Setiap tahun ketika kemarau panjang melanda, Kota Beriman selalu tak lepas dari ancaman krisis air bersih. Pengamat Lingkungan Hidup, Jufriansyah mengatakan, kesulitan mendapatkan air bersih itu tidak terlepas dari upaya mencari investor untuk mengolah air laut menjadi air tawar yang hingga kini sekadar wacana. Selain itu, Pemkot tidak konsisten serta mengabaikan dampak pembangunan terhadap kelestarian lingkungan utamanya kawasan yang menjadi resapan air.
“Krisis air akibat pembangunan yang dampaknya tidak dipikirkan dari awal oleh pemerintah. Misalnya wilayah Balikpapan Selatan, Balikpapan Tengah dan sebagian kecil Balikpapan Barat. Itu adalah wilayah yang menjadi kantong resapan air. Tapi ketika dilakukan percepatan pembangunan tanpa ada pembatasan kemudian langsung ditetapkan sebagai wilayah bisnis maka dampaknya dilupakan,” ujar Jufriansyah, kepada media ini kemarin.
Salah satunya contoh nyata adalah kawasan Puskib. Seharusnya kawasan tersebut menurut Jufriansyah, dijadikan kawasan resapan air yang harus dilindungi, namun kenyataannya justru dibangun supermal.
“Seharusnya mekanisme kawasan itu menjadi resapan air untuk dibuatkan sumur air dalam guna melindungi wilayah di sekitarnya sehingga tertata dengan baik atau bisa dikaji lebih lanjut tapi pada akhirnya diputuskan mejadi mal,” ucapnya.
Selain itu pemerintah, kata dia, juga melupakan dua kawasan hutan lindung Sungai Wain dan daerah aliran sungai (DAS) Manggar sehingga pada saat musim kemarau Balikpapan selalu ditimpa krisis air. Ditambah lagi, kawasan hutan lindung DAS Manggar saat ini bemasalah dengan praktek juai beli lahan oleh warga tampa dikawal dengan baik.
“Memang berdasarkan sejarah, bahwa kawasan itu sebelum menjadi hutan lindung, merupakan kawasan daerah transmigrasi spontan masyarakat dari Jawa. Tapi mekanismanya ketika diusulkan menjadi kawasan hutan lindung, mulailah timbul masalah yang sekarang ini terjadi,” ungkapnya.
Ia menilai saat ini sikap pemerintah menjadikan waduk hanya sebatas penadah air hujan bukan untuk menjadikan waduk menjadi resapan air yang baik. Kondisi itupun semakin diperparah dengan kendala pembebasan lahan.
“Saya yakin bisa menjawab permasalahan krisis air jika pengelolaan waduk sesuai dengan mekanisme. Caranya bagaimana menjadikan waduk itu menjadi resapan yang baik dengan mengorbankan kawasan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah,” katanya.
Faktor lain sehingga krisis air bersih selalu mengancam, ia menambahkan, pertumbuhan penduduk Balikpapan yang cukup tinggi dalam kurun waktu 5 sampai 20 tahun ke depan.
Oleh sebab itu, ia berharap bagaimana pemerintah memikirkan penggunakan air waduk mampu memerikan kontribusi yang maksimal terhadap masyarakat Balikpapan meski di timpa musrim kemarau panjang.
“Artinya tidak hanya menjadikan waduk itu sebagai tadah air hujan saja,” harapnya.
Lebih jauh Jufriansyah menjelaskan, sebenarnya Pemkot memiliki banyak cara untuk mengatasi kiris air di Balikpapan.
“Kenapa Pemkot tidak membuat air laut menjadi air tawar? Padahal Arab Saudi bisa menciptakan seperti itu. Kalau alasannya membutuhkan biaya besar, ia memang mahal jika pelanggannya sekidit. Tapi kan sekitar 72 persen penduduk Balikpapan menggunakan saluran air PDAM. Saya kira ini sangat besar, jika mengolah air laut mnejadi air tawar bisa kembali modal,” bebernya.
jawab:
Setiap tahun ketika kemarau panjang melanda, Kota Beriman selalu tak lepas dari ancaman krisis air bersih. Pengamat Lingkungan Hidup, Jufriansyah mengatakan, kesulitan mendapatkan air bersih itu tidak terlepas dari upaya mencari investor untuk mengolah air laut menjadi air tawar yang hingga kini sekadar wacana. Selain itu, Pemkot tidak konsisten serta mengabaikan dampak pembangunan terhadap kelestarian lingkungan utamanya kawasan yang menjadi resapan air.
“Krisis air akibat pembangunan yang dampaknya tidak dipikirkan dari awal oleh pemerintah. Misalnya wilayah Balikpapan Selatan, Balikpapan Tengah dan sebagian kecil Balikpapan Barat. Itu adalah wilayah yang menjadi kantong resapan air. Tapi ketika dilakukan percepatan pembangunan tanpa ada pembatasan kemudian langsung ditetapkan sebagai wilayah bisnis maka dampaknya dilupakan,” ujar Jufriansyah, kepada media ini kemarin.
Salah satunya contoh nyata adalah kawasan Puskib. Seharusnya kawasan tersebut menurut Jufriansyah, dijadikan kawasan resapan air yang harus dilindungi, namun kenyataannya justru dibangun supermal.
“Seharusnya mekanisme kawasan itu menjadi resapan air untuk dibuatkan sumur air dalam guna melindungi wilayah di sekitarnya sehingga tertata dengan baik atau bisa dikaji lebih lanjut tapi pada akhirnya diputuskan mejadi mal,” ucapnya.
Selain itu pemerintah, kata dia, juga melupakan dua kawasan hutan lindung Sungai Wain dan daerah aliran sungai (DAS) Manggar sehingga pada saat musim kemarau Balikpapan selalu ditimpa krisis air. Ditambah lagi, kawasan hutan lindung DAS Manggar saat ini bemasalah dengan praktek juai beli lahan oleh warga tampa dikawal dengan baik.
“Memang berdasarkan sejarah, bahwa kawasan itu sebelum menjadi hutan lindung, merupakan kawasan daerah transmigrasi spontan masyarakat dari Jawa. Tapi mekanismanya ketika diusulkan menjadi kawasan hutan lindung, mulailah timbul masalah yang sekarang ini terjadi,” ungkapnya.
Ia menilai saat ini sikap pemerintah menjadikan waduk hanya sebatas penadah air hujan bukan untuk menjadikan waduk menjadi resapan air yang baik. Kondisi itupun semakin diperparah dengan kendala pembebasan lahan.
“Saya yakin bisa menjawab permasalahan krisis air jika pengelolaan waduk sesuai dengan mekanisme. Caranya bagaimana menjadikan waduk itu menjadi resapan yang baik dengan mengorbankan kawasan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah,” katanya.
Faktor lain sehingga krisis air bersih selalu mengancam, ia menambahkan, pertumbuhan penduduk Balikpapan yang cukup tinggi dalam kurun waktu 5 sampai 20 tahun ke depan.
Oleh sebab itu, ia berharap bagaimana pemerintah memikirkan penggunakan air waduk mampu memerikan kontribusi yang maksimal terhadap masyarakat Balikpapan meski di timpa musrim kemarau panjang.
“Artinya tidak hanya menjadikan waduk itu sebagai tadah air hujan saja,” harapnya.
Lebih jauh Jufriansyah menjelaskan, sebenarnya Pemkot memiliki banyak cara untuk mengatasi kiris air di Balikpapan.
“Kenapa Pemkot tidak membuat air laut menjadi air tawar? Padahal Arab Saudi bisa menciptakan seperti itu. Kalau alasannya membutuhkan biaya besar, ia memang mahal jika pelanggannya sekidit. Tapi kan sekitar 72 persen penduduk Balikpapan menggunakan saluran air PDAM. Saya kira ini sangat besar, jika mengolah air laut mnejadi air tawar bisa kembali modal,” bebernya.