional bagi bangsanya. Padahal, kalau bangsa kita salah dan berbuat jahat (misalnya mangagresi dan menjajah negara lain), maka menjadi kewajiban dari warganyalah untuk mengkritik, menyalahkan, dan meluruskannya. Meskipun agama, mazhab, dan kebangsaannya sama dengan kita, jika seseorang berbuat salah dan zalim, harus kita kritik dan tunjukkan kesalahannya secara lugas, jujur, dan tegas.
Dalam kasus lain, kadang ada ukhuwah Islamiyah yang dipahami secara sempit dan picik yang lantas menggerakkan seseorang untuk menempatkan para pemeluk agama di luar Islam sebagai saingan bahkan musuh yang layak diserang dan dibinasakan. Ukhuwah Islamiyah yang seperti ini tentu saja kontraproduktif karena diekspresikan secara fanatik dan dogmatik.