Perubahan iklim yang menyebabkan kekeringan dan banjir di berbagai wilayah membuat pertanian semakin lesu. Alternatif yang paling menarik adalah munculnya pertanian dalam ruangan yang membawa ruang-ruang hidroponik ke pusat-pusat perkotaan dan menghasilkan produk makanan lebih banyak. Hal itu mengurangi biaya dan dampak lingkungan yang diakibatkan proses distribusi.
Ahli fisiologi tanaman Jepang, Shigeharu Shimamura membangun pertanian dalam ruangan terbersar di Perfektur Miyagi. Bekas pabrik Sony itu kini telah disulap menjadi rumah pertanian hidroponik berteknologi tinggi yang memungkinkan pekerja untuk memanen ribuan selada setiap harinya.
2. Printer makanan 3D
Film fiksi ilmiah telah lama membayangkan masa depan ketika makanan secara ajaib muncul saat tombol ditekan. Saat ini, hal itu memungkinkan karena makanan bisa diolah secara instan menggunakan printer makanan 3D. Cukup mengisi mesin dengan bahan-bahan dan menjalankan programnya, kita tinggal menunggu mesin secara otomatis mengolah bahan makanan. Perangkat ini juga dapat mencetak pizza dan burger.
3. Taman dalam ruangan
Definisi 'astronaut food' mungkin akan segera berubah. Penelitian teknologi tanaman ini bahkan menemukan cara agar tanaman dapat tumbuh dan berbuah di dalam ruangan untuk membantu para astronot makan makanan sehat. NASA beberapa waktu lalu telah mengembangkan teknologi hidroponik tetapi tak berlangsung lama karena prioritas utamanya adalah eksplorasi ruang angkasa.
4. Kemasan biodegradable dari rumput laut
Kerusakan lingkungan terbesar saat ini diakibatkan sampah plastik dari pembungkus makanan dan botol minuman. Harga yang murah dan mudah dibuat menjadi penyebab menumpuknya sampah plastik. Di Islandia, desainer produk, Ari Jonsson, menciptakan alternatif botol plastik sekali pakai yang terbuat dari agar-agar. Agar-agar digunakan untuk bahan masakan sebagai pengganti gelatin tetapi juga dapat dicampur dengan air dan dituangkan ke dalam cetakan untuk membuat wadah makanan tahan lama, termasuk botol air, yang benar-benar biodegradable.
5. In Vitro Meat
Ketersediaan daging menjadi topik panas dalam diskusi global mengenai dampak lingkungan dari makanan karena besarnya sumber daya yang diperlukan untuk memelihara ternak.
Misalnya, dibutuhkan sekitar 441 galon air untuk memproduksi satu pon daging sapi dan jumlah yang sama dari daging menghasilkan 22,3 pon emisi karbon dioksida. Hal itu berkontribusi terhadap perubahan iklim pada tingkat yang mengkhawatirkan. Beberapa tahun lalu, para ilmuwan makanan di Belanda menemukan solusi kontroversial yang dinamai Lab-grown meat atau in vitro meat.
Melalui teknologi itu, otot tumbuh dari sel induk sapi yang sebenarnya diolah menjadi sesuatu yang disebut ‘beef burger etis’. Proses ini rumit dan sangat mahal. Burger pertama dihargai Rp. 4.281.185 tapi merupakan burger bebas lemak yang menurut laporan penguji, rasanya cukup baik.
6. Tanaman yang lebih produktif
Mengatasi kelaparan dunia seolah seperti tujuan alami dari teknologi produksi pangan. Beberapa ahli biologi berpikir jagung mutan mungkin jawabannya. Para ilmuwan menemukan cara untuk mengeksploitasi mutasi genetik alami dan kemudian melakukan pembuahan silang jagung mutasi dengan tanaman jagung tradisional untuk menghasilkan biji jagung yang lebih besar tanpa mengubah aspek lain dari jagung tersebut.
Hasilnya adalah peningkatan hasil panen hingga 50 persen. Hasil yang mengejutkan untuk daerah pertanian yang sedang berjuang memenuhi permintaan makanan dengan areal terbatas. Meskipun terobosan itu belum diuji di luar laboratorium, para ilmuwan sudah mencari cara memanfaatkan mutasi genetik yang sama pada tanaman pokok lainnya seperti gandum dan beras.
Perubahan iklim yang menyebabkan kekeringan dan banjir di berbagai wilayah membuat pertanian semakin lesu. Alternatif yang paling menarik adalah munculnya pertanian dalam ruangan yang membawa ruang-ruang hidroponik ke pusat-pusat perkotaan dan menghasilkan produk makanan lebih banyak. Hal itu mengurangi biaya dan dampak lingkungan yang diakibatkan proses distribusi.
Ahli fisiologi tanaman Jepang, Shigeharu Shimamura membangun pertanian dalam ruangan terbersar di Perfektur Miyagi. Bekas pabrik Sony itu kini telah disulap menjadi rumah pertanian hidroponik berteknologi tinggi yang memungkinkan pekerja untuk memanen ribuan selada setiap harinya.
2. Printer makanan 3D
Film fiksi ilmiah telah lama membayangkan masa depan ketika makanan secara ajaib muncul saat tombol ditekan. Saat ini, hal itu memungkinkan karena makanan bisa diolah secara instan menggunakan printer makanan 3D. Cukup mengisi mesin dengan bahan-bahan dan menjalankan programnya, kita tinggal menunggu mesin secara otomatis mengolah bahan makanan. Perangkat ini juga dapat mencetak pizza dan burger.
3. Taman dalam ruangan
Definisi 'astronaut food' mungkin akan segera berubah. Penelitian teknologi tanaman ini bahkan menemukan cara agar tanaman dapat tumbuh dan berbuah di dalam ruangan untuk membantu para astronot makan makanan sehat. NASA beberapa waktu lalu telah mengembangkan teknologi hidroponik tetapi tak berlangsung lama karena prioritas utamanya adalah eksplorasi ruang angkasa.
4. Kemasan biodegradable dari rumput laut
Kerusakan lingkungan terbesar saat ini diakibatkan sampah plastik dari pembungkus makanan dan botol minuman. Harga yang murah dan mudah dibuat menjadi penyebab menumpuknya sampah plastik. Di Islandia, desainer produk, Ari Jonsson, menciptakan alternatif botol plastik sekali pakai yang terbuat dari agar-agar. Agar-agar digunakan untuk bahan masakan sebagai pengganti gelatin tetapi juga dapat dicampur dengan air dan dituangkan ke dalam cetakan untuk membuat wadah makanan tahan lama, termasuk botol air, yang benar-benar biodegradable.
5. In Vitro Meat
Ketersediaan daging menjadi topik panas dalam diskusi global mengenai dampak lingkungan dari makanan karena besarnya sumber daya yang diperlukan untuk memelihara ternak.
Misalnya, dibutuhkan sekitar 441 galon air untuk memproduksi satu pon daging sapi dan jumlah yang sama dari daging menghasilkan 22,3 pon emisi karbon dioksida. Hal itu berkontribusi terhadap perubahan iklim pada tingkat yang mengkhawatirkan. Beberapa tahun lalu, para ilmuwan makanan di Belanda menemukan solusi kontroversial yang dinamai Lab-grown meat atau in vitro meat.
Melalui teknologi itu, otot tumbuh dari sel induk sapi yang sebenarnya diolah menjadi sesuatu yang disebut ‘beef burger etis’. Proses ini rumit dan sangat mahal. Burger pertama dihargai Rp. 4.281.185 tapi merupakan burger bebas lemak yang menurut laporan penguji, rasanya cukup baik.
6. Tanaman yang lebih produktif
Mengatasi kelaparan dunia seolah seperti tujuan alami dari teknologi produksi pangan. Beberapa ahli biologi berpikir jagung mutan mungkin jawabannya. Para ilmuwan menemukan cara untuk mengeksploitasi mutasi genetik alami dan kemudian melakukan pembuahan silang jagung mutasi dengan tanaman jagung tradisional untuk menghasilkan biji jagung yang lebih besar tanpa mengubah aspek lain dari jagung tersebut.
Hasilnya adalah peningkatan hasil panen hingga 50 persen. Hasil yang mengejutkan untuk daerah pertanian yang sedang berjuang memenuhi permintaan makanan dengan areal terbatas. Meskipun terobosan itu belum diuji di luar laboratorium, para ilmuwan sudah mencari cara memanfaatkan mutasi genetik yang sama pada tanaman pokok lainnya seperti gandum dan beras.