Input pupuk identik dengan cara budidaya sektor pertanian modern. Pada saat yang sama sebagian besar petani lahan kering masih bercorak usahatani tradisional atau minimal baru mencapai semi modern. Walaupun anggapan tentang praktek budidaya modern harus berhadapan dengan realitas perilaku tradisional oleh kebanyakan petani lahan kering, namun paradigma prakter budidaya lahan kering saat ini telah sedikit mengalami pergeseran. Sejumlah petani lahan kering telah juga menggunakan input pupuk untuk meningkatkan produktivitas tanaman mereka. Namun dibanding dengan totalitas petani lahan kering, persentase ini masih sangat kecil. Kebanyakan para petani masih enggan menggunakan pupuk untuk meningkatkan produktivitas, karena disamping dihadapkan pada sejumlah masalah klasik seperti harga yang tidak terjangkau, kelangkaan suplai, para petani lahan kering juga harus berhadapan dengan kenyataan bahwa produktivitas tanaman yang ingin didorong melalui penggunaan pupuk harus pula berurusan dengan sejumlah input modern lainnya seperti pestisida, insecticida, suplai air yang memadai, dan sebagainya. Tidak mungkin dapat didorong produktivitas tanaman hanya dengan mengandalkan penggunaan input pupuk dengan mengabaikan input modern lainnya. Semua nya itu berkonsekwensi pada tingginya biaya operasional usahatani. Pada saat yang sama hampir sebagian besar petani lahan kering menghadap kendala akses terhadap sumber-sumber permodalan. Padahal jika petani lahan kering kita melakukan usahatani secara tradisional, mereka tidak perlu untuk berurusan dengan semua kenyataan di atas yang berkonsekwensi pada tingginya biaya usahatani. Mereka cukup melakukan penanaman bibit/benih lokal tradisional, selanjutnya perkembangan dan produksinya benar-benar diserahkan pada kemurahan alam. Kemurahan kesuburan, kemurahan curah hujan, kemurahan daya tahan terhadap serangan hama penyakit. Tidak ada konsekwensi biaya dalam usahatani, cukup konsekwensi gagal tanam dan/atau gagal panen yang harus dihadapi para petani lahan kering kita. Dan nampaknya kebanyakan petani lahan kering lebih memilih konsekwensi ke dua seiring dengan terbatasnya akses permodalan, rendahnya pengetahuan teknik budidaya dengan input modern, tidak adanya asuransi usahatani,dan sebagainya. Pilihan konsekwensi kedua tidak akan memaksakan petani lahan kering untuk berhutang pada siapa pun selain berhutang pada alam.
Inilah kenyataan yang harus dihadapi dalam pembangunan pertanian lahan kering. Kenyataan dimaksud selalu mengambil bentuk sebagai hambatan pembangunan pertanian lahan kering. Dan diperlukan peran aktif semua pihak yang berkepantingan dengan pembangunan pertanian, khususnya pemerintah dan petani sendiri guna mendongkrak produksi pertanian lahan kering dan peningkatan tingkat kesejahteraan umum di sektor pertanian lahan kering.
Input pupuk identik dengan cara budidaya sektor pertanian modern. Pada saat yang sama sebagian besar petani lahan kering masih bercorak usahatani tradisional atau minimal baru mencapai semi modern. Walaupun anggapan tentang praktek budidaya modern harus berhadapan dengan realitas perilaku tradisional oleh kebanyakan petani lahan kering, namun paradigma prakter budidaya lahan kering saat ini telah sedikit mengalami pergeseran. Sejumlah petani lahan kering telah juga menggunakan input pupuk untuk meningkatkan produktivitas tanaman mereka. Namun dibanding dengan totalitas petani lahan kering, persentase ini masih sangat kecil. Kebanyakan para petani masih enggan menggunakan pupuk untuk meningkatkan produktivitas, karena disamping dihadapkan pada sejumlah masalah klasik seperti harga yang tidak terjangkau, kelangkaan suplai, para petani lahan kering juga harus berhadapan dengan kenyataan bahwa produktivitas tanaman yang ingin didorong melalui penggunaan pupuk harus pula berurusan dengan sejumlah input modern lainnya seperti pestisida, insecticida, suplai air yang memadai, dan sebagainya. Tidak mungkin dapat didorong produktivitas tanaman hanya dengan mengandalkan penggunaan input pupuk dengan mengabaikan input modern lainnya. Semua nya itu berkonsekwensi pada tingginya biaya operasional usahatani. Pada saat yang sama hampir sebagian besar petani lahan kering menghadap kendala akses terhadap sumber-sumber permodalan. Padahal jika petani lahan kering kita melakukan usahatani secara tradisional, mereka tidak perlu untuk berurusan dengan semua kenyataan di atas yang berkonsekwensi pada tingginya biaya usahatani. Mereka cukup melakukan penanaman bibit/benih lokal tradisional, selanjutnya perkembangan dan produksinya benar-benar diserahkan pada kemurahan alam. Kemurahan kesuburan, kemurahan curah hujan, kemurahan daya tahan terhadap serangan hama penyakit. Tidak ada konsekwensi biaya dalam usahatani, cukup konsekwensi gagal tanam dan/atau gagal panen yang harus dihadapi para petani lahan kering kita. Dan nampaknya kebanyakan petani lahan kering lebih memilih konsekwensi ke dua seiring dengan terbatasnya akses permodalan, rendahnya pengetahuan teknik budidaya dengan input modern, tidak adanya asuransi usahatani,dan sebagainya. Pilihan konsekwensi kedua tidak akan memaksakan petani lahan kering untuk berhutang pada siapa pun selain berhutang pada alam.
Inilah kenyataan yang harus dihadapi dalam pembangunan pertanian lahan kering. Kenyataan dimaksud selalu mengambil bentuk sebagai hambatan pembangunan pertanian lahan kering. Dan diperlukan peran aktif semua pihak yang berkepantingan dengan pembangunan pertanian, khususnya pemerintah dan petani sendiri guna mendongkrak produksi pertanian lahan kering dan peningkatan tingkat kesejahteraan umum di sektor pertanian lahan kering.