sitiardiaantii
[1] Bismillâhirrahmânirrahîm. “Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”.
Ayat pertama ini menegaskan pentingnya penyebutan atau tepatnya pengakuan manusia atas kuasa Tuhan, atas keesaan-Nya dan atas segala kebesarann-Nya.
[2] Alhamdulillâhi Rabbil ‘Âlamîn. “Segala puji bagi Tuhan, [yaitu] Tuhan bagi semesta alam”.
Setelah manusia mengakui segala kebesaran Tuhan, maka pada ayat kedua ini Tuhan melalui surat al-Fatihah menasehatkan manusia supaya melakukan pendekatan pribadi kepada-Nya, yaitu dengan cara memuji-Nya.
[3] Arrahmânirrahîm. “[Tuhan] Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”.
Pengulangan pujian ini untuk sebuah penegasan. Ar-Rahmân bermakna [Tuhan] yang Maha Pemurah, atau Pengasih. Dia mengasihi seluruh makhluk yang ada di dunia, baik yang beriman atau yang bukan. Sedangkan ar-Rahîm bermakna mengasihi seluruh orang-orang yang beriman kelak di akhirat.
Pada saat seorang hamba membaca ayat ini, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Saw, maka Allah Swt mengikutinya dengan ucapan atsnâ ‘alayya ‘abdî, hambaku telah memuji kepadaku.
[4] Mâliki Yawmiddîn. “[Tuhan] Yang menguasai hari kiamat”.
Pengakuan sekaligus juga pujian, bahwa hanya Tuhanlah yang berkuasa pada hari kiamat.
[5] Iyyâka Na’budu… “Hanya Engkaulah yang kami sembah”…
Setelah Tuhan mengajarkan manusia untuk melakukan pendekatan dengan memuji-Nya, maka pada ayat kelima ini Tuhan memberikan pendidikan baru : yaitu, setelah manusia melakukan puja dan puji kepada Tuhan, manusia meneguhkan diri dengan melakukan deklarasi untuk secara konsisten menyembah kepada-Nya.
[6] Ihdinas-Shirâthal Mustaqîm. “Tunjukilah kami jalan yang lurus”,
Pengajaran Tuhan selanjutnya ; manusia tidak bisa berbuat sombong, oleh karenanya ia diajarkan untuk selalu memohon dan meminta, yang dalam hal ini adalah permintaan untuk sebuah kebenaran. Dan hanya kepada Tuhan sajalah manusia itu memohon kebenaran. Makna kebenaran atau jalan yang lurus di sini tentulah tidak sederhana, namun ia disimplifikasi pada ayat berikutnya.
[7] Shirâthalladzîna An’amta ‘Alayhim Ghoyril-Maghdhûbi ‘Alayhim walâdh-Dhôllîn. “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”.
Kenikmatan Tuhan hanyalah diberikan kepada orang-orang yang Dia kehendaki, dan itu bukanlah kepada orang-orang yang dimurkai dan yang memilih jalan sendiri. Abdullah ibn Abbas menyebutkan bahwa orang-orang yang telah dianugerahi kenikmatan oleh Tuhan, di antaranya, adalah para nabi, shodiqin, syuhada dan orang-orang yang saleh, orang yang bersih jiwanya.
Pada saat seorang hamba membaca ayat keenam dan ketujuh, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Saw, maka Allah Swt mengikutinya dengan ucapan — sama dengan pada ayat kelima — hadza baynî wa bayna ‘abdî, wa li-‘abdî mâ sa-ala, ini adalah [urusan] antara Aku dan hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku, [kuberikan] apapun yang dia minta.
Ayat pertama ini menegaskan pentingnya penyebutan atau tepatnya pengakuan manusia atas kuasa Tuhan, atas keesaan-Nya dan atas segala kebesarann-Nya.
[2] Alhamdulillâhi Rabbil ‘Âlamîn. “Segala puji bagi Tuhan, [yaitu] Tuhan bagi semesta alam”.
Setelah manusia mengakui segala kebesaran Tuhan, maka pada ayat kedua ini Tuhan melalui surat al-Fatihah menasehatkan manusia supaya melakukan pendekatan pribadi kepada-Nya, yaitu dengan cara memuji-Nya.
[3] Arrahmânirrahîm. “[Tuhan] Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”.
Pengulangan pujian ini untuk sebuah penegasan. Ar-Rahmân bermakna [Tuhan] yang Maha Pemurah, atau Pengasih. Dia mengasihi seluruh makhluk yang ada di dunia, baik yang beriman atau yang bukan. Sedangkan ar-Rahîm bermakna mengasihi seluruh orang-orang yang beriman kelak di akhirat.
Pada saat seorang hamba membaca ayat ini, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Saw, maka Allah Swt mengikutinya dengan ucapan atsnâ ‘alayya ‘abdî, hambaku telah memuji kepadaku.
[4] Mâliki Yawmiddîn. “[Tuhan] Yang menguasai hari kiamat”.
Pengakuan sekaligus juga pujian, bahwa hanya Tuhanlah yang berkuasa pada hari kiamat.
[5] Iyyâka Na’budu… “Hanya Engkaulah yang kami sembah”…
Setelah Tuhan mengajarkan manusia untuk melakukan pendekatan dengan memuji-Nya, maka pada ayat kelima ini Tuhan memberikan pendidikan baru : yaitu, setelah manusia melakukan puja dan puji kepada Tuhan, manusia meneguhkan diri dengan melakukan deklarasi untuk secara konsisten menyembah kepada-Nya.
[6] Ihdinas-Shirâthal Mustaqîm. “Tunjukilah kami jalan yang lurus”,
Pengajaran Tuhan selanjutnya ; manusia tidak bisa berbuat sombong, oleh karenanya ia diajarkan untuk selalu memohon dan meminta, yang dalam hal ini adalah permintaan untuk sebuah kebenaran. Dan hanya kepada Tuhan sajalah manusia itu memohon kebenaran. Makna kebenaran atau jalan yang lurus di sini tentulah tidak sederhana, namun ia disimplifikasi pada ayat berikutnya.
[7] Shirâthalladzîna An’amta ‘Alayhim Ghoyril-Maghdhûbi ‘Alayhim walâdh-Dhôllîn. “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”.
Kenikmatan Tuhan hanyalah diberikan kepada orang-orang yang Dia kehendaki, dan itu bukanlah kepada orang-orang yang dimurkai dan yang memilih jalan sendiri. Abdullah ibn Abbas menyebutkan bahwa orang-orang yang telah dianugerahi kenikmatan oleh Tuhan, di antaranya, adalah para nabi, shodiqin, syuhada dan orang-orang yang saleh, orang yang bersih jiwanya.
Pada saat seorang hamba membaca ayat keenam dan ketujuh, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Saw, maka Allah Swt mengikutinya dengan ucapan — sama dengan pada ayat kelima — hadza baynî wa bayna ‘abdî, wa li-‘abdî mâ sa-ala, ini adalah [urusan] antara Aku dan hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku, [kuberikan] apapun yang dia minta.