f4dhl1
Mudasir? Kamu Mudasir? Bagaimana caranya kamu masuk kamar ini? Mudasir? Kenapa? Tidak kenal saya lagi? Saya Atikah. Isterimu. Dulu, kamu mengantar saya ke Jakarta. Kita berpisahan di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Kamu cerita di surat, sehabis mengantar saya kamu langsung pulang ke kampung mengurus sawah. Sampai setahun lebih kita saling berkirim surat. Sesudah musibah datang, surat-suratmu tidak datang lagi.
Jangan pergi, Mudasir. Jangan tinggalkan saya. Apa saya sudah tidak punya daya tarik lagi? Kamu dulu sering bilang saya cantik. Saya memang cantik. Kecantikan yang alami, tanpa gincu dan bedak. Kamu suka saya apa adanya. Kamu sering bilang begitu. Ini saya, Atikah. Saya tahu, penyiksaan ini bikin saya tidak secantik dulu lagi. Kalau ada cermin di kamar ini, mungkin saya bisa segera tahu. Wajah saya bisa saja sudah seperti gombal busuk. Bacin dan tidak layak dipandang-pandang. Bikin jijik ya?
Tapi, Mudasir, kamu menikahi saya lahir batin ‘kan? Kamu bukan hanya menikahi wajah saya? Kalau memang benar kamu di sini, tolong saya. Keluarkan saya dari sekapan ini. Lalu kita pulang kampung bersama-sama. Tidak perlu melapor kepada Police Raja Diraja, tidak guna melapor kepada Menteri Tenaga Kerja. Kita warga negara Indonesia, bukan warga negara Philipina. Beruntunglah mereka yang berasal dari Philipina. Bahkan presiden mereka pun peduli kepada nasib para tenaga kerjanya, terutama yang bekerja di manca negara. Kita? Kalau banyak uang, diperas sampai habis tulang sumsum. Tapi kalau ada musibah, pura-pura tidak tahu, diabaikan.
Mudasir, itu kenyataan. Kita binatang penghasil devisa negara. Sebutan pahlawan hanya slogan. Bukan kenyataan. Cuma khayalan para birokrat yang baru menduduki kursi jabatan. Agar kelihatan bekerja di mata atasan, dan disebut punya kesetiakawanan yang kuat terhadap sesama warganegara.
Terinspirasi dari Novel “Umang”Ditulis kembali oleh Mei Sartika/XII AK 1/36 TOKOH:MAYANGSARI : 25 tahun; santriwati; selalu ingin tahu Aku seorang Umang. Aku juga yatim piatu. Sebenarnya aku dari Pulau Sumatra, tapi entah mengapa, aku bisa sampai di suatu pesantren di Pulau Jawa. Aku tertarik mempelajari ilmupangracutan sukma yang aku baca dari buku kuno di perpustakaan Masjid Istiqlal di Jakarta. Setelah berpuasa 7 hari dengan hanya sahur dan berbuka dengan kunyit, akhirnya aku berhasil mempraktikannya dan bertemu dengan wanita cantik penguasa Pantai Selatan, Nyi Roro Kidul. Dan sekarang, aku ingin pulang.Mayangsari : (memasuki pekarangan masjid) Assalamu’alaikum… Kok tidak ada yang menjawab ya? Oh, iya. Ini kan rohku. Mana ada yang bisa mendengarku. (menepuk jidad)Mayangsari : (berjalan beberapa langkah menuju jasad ditinggal) Lho, ke mana? Ke mana jasadku? Siapa yang menggesernya? Tadi jelas ada di sini.Mayangsari : Nah itu Zahra, Azizah, Ustadzah Murni, dan teman-teman yang lain. Tapi, kenapa semua tampak sedih? Kenapa mereka menangis? Ada apa ini?Mayangsari : (kembali bingung mencari jasad) Aduh!! Di mana sih badanku? Aku harus kembali ke badanku. Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.Mayangsari : Hah?? Mayat?? Mayat siapa itu? Ini jam berapa sih? (melihat ke arah jam dinding) Jam 10.50. Ini siang atau malam? Sayang aku tidak bisa membedakannya. Andai saja aku sudah kembali ke badanku, pasti aku tahu ini siang atau malam. Wah!! Lampu masjid tidak menyala. Berarti ini siang.Mayangsari : (mencoba mendengar pembicaraan teman-teman) Kok tidak ada di mana-mana ya? Pasti ada yang main-main sama badanku. Aduh, mereka itu ngomong apa sih? Andai saja aku bisa mendengarnya.Mayangsari : (melihat sekeliling masjid) Ke mana lagi aku harus mencarinya? Aku harus segera tahu siapa yang meninggal itu. Apakah mungkin Ustadzah Rahmi? Aku tidak melihatnya di manaun. Kalaupun iya, aku harus ikut memandikan dan menyalatinya.Mayangsari : Bod*h!! Kenapa aku tidak mencari tahu dengan membaca tulisan di nisan itu? (mendekati nisan) Astaghfirullahaladzim!! Tidak.. Aku belum mati.. Aku masih hidup. Zahra, Azizah, aku masih hidup. Heii!! Dengarkan aku!!Mayangsari : Satu-satunya jalan agar orang dapat mendengar teriakank adalah kembali ke badanku. Aku harus membaca mantra. (konsentrasi membaca mantra) Ya Allah izinkan aku kembali ke badanku. Sakwise lelungan, sakwise ngumbara, mbalek menyang raga, mbaleko menyang raga. Gampang tanpa alangan, gampang kaya dene metu …Mayangsari : Aku sudah kembali (bergumam)Hei, aku masih hidup, aku belum mati. (bangun sambil melepas kain kain penutup kepala)
Jangan takut! Ak masih kenal kalian.Aku masih ingat kalian.
Aku masih Mayangsari seperti yang kalian kenal. Suasana tenang kembali. Ustadzah Murni merangkulku. Disusul Zahra, Azizah dan teman-teman yang lain. Mereka bergantian memelukku. Suasana duka berubah menjadi bahagia bercampur haru biru.
0 votes Thanks 2
ArifHasanMoh
wahh maaf saya gak tau jadinya beginii :(
check aja di > http://tikawhy17.wordpress.com/2013/04/05/contoh-naskah-drama-monolog/ disitu lengkap ;;)
Jangan pergi, Mudasir. Jangan tinggalkan saya. Apa saya sudah tidak punya daya tarik lagi? Kamu dulu sering bilang saya cantik. Saya memang cantik. Kecantikan yang alami, tanpa gincu dan bedak. Kamu suka saya apa adanya. Kamu sering bilang begitu. Ini saya, Atikah. Saya tahu, penyiksaan ini bikin saya tidak secantik dulu lagi. Kalau ada cermin di kamar ini, mungkin saya bisa segera tahu. Wajah saya bisa saja sudah seperti gombal busuk. Bacin dan tidak layak dipandang-pandang. Bikin jijik ya?
Tapi, Mudasir, kamu menikahi saya lahir batin ‘kan? Kamu bukan hanya menikahi wajah saya? Kalau memang benar kamu di sini, tolong saya. Keluarkan saya dari sekapan ini. Lalu kita pulang kampung bersama-sama. Tidak perlu melapor kepada Police Raja Diraja, tidak guna melapor kepada Menteri Tenaga Kerja. Kita warga negara Indonesia, bukan warga negara Philipina. Beruntunglah mereka yang berasal dari Philipina. Bahkan presiden mereka pun peduli kepada nasib para tenaga kerjanya, terutama yang bekerja di manca negara. Kita? Kalau banyak uang, diperas sampai habis tulang sumsum. Tapi kalau ada musibah, pura-pura tidak tahu, diabaikan.
Mudasir, itu kenyataan. Kita binatang penghasil devisa negara. Sebutan pahlawan hanya slogan. Bukan kenyataan. Cuma khayalan para birokrat yang baru menduduki kursi jabatan. Agar kelihatan bekerja di mata atasan, dan disebut punya kesetiakawanan yang kuat terhadap sesama warganegara.
Terinspirasi dari Novel “Umang”Ditulis kembali oleh Mei Sartika/XII AK 1/36 TOKOH:MAYANGSARI : 25 tahun; santriwati; selalu ingin tahu
Aku seorang Umang. Aku juga yatim piatu. Sebenarnya aku dari Pulau Sumatra, tapi entah mengapa, aku bisa sampai di suatu pesantren di Pulau Jawa. Aku tertarik mempelajari ilmupangracutan sukma yang aku baca dari buku kuno di perpustakaan Masjid Istiqlal di Jakarta. Setelah berpuasa 7 hari dengan hanya sahur dan berbuka dengan kunyit, akhirnya aku berhasil mempraktikannya dan bertemu dengan wanita cantik penguasa Pantai Selatan, Nyi Roro Kidul. Dan sekarang, aku ingin pulang.Mayangsari : (memasuki pekarangan masjid) Assalamu’alaikum… Kok tidak ada yang menjawab ya? Oh, iya. Ini kan rohku. Mana ada yang bisa mendengarku. (menepuk jidad)Mayangsari : (berjalan beberapa langkah menuju jasad ditinggal) Lho, ke mana? Ke mana jasadku? Siapa yang menggesernya? Tadi jelas ada di sini.Mayangsari : Nah itu Zahra, Azizah, Ustadzah Murni, dan teman-teman yang lain. Tapi, kenapa semua tampak sedih? Kenapa mereka menangis? Ada apa ini?Mayangsari : (kembali bingung mencari jasad) Aduh!! Di mana sih badanku? Aku harus kembali ke badanku. Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.Mayangsari : Hah?? Mayat?? Mayat siapa itu? Ini jam berapa sih? (melihat ke arah jam dinding) Jam 10.50. Ini siang atau malam? Sayang aku tidak bisa membedakannya. Andai saja aku sudah kembali ke badanku, pasti aku tahu ini siang atau malam. Wah!! Lampu masjid tidak menyala. Berarti ini siang.Mayangsari : (mencoba mendengar pembicaraan teman-teman) Kok tidak ada di mana-mana ya? Pasti ada yang main-main sama badanku. Aduh, mereka itu ngomong apa sih? Andai saja aku bisa mendengarnya.Mayangsari : (melihat sekeliling masjid) Ke mana lagi aku harus mencarinya? Aku harus segera tahu siapa yang meninggal itu. Apakah mungkin Ustadzah Rahmi? Aku tidak melihatnya di manaun. Kalaupun iya, aku harus ikut memandikan dan menyalatinya.Mayangsari : Bod*h!! Kenapa aku tidak mencari tahu dengan membaca tulisan di nisan itu? (mendekati nisan) Astaghfirullahaladzim!! Tidak.. Aku belum mati.. Aku masih hidup. Zahra, Azizah, aku masih hidup. Heii!! Dengarkan aku!!Mayangsari : Satu-satunya jalan agar orang dapat mendengar teriakank adalah kembali ke badanku. Aku harus membaca mantra. (konsentrasi membaca mantra) Ya Allah izinkan aku kembali ke badanku. Sakwise lelungan, sakwise ngumbara, mbalek menyang raga, mbaleko menyang raga. Gampang tanpa alangan, gampang kaya dene metu …Mayangsari : Aku sudah kembali (bergumam)Hei, aku masih hidup, aku belum mati. (bangun sambil melepas kain kain penutup kepala)
Jangan takut! Ak masih kenal kalian.Aku masih ingat kalian.
Aku masih Mayangsari seperti yang kalian kenal.
Suasana tenang kembali. Ustadzah Murni merangkulku. Disusul Zahra, Azizah dan teman-teman yang lain. Mereka bergantian memelukku. Suasana duka berubah menjadi bahagia bercampur haru biru.