Ringkasan isi cerita rakyat mandi darah naga sakti.... plisss dijawab
sahel25 Asal mula upacara kesada Dahulu hiduplah satu keluarga yang tentram. Suami istri tersebut bernama Ki Seger dan Nyai Anteng. Mereka berdua suami istri hidup rukun. Tidak pernah terlintas kemurungan maupun kesedihan dalam wajahnya. Sungguh mereka merasakan nikmat kebutuhan hidup mereka. Keadaan alam sekitar tempat tinggal suami istri tersebut sangatlah menyenangkan.
Udara bersih, tanah subur, air sungai mengalir dengan bersihnya. Memang suasana alam pun ikut membantu kedamaian hidup suami istri. Hari-hari telah dilaluinya dengan cepat. Usia pun merambat dengan cepat.
Kebahagiaan dan kedamaian telah dilaluinya. Barulah mereka tersentak dan sadar bahwa mereka pun merasakan kesepian tanpa kehadiran anak sampai usia senja.
Keinginan mempunyai anak semakin besar. Mereka menempuh jalan dengan cara bersemadi agar mendapatkan anak. Setiap hari mereka berdoa di kaki gunung bromo. Karena doa dan tanpa tiada henti setiap hari, akhirnya mereka pun dikabulkan oleh dewa brahma.
Pada saat bertapa, Nyai Anteng mendengar suara bahwa kelak ia akan melahirkan dua puluh lima orang anak asal anak pertama harus dikorbankan.”
Saat itu Nyai anteng menyatakan kesediaannya. Yang penting segera dikaruniai anak. Waktu berjalan terus. Apa yang didengar waktu bersemadi menjadi kenyataan. Nyai Anteng hamil. Mereka berdua merasa senang dan bahagia karena anak yang didambakan akhirnya akan datang juga.
Setelah genap bulannya, nyai Anteng melahirkan seorang anak laki-laki. Anak tersebut diberi nama Kusuma. Bayi tersebut tumbuh dengan cepatnya. Badannya sehat, dan lagi wajahnya tampan. Mereka memelihara anak dengan penuh kasih sayang. Anak Nyai Anteng pun genaplah jumlahnya 25 orang anak. Mereka hidup dengan penuh kegembiraan dan ketentraman. Sampai-sampai Nyai Anteng dan Ki Seger lupa akan janjinya.
Meski lama tenggang waktunya, namun janji tetaplah janji. Pada saatnya akan ditagih juga. Gunung bromo mulai memberi tanda-tanda peringatan. Suara gunung bromo gemuruh, asap berkepul kepul. Nyai Anteng dan Kyai Seger pun teringat akan janjinya.
Perasaan sedih dan sesal meresahkan hati mereka. Bagaimana mungkin mereka akan tega melemparkan anak kesayangannya ke kawah gunung bromo? Mereka berdua berusaha menghilangkan perasaan sedih. Seandainya dapat diganti persembahan kepada dewa di gunung bromo bukan anaknya melainkan dirinya. Hal itu tak mungkin terjadi. Dewa menghendaki anaknya yang sulung, bukan dirinya yang sudah tua.
Dari hari ke hari Nyai Anteng semakin menderita tekanan batin, karena harus menyerahkan anak sulung yang paling tampan dan paling disayang, sementara gunung bromo semakin beraksi terus. Letusan letusan mulai terjadi, lelehan lahar pun dengan derasnya. Saat itu pun nyai anteng bermimpi bahwa dewa brahma menagih janji bila tidak ditepati, kedua puluh lima anaknya sekaligus akan diminta secara paksa.
Selesai mendengar ucapan dewa brahma, terbangun nyai anteng dari tidurnya. Ia tidak dapat berbicara. Ia hanya menangis terus, teringat akan mimpinya.
Kusuma anak sulung, sudah menginjak dewasa. Ia melihat ibunya sedih terus setiap hari. Maka bertanyalah Kusuma kepada ibunya, “mengapa ibu nampak sedih? Apakah boleh saya mengetahui sebab musababnya, bu?” jawab Nyai Anteng “anakku, Kusuma! Ibumu harus mengorbankan engkau di kawah gunung bromo. Ibumu tidak sampai hati untuk melemparkan dirimu, nak! Apabila tidak, semua saudaramu dan engkau akan diambil secara paksa oleh Dewa brahma.”
Mendengar kata kata ibunya, Kusuma trtegun diam seribu bahasa. Hatinya sedih. Namun kemudian ia berkata. “Sudahlah bu, hilangkan perasaan hati ibu. Saya bersedia menjadi korban demi ayah ibu, adik adik serta keselamatan orang orang Tengger pada umumnya. Saya rela menjadi korban,bu!”
Begitu terharu mendengar kata-kata anaknya hingga sang ayah dan ibunya jatuh pingsan. Pada hari yang telah ditentukan, dibawalah Kusuma ke kawah gunung bromo. Ia diserahkan sebagai korban. Kemudian ia dilemparkan ke kawah gunung bromo dengan disaksikan oleh orang orang di sekitar kaki gunung bromo.
Kurban Kusuma oleh Nyai Anteng dan Ki Seger diterima oleh dewa. Sejak peristiwa itu gunung bromo tidak lagi terdengar suara gemuruh. Jadilah gunung bromo tentram, tenang, dan kembali seperti semula. Petani mulai mengerjakan sawah dengan tentram dan aman. Demikian juga Nyai Anteng dan Ki Seger serta kedua puluh empat anaknya hidup dengan tenang. Sampai kini masyarakat Tengger mengadakan upacara korban di bawah gunung bromo untuk menghormati roh kusuma. Namun yang dijadikan korban bukan lagi manusia melainkan berupa sesaji kepala kerbau dan hasil panen lainnya.
Asal mula upacara kesada
Dahulu hiduplah satu keluarga yang tentram. Suami istri tersebut bernama Ki Seger dan Nyai Anteng. Mereka berdua suami istri hidup rukun. Tidak pernah terlintas kemurungan maupun kesedihan dalam wajahnya. Sungguh mereka merasakan nikmat kebutuhan hidup mereka. Keadaan alam sekitar tempat tinggal suami istri tersebut sangatlah menyenangkan.
Udara bersih, tanah subur, air sungai mengalir dengan bersihnya. Memang suasana alam pun ikut membantu kedamaian hidup suami istri. Hari-hari telah dilaluinya dengan cepat. Usia pun merambat dengan cepat.
Kebahagiaan dan kedamaian telah dilaluinya. Barulah mereka tersentak dan sadar bahwa mereka pun merasakan kesepian tanpa kehadiran anak sampai usia senja.
Keinginan mempunyai anak semakin besar. Mereka menempuh jalan dengan cara bersemadi agar mendapatkan anak. Setiap hari mereka berdoa di kaki gunung bromo. Karena doa dan tanpa tiada henti setiap hari, akhirnya mereka pun dikabulkan oleh dewa brahma.
Pada saat bertapa, Nyai Anteng mendengar suara bahwa kelak ia akan melahirkan dua puluh lima orang anak asal anak pertama harus dikorbankan.”
Saat itu Nyai anteng menyatakan kesediaannya. Yang penting segera dikaruniai anak. Waktu berjalan terus. Apa yang didengar waktu bersemadi menjadi kenyataan. Nyai Anteng hamil. Mereka berdua merasa senang dan bahagia karena anak yang didambakan akhirnya akan datang juga.
Setelah genap bulannya, nyai Anteng melahirkan seorang anak laki-laki. Anak tersebut diberi nama Kusuma. Bayi tersebut tumbuh dengan cepatnya. Badannya sehat, dan lagi wajahnya tampan. Mereka memelihara anak dengan penuh kasih sayang. Anak Nyai Anteng pun genaplah jumlahnya 25 orang anak. Mereka hidup dengan penuh kegembiraan dan ketentraman. Sampai-sampai Nyai Anteng dan Ki Seger lupa akan janjinya.
Meski lama tenggang waktunya, namun janji tetaplah janji. Pada saatnya akan ditagih juga. Gunung bromo mulai memberi tanda-tanda peringatan. Suara gunung bromo gemuruh, asap berkepul kepul. Nyai Anteng dan Kyai Seger pun teringat akan janjinya.
Perasaan sedih dan sesal meresahkan hati mereka. Bagaimana mungkin mereka akan tega melemparkan anak kesayangannya ke kawah gunung bromo? Mereka berdua berusaha menghilangkan perasaan sedih. Seandainya dapat diganti persembahan kepada dewa di gunung bromo bukan anaknya melainkan dirinya. Hal itu tak mungkin terjadi. Dewa menghendaki anaknya yang sulung, bukan dirinya yang sudah tua.
Dari hari ke hari Nyai Anteng semakin menderita tekanan batin, karena harus menyerahkan anak sulung yang paling tampan dan paling disayang, sementara gunung bromo semakin beraksi terus. Letusan letusan mulai terjadi, lelehan lahar pun dengan derasnya. Saat itu pun nyai anteng bermimpi bahwa dewa brahma menagih janji bila tidak ditepati, kedua puluh lima anaknya sekaligus akan diminta secara paksa.
Selesai mendengar ucapan dewa brahma, terbangun nyai anteng dari tidurnya. Ia tidak dapat berbicara. Ia hanya menangis terus, teringat akan mimpinya.
Kusuma anak sulung, sudah menginjak dewasa. Ia melihat ibunya sedih terus setiap hari. Maka bertanyalah Kusuma kepada ibunya, “mengapa ibu nampak sedih? Apakah boleh saya mengetahui sebab musababnya, bu?” jawab Nyai Anteng “anakku, Kusuma! Ibumu harus mengorbankan engkau di kawah gunung bromo. Ibumu tidak sampai hati untuk melemparkan dirimu, nak! Apabila tidak, semua saudaramu dan engkau akan diambil secara paksa oleh Dewa brahma.”
Mendengar kata kata ibunya, Kusuma trtegun diam seribu bahasa. Hatinya sedih. Namun kemudian ia berkata. “Sudahlah bu, hilangkan perasaan hati ibu. Saya bersedia menjadi korban demi ayah ibu, adik adik serta keselamatan orang orang Tengger pada umumnya. Saya rela menjadi korban,bu!”
Begitu terharu mendengar kata-kata anaknya hingga sang ayah dan ibunya jatuh pingsan. Pada hari yang telah ditentukan, dibawalah Kusuma ke kawah gunung bromo. Ia diserahkan sebagai korban. Kemudian ia dilemparkan ke kawah gunung bromo dengan disaksikan oleh orang orang di sekitar kaki gunung bromo.
Kurban Kusuma oleh Nyai Anteng dan Ki Seger diterima oleh dewa. Sejak peristiwa itu gunung bromo tidak lagi terdengar suara gemuruh. Jadilah gunung bromo tentram, tenang, dan kembali seperti semula. Petani mulai mengerjakan sawah dengan tentram dan aman. Demikian juga Nyai Anteng dan Ki Seger serta kedua puluh empat anaknya hidup dengan tenang. Sampai kini masyarakat Tengger mengadakan upacara korban di bawah gunung bromo untuk menghormati roh kusuma. Namun yang dijadikan korban bukan lagi manusia melainkan berupa sesaji kepala kerbau dan hasil panen lainnya.