Daumatul Jandal kembali menjadi saksi sejarah pada era kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Setelah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan, dunia Islam mengalami ketegangan. Saat itu, kelompok yang dipimpin Muawiyah mendesak agar Khalifah Ali bin Abi Thalib menghukum pelaku pembunuhan Utsman.
Mereka tak akan berbaiat selama pembunuh khalifah ketiga itu belum dihukum. Masa ini dikenal sebagai zaman fitnah besar. Ada upaya mengadu domba umat Islam.
Hingga akhirnya, perseteruan antara kelompok Muawiyah dan Ali semakin meruncing dan memantik terjadinya Perang Siffin. Dalam perang itu, kelompok Muawiyah nyaris kalah.
Sebelum benar-benar kalah, mereka mengajak untuk bertahkim (arbitrase) guna menyelesaikan konflik yang terjadi. Perundingan (tahkim) itu dilaksanakan di Daumatul Jandal pada Ramadhan 37 H. Kelompok Muawiyah diwakili oleh Amr bin Ash (wafat tahun 43 H) dan kelompok Ali diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari (wafat tahun 44 H).
Keduanya bertindak sebagai hakim dari kelompok masing-masing. Dalam perundingan itu, Amr menyatakan kepada Abu Musa bahwa konflik itu terjadi karena Ali dan Muawiyah. Menurut Amr, untuk menciptakan perdamaian, kedua orang itu harus dipecat dan kemudian diserahkan kepada umat Islam untuk memilih khalifah baru.
Amr memberi kesempatan pertama kepada Abu Musa untuk naik mimbar. Abu Musa mengumumkan pemecatan Ali. Sesudah itu, Amr naik mimbar pula, ia menerima pemecatan Ali.
Karena Ali sudah dipecat, kata Amr, khalifah hanya tinggal Muawiyyah saja. Ia lalu menetapkan Muawiyah sebagai khalifah umat Islam. Keputusan tahkim itu memicu protes dari kubu Ali. Hasil perundingan itu tak berhasil menyelesaikan konflik. Yang ada justru melahirkan kelompok baru.
Kelompok Ali terpecah menjadi dua; kelompok pendukung yang disebut Syiah dan yang memberontak, yakni Khawarij. Setelah itu, di dunia Islam muncul Dinasti Umayyah yang berbasis di Damaskus.
Daumatul Jandal kembali menjadi saksi sejarah pada era kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Setelah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan, dunia Islam mengalami ketegangan. Saat itu, kelompok yang dipimpin Muawiyah mendesak agar Khalifah Ali bin Abi Thalib menghukum pelaku pembunuhan Utsman.
Mereka tak akan berbaiat selama pembunuh khalifah ketiga itu belum dihukum. Masa ini dikenal sebagai zaman fitnah besar. Ada upaya mengadu domba umat Islam.
Hingga akhirnya, perseteruan antara kelompok Muawiyah dan Ali semakin meruncing dan memantik terjadinya Perang Siffin. Dalam perang itu, kelompok Muawiyah nyaris kalah.
Sebelum benar-benar kalah, mereka mengajak untuk bertahkim (arbitrase) guna menyelesaikan konflik yang terjadi. Perundingan (tahkim) itu dilaksanakan di Daumatul Jandal pada Ramadhan 37 H. Kelompok Muawiyah diwakili oleh Amr bin Ash (wafat tahun 43 H) dan kelompok Ali diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari (wafat tahun 44 H).
Keduanya bertindak sebagai hakim dari kelompok masing-masing. Dalam perundingan itu, Amr menyatakan kepada Abu Musa bahwa konflik itu terjadi karena Ali dan Muawiyah. Menurut Amr, untuk menciptakan perdamaian, kedua orang itu harus dipecat dan kemudian diserahkan kepada umat Islam untuk memilih khalifah baru.
Amr memberi kesempatan pertama kepada Abu Musa untuk naik mimbar. Abu Musa mengumumkan pemecatan Ali. Sesudah itu, Amr naik mimbar pula, ia menerima pemecatan Ali.
Karena Ali sudah dipecat, kata Amr, khalifah hanya tinggal Muawiyyah saja. Ia lalu menetapkan Muawiyah sebagai khalifah umat Islam. Keputusan tahkim itu memicu protes dari kubu Ali. Hasil perundingan itu tak berhasil menyelesaikan konflik. Yang ada justru melahirkan kelompok baru.
Kelompok Ali terpecah menjadi dua; kelompok pendukung yang disebut Syiah dan yang memberontak, yakni Khawarij. Setelah itu, di dunia Islam muncul Dinasti Umayyah yang berbasis di Damaskus.