anismadya
Menjadi pemimpin pasukan padri melawan kaum adat dan belanda
1 votes Thanks 3
DianagathaPahlawan nasional, bernama asli Muhammad Sahab. Lahir di Tanjung Bunga, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, pada tahun 1772. Setelah belajar agama pada beberapa orang nulama di Sumatera Barat, ia menjadi guru agama di Bonjol. Dari sini ia menyebarkan paham Paderi di Lembah Alahan Panjang bahkan sampai ke Tapanuli Selatan. Sebagai tokoh Paderi, ia cukup disegani.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di Kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalan ajaran Islam. Para penjuang Padri sangat taat menjalankan agamanya, hal inilah yang menjadi modal utama perjuangan Tuanku Imam Bonjol.
Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Raja Pagaruyung Sultan Muning Alamsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan berjudi sabung ayam, minum arak, dan kebiasaan lainnya yang dianggap merusak moral dan tatanan masyarakat. Sayangnya kebiasaan ini sudah membudaya di raja-raja adat.
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Muning Alamsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan.
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia-Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang, sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga Dinasti Kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di Kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalan ajaran Islam. Para penjuang Padri sangat taat menjalankan agamanya, hal inilah yang menjadi modal utama perjuangan Tuanku Imam Bonjol.
Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Raja Pagaruyung Sultan Muning Alamsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan berjudi sabung ayam, minum arak, dan kebiasaan lainnya yang dianggap merusak moral dan tatanan masyarakat. Sayangnya kebiasaan ini sudah membudaya di raja-raja adat.
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Muning Alamsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan.
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia-Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang, sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga Dinasti Kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu.