izzahilma
Dalam tata cara ibadah kepada Allah, kita wajib mengikuti apa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kita membaca pelan atau keras di shalat-shalat tertentu dimana beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dengan pelan atau keras. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: صَلُّوْا كَمَا رَأَيْْتُمُوْنِيْ أُصَلِّي “Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”. (HR Bukhari, Muslim, Ahmad. Lihat Irwaul Ghalil no: 213) Ketika diajukan pertanyaan serupa, Syaikh Bin Baz rahimahullah menjawab : “Wallahu a’lam alasan mengapa diajarkan untuk membaca keras-keras dalam shalat-shalat tersebut (Maghrib, ‘Isya dan Shubuh). Alasan yang paling mungkin – dan Wallahu a’lam – adalah bahwa pada malam hari dan pada saat shalat Fajar , orang lebih mungkin memperoleh manfaat dari bacaan yang dilakukan dengan keras, karena kurangnya gangguan dari sekitar mereka daripada pada saat Zhuhr dan ‘ Ashar” (Majmu ‘ Fatawa al – Syaikh Ibnu Baaz (11/ 122).
Tidak ada penjelasan dari Rasulullah saw. mengapa pada rakaat pertama dan kedua shalat Zuhur dan Asar kita tidak mengeraskan bacaan al-Fatihah dan surah/ ayat setelahnya, sedangkan pada shalat Magrib, Isya, dan Subuh kita mengeraskan al-Fatihah dan surah setelahnya. Paling tidak, saya belum menemukan penjelasan itu. Yang jelas, begitulah yang dicontohkan oleh Nabi saw. dan diikuti oleh umat Islam dari generasi ke generasi sampai sekarang. Barang kali hikmah di balik itu –wallâhu a‘lam– adalah sebagai berikut. Shalat Magrib, Isya, dan Subuh dilakukan pada waktu gelap malam dan gelap fajar yang berpotensi membuat orang mengantuk atau merasa lelah. Apalagi kalau kita sadari bahwa ketika itu lampu listrik belum lagi ditemukan. Nah, untuk mengurangi kemungkinan jamaah terkena kantuk pada saat shalat, diperlukan suara imam yang dapat terdengar jelas oleh seluruh jamaah. Makanya, mengeraskan suara pun hanya dilakukan pada rakaat pertama dan kedua saja, dengan asumsi bahwa pada rakaat-rakaat berikutnya jamaah sudah terjaga dari kemungkinan mengantuk. Sedangkan bacaan yang tidak dikeraskan pada shalat Zuhur dan Asar, itu antara lain karena shalat-shalat itu dilakukan pada waktu siang, terang benderang, yang kecil kemungkinan membuat orang mengantuk. Karena itu, tidak perlu suara keras dari imam. Bukankah ketika melakukan shalat kita pada hakikatnya sedang bermunajat dan berdoa kepada Allah? Bukankah Allah yang kita seru dalam shalat itu Maha Mendengar, bahkan untuk bunyi derap langkahnya semut sekalipun? Memang, dalam hal berdoa dan bermunajat kepada Allah kita diperintahkan untuk tidak mengangkat suara terlalu tinggi, juga tidak merendahkan suara terlalu rendah hingga tidak terdengar. Sedang dan seimbang. Dalam satu riwayat pernah dikemukakan bahwa sahabat Nabi, Abû Bakar, berdoa dengan suara yang terdengar sayup dengan alasan “Allah mengetahui hajatku,” sedangkan ‘Umar berdoa dengan suara keras sambil berkata, “Aku mengusir setan dan membangunkan orang yang mengantuk atau tidur.” Lalu turunlah ayat berikut ini: Janganlah mengeraskan suaramu dalam shalat atau doa dan janganlah juga merendahkannya. Carilah jalan tengah di antara keduanya (QS. al-Isrâ’ [17]: 110). Nah, praktik mengeraskan suara pada shalat-shalat “gelap” dan tidak mengeraskan suara pada shalat-shalat “terang”, agaknya, juga dalam kerangka keseimbangan itu tadi. Mungkin akan timbul pertanyaan: kalau begitu, mengapa pada shalat Jumat yang dilakukan pada siang hari (waktu terang) imam mengeraskan suara juga? Hemat saya, itu lebih merupakan syiar, karena hari Jumat adalah hari terbaik dari hari-hari yang lain. Hari Jumat adalah hari raya umat Islam. Kita dilarang berpuasa pada hari Jumat, seperti halnya dilarang berpuasa pada Idul Fitri dan Idul Adha. Makanya, pada shalat sunnah Idul Fitri dan Idul Adha pun –yang dilakukan pada waktu terang– imam mengeraskan suara juga, sebagai salah satu bentuk syiar Islam. Mengenai surah apa yang kita baca setelah al-Fatihah pada shalat Zuhur dan Asar, terserah kepada kita. Baca saja surah-surah atau ayat-ayat yang mudah bagi kita. Kemudian, apabila bacaan surat pendek kita belum selesai tetapi imam sudah rukuk, kita tidak harus menyelesaikan bacaan sampai akhir surah, tetapi langsung ikut rukuk bersama imam. Sebab, seseorang dijadikan imam adalah untuk diikuti.
Zhuhr dan ‘ Ashar” (Majmu ‘ Fatawa al – Syaikh Ibnu Baaz (11/ 122).
Tidak ada penjelasan dari Rasulullah saw. mengapa pada rakaat pertama dan kedua shalat Zuhur dan Asar kita tidak mengeraskan bacaan al-Fatihah dan surah/ ayat setelahnya, sedangkan pada shalat Magrib, Isya, dan Subuh kita mengeraskan al-Fatihah dan surah setelahnya. Paling tidak, saya belum menemukan penjelasan itu. Yang jelas, begitulah yang dicontohkan oleh Nabi saw. dan diikuti oleh umat Islam dari generasi ke generasi sampai sekarang. Barang kali hikmah di balik itu –wallâhu a‘lam– adalah sebagai berikut. Shalat Magrib, Isya, dan Subuh dilakukan pada waktu gelap malam dan gelap fajar yang berpotensi membuat orang mengantuk atau merasa lelah. Apalagi kalau kita sadari bahwa ketika itu lampu listrik belum lagi ditemukan. Nah, untuk mengurangi kemungkinan jamaah terkena kantuk pada saat shalat, diperlukan suara imam yang dapat terdengar jelas oleh seluruh jamaah. Makanya, mengeraskan suara pun hanya dilakukan pada rakaat pertama dan kedua saja, dengan asumsi bahwa pada rakaat-rakaat berikutnya jamaah sudah terjaga dari kemungkinan mengantuk. Sedangkan bacaan yang tidak dikeraskan pada shalat Zuhur dan Asar, itu antara lain karena shalat-shalat itu dilakukan pada waktu siang, terang benderang, yang kecil kemungkinan membuat orang mengantuk. Karena itu, tidak perlu suara keras dari imam. Bukankah ketika melakukan shalat kita pada hakikatnya sedang bermunajat dan berdoa kepada Allah? Bukankah Allah yang kita seru dalam shalat itu Maha Mendengar, bahkan untuk bunyi derap langkahnya semut sekalipun? Memang, dalam hal berdoa dan bermunajat kepada Allah kita diperintahkan untuk tidak mengangkat suara terlalu tinggi, juga tidak merendahkan suara terlalu rendah hingga tidak terdengar. Sedang dan seimbang. Dalam satu riwayat pernah dikemukakan bahwa sahabat Nabi, Abû Bakar, berdoa dengan suara yang terdengar sayup dengan alasan “Allah mengetahui hajatku,” sedangkan ‘Umar berdoa dengan suara keras sambil berkata, “Aku mengusir setan dan membangunkan orang yang mengantuk atau tidur.” Lalu turunlah ayat berikut ini: Janganlah mengeraskan suaramu dalam shalat atau doa dan janganlah juga merendahkannya. Carilah jalan tengah di antara keduanya (QS. al-Isrâ’ [17]: 110). Nah, praktik mengeraskan suara pada shalat-shalat “gelap” dan tidak mengeraskan suara pada shalat-shalat “terang”, agaknya, juga dalam kerangka keseimbangan itu tadi. Mungkin akan timbul pertanyaan: kalau begitu, mengapa pada shalat Jumat yang dilakukan pada siang hari (waktu terang) imam mengeraskan suara juga? Hemat saya, itu lebih merupakan syiar, karena hari Jumat adalah hari terbaik dari hari-hari yang lain. Hari Jumat adalah hari raya umat Islam. Kita dilarang berpuasa pada hari Jumat, seperti halnya dilarang berpuasa pada Idul Fitri dan Idul Adha. Makanya, pada shalat sunnah Idul Fitri dan Idul Adha pun –yang dilakukan pada waktu terang– imam mengeraskan suara juga, sebagai salah satu bentuk syiar Islam. Mengenai surah apa yang kita baca setelah al-Fatihah pada shalat Zuhur dan Asar, terserah kepada kita. Baca saja surah-surah atau ayat-ayat yang mudah bagi kita. Kemudian, apabila bacaan surat pendek kita belum selesai tetapi imam sudah rukuk, kita tidak harus menyelesaikan bacaan sampai akhir surah, tetapi langsung ikut rukuk bersama imam. Sebab, seseorang dijadikan imam adalah untuk diikuti.