CHARACTER BUILDING EDUCATION THROUGH THE TEACHING OF LITERATURE

CHARACTER BUILDING EDUCATION THROUGH THE TEACHING OF LITERATURE Dr. Inriati Lewa, M.Hum. Dra. Haryeni, M.Hum. Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanu

Autor Budi Yuwono

18 downloads 451 Views 53KB Size

Data uploaded manual by user so if you have question learn more, including how to report content that you think infringes your intellectual property rights, here.

Report DMCA / Copyright

Transcript

CHARACTER BUILDING EDUCATION THROUGH THE TEACHING OF LITERATURE Dr. Inriati Lewa, M.Hum. Dra. Haryeni, M.Hum. Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin [email protected] ABSTRACT

Character building education is to be included as a subject to teach in Indonesia schools. The character building education focuses on strengthening the five-fold moral principles of Pancasila in Indonesian children. It is expected that the children's character can be shaped earlier based on the moral principles of the country. The character building education aims to educate the character of Indonesian children to be good, wise, and other desirable psychological natures and it is desirable to be performed when they are younger or at their school age. When it is related to its relevance with the nation's development, the character building education should be firstly prioritized in the educational prime order of the nation because character building somehow is related to the source of moral education which serves as the backbone of the further shaping of the nation. The character building education can be implemented in certain types of learning for example in the learning of literature. In the learning of literature, appreciation for the beauty of literary works and their meanings, for being human, for softness which could be internalized as part of the desirable character to mold. For that reason, the study of character building education through the teaching of literature is considered essential to be performed. The method used in the study is descriptive qualitative aiming to describe the importance of character building education through the teaching of literature.

Keywords: character building education, literature, teaching

PENDAHULUAN Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Republik Indonesia Muhadjir Effendy menyatakan bahwa pendidikan karakter akan masuk bahan ajar sekolah di Indonesia pada tahun 2017. Rencananya, Kemendikbud akan mengalokasikan waktu sehari penuh untuk pembelajaran pendidikan karakter ini. Pada tahap awal, 1.500 sekolah ditargetkan siap terlibat pada implementasi program ini. Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Puan Maharani, menuturkan pendidikan karakter ini sangat penting, karena merupakan cikal bakal dari revolusi mental (Fajar, Januari 2017). Pendidikan karakter tersebut ditekankan untuk memperkuat pendidikan moral Pancasila, sehingga karakter anak dapat dibentuk sejak dini. Pendidikan dan pengajaran merupakan investasi terpenting dalam kehidupan manusia. Setiap orang berlomba-lomba menempuh pendidikan untuk mencari ilmu pengetahuan. Jika dilakukan dengan baik, pendidikan dan pengajaran jelas akan menghasilkan berbagai manfaat salah satunya adalah pendidikan karakter. Hal ini memungkinkan karena pendidikan karakter bertujuan untuk mendidik watak, akal budi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Pemberian pendidikan karakter tersebut akan lebih mudah dilakukan sejak usia muda. Pendidikan karakter jika dikaitkan dengan segi relevansinya dengan perkembangan bangsa seharusnya ditempatkan pada prioritas pertama dalam urutan pendidikan. Alasan untuk menempatkan pendidikan karakter berada pada urutan pertama adalah: (a) pendidikan karakter berkaitan dengan/ bahkan merupakan sumber pendidikan moral yang berpadanan dengan pendidikan budi pekerti menjadi tulang punggung pembentukan bangsa selanjutnya, (b) pendidikan karakter dianggap sebagai salah satu jenis ilmu pengetahuan yang mutlak diperlukan bagi semua bidang dan tingkat pendidikan, (c) pendidikan karakter sudah terkandung dalam keluarga, dalam kehidupan sehari-hari, bahkan juga dengan sanksi-sanksi tertentu (Ratna, 2014: 73-108). Dengan demikian, pendidikan karakter dapat melanjutkan potensi yang sudah ada tersebut. Pendidikan karakter akan berhasil jika ada keseimbangan antara pendidikan formal dan informal. Berkaitan dengan pendidikan karakter, hal yang paling penting diperhatikan adalah institusi pendidikan, yaitu sekolah, mulai pendidikan usia dini sampai ke perguruan tinggi. Di sekolahlah baik negeri maupun swasta, kurikulumnya sudah harus mencantumkan secara jelas mata pelajaran atau mata kuliah pendidikan karakter dengan berbagai variannya. Melalui

kurikulum juga sudah disediakan materi yang harus diajarkan dan bagaimana cara mengajarkannya. Dengan demikian, hasil akhir dari proses pembelajaran pendidikan karakter akan dicapai. Dalam proses belajar-mengajar, tidak hanya terdapat siswa atau mahasiswa saja, tetapi di dalamnya juga melibatkan pendidik dan tenaga kependidikan. Dengan melibatkan seluruh komponen tersebut sebagai pendidikan terpadu, pendidikan karakter akan terwujud dan tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Tujuan pendidikan nasional untuk mengembangkan potensi anak didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, sehat, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang bertanggung jawab dan demokratis, ternyata belum mampu diwujudkan secara nyata. Kenyataan yang terjadi pada masyarakat memperlihatkan bahwa pembangunan jati diri dan karakter bangsa semakin memudar disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor penyebab itu antara lain, semakin kurangnya keteladanan, pemberitaan media cetak dan elektronik yang tidak mendidik, pendidikan belum banyak memberi kontribusi optimal dalam pembentukan karakter peserta didik untuk mampu memahami kondisi bangsa dan segera mengambil sikap untuk memperbaikinya (Ismawati, 2013: 128) Pendidikan karakter bagi peserta didik amatlah perlu. Hal ini karena pendidikan karakter merupakan pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan seluruh warga belajar untuk memberikan keputusan baik buruk, keteladanan, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati (Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter Tahun 20102014). Menurut Ismawati (2013: 119) nilai-nilai karakter yang dikembangkan meliputi nilai religius, jujur, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, toleransi, demokratis, semangat kebangsaan, cinta tanah air, rasa ingin tahu, menghargai prestasi, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, serta bertanggung jawab. Yang menjadi pelaku dalam pendidikan karakter adalah para guru. Seorang guru tidak hanya mengajarkan konsep karakter, tetapi harus mampu menjadi berkarakter. Menjadi guru bahasa dan sastra yang berkarakter dapat dimulai dari cara mengajar, cara berkomunikasi, cara berpakaian, cara mencari penghasilan tambahan, sampai kepada cara hidup mereka sehari-hari. Hal ini karena di dalam pendidikan karakter yang dikedepankan adalah contoh dan perilaku. Selain itu, ada peserta didik yang sedang berada dalam proses pertumbuhan, proses pencarian,

selalu ingin mengetahui, dan selalu ingin bertanya. Mereka berasal dari latar belakang sosial dan budaya yang berbeda-beda begitu pula dengan bakat dan kemampuan yang juga berbeda-beda. Masa-masa pertumbuhan tersebut memerlukan figur tokoh yang dapat dijadikan sebagai anutan. Dalam hubungan inilah guru harus menjadi contoh bukan memberi contoh. Pendidikan karakter dapat diimplementasikan ke dalam pembelajaran, seperti pembelajaran sastra. Dalam pembelajaran sastra dimungkinkan tumbuhnya sikap apresiasi terhadap hal-hal yang indah, yang manusiawi, yang lembut untuk diinternalisasikan menjadi bagian dari karakter anak didik yang akan dibentuk. Di dalam karya sastra dapat ditemukan berbagai hal yang mengungkapkan tentang nilai-nilai kehidupan, nilai-nilai kemanusiaan, nilainilai sosial budaya, dan nilai-nilai hukum yang semuanya dapat ditemukan dalam prosa, puisi, drama maupun karya-karya yang berasal dari karya sastra lama. Sastra dapat menambah pengetahuan tentang pengalaman hidup manusia, membantu mengembangkan pribadi, pembentukan watak, memberi kepuasan, kenyamanan, serta meluaskan dimensi kehidupan. Penikmat akan memperoleh pencerahan, termasuk pendidikan karakter itu sendiri. Hal ini sangat berkaitan dengan fungsi sastra yaitu dulce et utile; indah dan bermanfaat. Tujuan pengajaran sastra akan berhasil dicapai apabila situasi pengajaran sastra yang ada di lapangan kondusif untuk mencapainya. Hal yang pertama dan utama yang harus ada adalah tersedianya guru-guru sastra yang andal, yang mampu mengajarkan sastra, dan yang memiliki apresiasi yang tinggi terhadap hasil-hasil sastra baik sastra lama maupun sastra modern. Guruguru yang seperti itulah nantinya yang akan membimbing anak didiknya ke arah pencapaian tujuan pengajaran sastra yang ideal yang diharapkan dapat membentuk karakter anak didik. Dengan demikian, karakter positif dari anak didik sebagai generasi penerus bangsa bisa diharapkan tercapai. Permasalahan yang terjadi di lapangan adalah umumnya para guru bahasa Indonesia tidak terlalu menguasai materi mengenai pengajaran sastra dan pemahaman tentang karya sastra. Karena itu, para guru bahasa Indonesia tersebut sangat jarang bahkan ada yang tidak mengajarkan apresiasi karya sastra kepada muridnya dengan alasan tidak terlalu paham mengenai karya sastra dan pengajaran sastra. Padahal melalui pengajaran apresiasi sastra, guru dapat merealisasikan pendidikan karakter kepada siswanya. Melalui apresiasi terhadap karya sastra para siswa secara langsung berhadapan dengan berbagai macam nilai-nilai kehidupan. Tulisan ini mencoba melihat bagaimana situasi pengajaran sastra dapat membangun karakter

anak didik yang lebih positif sehingga diharapkan akan menghasilkan generasi yang dapat berlaku arif dan bijaksana dalam segala hal. Generasi tersebutlah yang nantinya diharapkan akan menjadi pemimpin yang berkarakter positif, baik, dan berpikiran sehat. PEMBAHASAN A. Pengertian Karakter dan Pendidikan Karakter Pengertian kata karakter menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sifatsifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Dengan kata lain, karakter adalah tabiat, watak atau kepribadian seseorang yang menjadi kebiasaan dan akan selalu dilakukan dalam kehidupannya. Menurut ahli psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu. Pengertian karakter lainnya adalah cara berpikir dan berprilaku yang menjadi ciri khas dari tiap individu untuk hidup serta bekerja sama baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa maupun negara (Suyanto: 2009). Selanjutnya dikatakan bahwa karakter merupakan sesuatu yang berkaitan dengan kebiasaan hidup seorang individu yang bersifat menetap dan cenderung ke arah positif (Pritchard,1988: 467). Jadi, karakter adalah sifat dasar berupa akhlak dan budi pekerti yang positif yang dimiliki oleh seseorang dan menjadi keyakinan dan kebiasaan yang selalu dilakukan dalam hidupnya yang membedakannya dengan orang lainnya. Secara garis besar, karakter terbagi dua, yakni 1. Karakter yang positif atau baik (sehat) dan 2. Karakter negatif atau buruk (tidak sehat). Yang digolongkan ke dalam karakter positif atau sehat adalah (a) afiliasi tinggi, yaitu toleran, mudah menerima orang lain sebagai sahabat, dan mudah bekerja sama; (b) power tinggi, yaitu menjadi pemimpin yang cenderung menguasai teman-temannya dalam arti positif; (c) achieve, yakni selalu termotivasi untuk berprestasi; (d) asserte, yaitu tegas, lugas, dan tidak banyak bicara; dan (e) adventure, yaitu suka mencoba hal baru serta suka petualangan. Yang tergolong karakter negatif, buruk, dan tidak sehat adalah (a) nakal, yakni suka membuat ulah dan memancing kemarahan; (b) tidak teratur, tidak teliti, dan tidak cermat meskipun terkadang tidak disadari; (c) provokator, yakni suka mencari gara-gara, cenderung membuat ulah, dan ingin mencari perhatian; (d) penguasa, yakni cenderung menguasai teman-teman dan mengintimidasi; dan (e) pembangkang, yakni bangga jika berbeda dari orang lain dan tidak ingin melakukan hal yang sama dengan orang lain (Zulhan, 2010: 2-5).

Karakter yang tergolong negatif, buruk, dan tidak sehat diharapkan akan menjadi positif dengan pendidikan karakter melalui pengajaran sastra yang baik. Pengertian pendidikan karakter menurut ensiklopedia bebas Wikipedia dikatakan bahwa pendidikan karakter merupakan bentuk kegiatan manusia yang di dalamnya terdapat suatu tindakan yang mendidik dan diperuntukkan bagi generasi selanjutnya. Menurut Sudrajat (2010), pendidikan karakter adalah suatu sitem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai karakter tersebut. Selanjutnya dikatakan bahwa pendidikan karakter adalah semua yang dilakukan oleh pelaku pendidikan yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Pendidikan karakter yang diberikan kepada anak didik supaya penyempurnaan diri individu terbentuk secara terus-menerus sehingga kemampuan diri mereka terlatih sehingga dapat menuju kea rah hidup yang lebih baik. Hakikat pendidikan karakter, yakni berusaha menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik kepada peserta didik sehingga mereka mampu bersikap dan bertindak berdasarkan nilainilai yang telah menjadi kepribadian mereka. Oleh karena itu, pendidikan karakter yang baik haruslah melibatkan pengetahuan yang baik, perilaku yang baik, dan perasaan yang baik. Dengan demikian, akan terbentuk dan terwujud kesatuan sikap hidup serta perilaku anak didik (2013). Hal yang menarik diungkapkan oleh Kristianto (2013) yang berpendapat bahwa pendidikan karakter adalah sebuah konsep dasar yang diterapkan ke dalam pemikiran seseorang agar akhlak jasmani dan rohani serta budi pekerti mereka lebih berarti dari sebelumnya. Dengan demikian, seseorang yang telah mendapatkan pendidikan karakter dapat mengurangi krisis moral yang menerpa negeri ini. Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla telah menjadikan penguatan karakter sebagai salah satu program prioritas dalam kabinet mereka. Pemerintah akan melakukan revolusi karakter bangsa yang lebih dikenal dengan istilah revolusi mental terhadap semua elemen bangsa terutama terhadap generasi penerus bangsa. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

melalui

gerakan

Penguatan

Pendidikan

Karakter

(PPK)

mulai

mengimplementasikan gerakan penguatan karakter bangsa tersebut sejak tahun 2016. Sesuai arahan, porsi pendidikan karakter pada jenjang pendidikan dasar mendapatkan bagian yang lebih besar jika dibandingkan dengan pendidikan yang mengajarkan pengetahuan begitupula dengan

jenjang pendidikan lainnya. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan bahwa gerakan penguatan pendidikan karakter sebagai fondasi dan ruh utama pendidikan. Melalui gerakan PPK, pendidikan nasional harus memperhatikan kembali olah rasa (estetik), olah hati (etik dan spiritual), dan olah raga (kinestetik) bukan hanya olah pikir (literasi) saja. Semua dimensi pendidikan tersebut keempatnya haruslah dilakukan secara menyeluruh, utuh, dan bersama-sama dalam proses pembelajaran di sekolah. Di dalam pengembangan gerakan PPK, terdapat lima nilai utama yang kesemuanya bersumber dari Pancasila, yakni (1) nilai religius; (2) nilai nasionalisme; (3) nilai integritas; (4) nilai kemandirian; dan (5) nilai kegotongroyongan. Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional (2011:10) telah merumuskan materi pendidikan karakter yang mencakup aspek-aspek: (1) religius, (2) jujur, (3) toleran, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat atau komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, tanggung jawab. Semua nilai-nilai yang dikembangkan dalam gerakan PPK tersebut tidaklah berdiri sendiri dan dikembangkan sendiri-sendiri melainkan dikembangkan dan dilakukan secara bersama-sama dan saling terintegrasi satu dengan yang lainnya. Kelima nilai tersebut haruslah dikembangkan secara dinamis sehingga dapat membentuk keutuhan pribadi dari setiap peserta didik. B. Penanaman Pendidikan Karakter Melalui Pengajaran Sastra Fungsi karya sastra sudah dibicarakan sejak dulu. Fungsi karya sastra oleh Aristoteles dikenal dengan istilah ‘catharsis’ (katarsis). Menurut Wellek dan Warren (1993: 24-26), fungsi dan sifat sastra tidak dapat dipisahkan, dan konsep tentangnya secara mendasar tidak banyak berubah. Fungsi sastra didasarkan pada konsep Horace, yakni dulce dan utile; indah dan berguna (Teeuw,1984: 184). Fungsi karya sastra disesuaikan dengan sifatnya, yaitu kesenangan yang memberikan kontemplasi dan manfaat yang bersifat didaktis. Menurut Chamamah-Soeratno (1994), fungsi sastra di dalam masyarakat ada tiga, yaitu (1) sarana menyampaikan ajaran moral atau agama; (2) untuk kepentingan politik pemerintah; (3) untuk kepentingan sosial kemasyarakatan. Dengan demikian, jika dikaitkan dengan pendidikan karakter terlihat bahwa pengajaran sastra bisa dilakukan dalam kerangka membangun karakter anak didik sebagai penerus generasi bangsa.

Jika dikaitkan dengan seni dalam hal ini seni pertunjukan, menurut Erriam (Ratna, 2005: 132), ada sepuluh fungsi yang harus dipenuhi oleh seni tersebut agar berfungsi maksimal di dalam kehidupan masyarakat. Kesepuluh fungsi tersebut adalah (1) fungsi pengungkapan emosional; (2) fungsi pengungkapan rasa estetika; (3) fungsi hiburan; (4) fungsi komunikasi; (5) fungsi pengungkapan simbolik; (6) fungsi reaksi jasmani; (7) fungsi penyelenggaraan normanorma sosial; (8) fungsi pengesahan lembaga sosial, termasuk agama; (9) fungsi kesinambungan kebudayaan; (10) fungsi pengintegrasian sosial. Berkaitan dengan fungsi seni pertunjukan, Soedarsono (2001: 170) membagi fungsi seni tersebut menjadi dua, yaitu fungsi primer dan fungsi sekunder. Fungsi primer berkaitan dengan seni pertunjukan adalah (a) sebagai sarana ritual; (b) sebagai ungkapan pribadi yang pada umumnya berupa hiburan pribadi; dan (c) sebagai presentasi estetis. Fungsi sekunder menempatkan seni pertunjukan tidak sekedar dinikmati, tetapi digunakan juga untuk kepentingan lain. Fungsi sekunder inilah yang banyak jumlahnya, yakni (a) sebagai pengikat solidaritas kelompok masyarakat; (b) sebagai media komunikasi massa; (c) sebagai media propaganda politik; (d) sebagai propaganda program-program pemerintah, dan sebagainya. Karya sastra yang diciptakan oleh seseorang dipakai sebagai alat untuk mengungkapkan perasaan, pikiran, gagasan, serta kepercayaan mereka. Oleh sebab itu, melalui karya sastra dapat dijajaki dan dipelajari sejumlah aspek kehidupan masyarakat yang selama ini membentuk perilaku, nilai, pikiran, serta sikap mereka. Hal ini diperlukan dalam kaitannya dengan pembangunan budaya bangsa. Pengenalan, pemahaman, serta penghayatan terhadap nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra dapat dipakai sebagai modal utama dalam pembentukan karakter anak didik. Nilai-nilai positif yang terdapat dalam karya sastra dapat diajarkan kepada peserta didik pada jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi bahkan pada masyarakat umum. Nilai tersebut merupakan sesuatu yang dipandang berharga oleh orang atau kelompok orang sehingga dapat dijadikan sebagai acuan tindakan maupun pengarti arah hidup. Nilai-nilai begitu pula norma-norma serta pengalaman-pengalaman yang dimiliki mengikat individu dan kelompok tersebut. Fukuyama (2002: 20) mengatakan, semakin kuat mereka memegang nilai-nilai bersama tersebut semakin kuat pula rasa komunitasnya. Nilai-nilai yang diyakini bersama, disepakati, serta tertanam dalam suatu masyarakat dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari merupakan

warisan budaya yang dimiliki oleh masyarakat itu. Warisan budaya yang menjadi milik masyarakatnya diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Caracara pewarisan nilai-nilai budaya dalam suatu masyarakat menurut Sedyawati (2006: 412) dapat melalui; (1) pola pengasuhan anak serta semua upaya enkulturasi yang terjadi dalam lingkungan keluarga; (2) sistem pendidikan yang bersifat formal; (3) kegiatan-kegiatan dalam masyarakat yang dapat diikuti oleh “umum”, seperti pembacaan sastra, pagelaran seni pertunjukan, upacaraupacara tertentu, dan lain-lain. Karya sastra, yang berfungsi sebagai sarana komunikasi sarat dengan nilai-nilai yang terdapat di dalam suatu masyarakat. Ia merupakan sarana pembentuk kepribadian, intelegensi kecerdasan, serta intelegensi emosional yang sangat penting dalam pengembangan hidup seseorang.

Melalui

komunikasi,

seseorang

belajar

mengutarakan

buah

pikiran

dan

pengalamannya kepada orang lain. Dengan demikian, akan terjadi transmisi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (Tilaar, 1999: 15). Jika karya sastra diajarkan kepada peserta didik, transmisi nilai-nilai positif akan berpindah dan menular kepada mereka. Hal tersebut selalu dikaitkan dengan aspek pragmatis karya sastra, baik pada masyarakat tradisional maupun masyarakat masa kini. Dalam hal ini, karya sastra ditempatkan pada pembicaraan bahwa karya sastra hadir dalam rangka fungsi sebagai alat komunikasi (Chamamah-Soeratno, 1992). Fungsi kesusastraan, jika dikaitkan dengan bahasa sebagai alat komunikasi, adalah memberikan kesenangan estetik untuk melihat kehidupan dalam sebuah penerangan baru dengan cara menunjukkan bentuk-bentuk alternatif kehidupan (Lefevere, 1977: 70). Jika dikaitkan dengan fungsi, misalnya dalam tradisi lisan yang didasarkan pada pemikiran serta ukuran, yang terdapat dalam tradisi lisan tersebut, Sweneey (1998:7) mengatakannya sebagai “pelipur lara”. Pengertian ini telah disalahartikan oleh sarjana kolonial sebagai pelarian dari kenyataan atau escapism, padahal menurutnya, justru merupakan hal yang sangat penting. Fungsi sebagai “pelipur lara” dapat disamakan dengan katharsis (Teeuw, 1984: 221). Hal ini dapat dilihat pada saat khalayak penonton menyaksikan sebuah pertunjukan lisan yang selalu diharapkan adalah mereka akan diberi pengajaran tentang yang pernah ada—yang ada—dan harus ada yang dapat diteladaninya, dan harus selalu diingat seperti agama, kerajaan, undang-undang, ataupun moral. Inilah yang disebut dengan guna atau faedah yang harus ada dalam cerita. Di samping itu, pertunjukan sastra lisan pun memberi kesempatan kepada penonton

untuk sejenak melupakan realitas dan kehidupan yang dijalaninya. Fungsi inilah yang disebut dengan hiburan dalam sastra lisan (Pudentia, 1998: 48). C. PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI NILAI-NILAI YANG TERDAPAT DALAM KARYA SASTRA Nilai adalah salah satu perwujudan dari cara pandang yang khas terhadap dunia (Frondasi, 2007: 1-2). Nilai merupakan bagian yang integral dari struktur kepribadian individu dan bagian hasil interaksi sosial dan kebudayaan lingkungan. Nilai secara relatif bersifat tetap artinya nilai itu tidak berubah dan merupakan komponen dasar dari kesadaran psikologis yang dapat mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang (Rokeach, 1973). Berbagai macam nilai yang ada dan berlaku pada seseorang atau pun masyarakat tidaklah datang begitu saja. Schimmack, et. al. (2002) menyatakan bahwa nilai bersifat subjektif dan diperoleh atau merupakan hasil belajar. Dengan demikian, nilai yang diperoleh tersebut tentulah sangat sukar dilepaskan dari individu pemiliknya. Nilai adalah gagasan tentang kehidupan yang dianggap sangat penting oleh suatu masyarakat (Ikram, 1997: 145). Semua nilai yang ada dan diyakini oleh individu dalam masyarakat pendukung nilai tersebut dan digunakan dalam kehidupan keseharian merupakan warisan budaya. Menurut Salim (2002: 20) warisan budaya yang ada pada masyarakat pendukung sebuah budaya terbagi atas kebudayaan material (kebendaan, teknologi) dan kebudayaan immaterial (nonbenda, adat, norma, dan nilai-nilai). Salah satu cara untuk mendapatkan beragam nilai adalah melalui karya sastra. Di dalam karya sastra terkandung beberapa nilai luhur seperti moral, agama, atau pun nilai patriotism yang dipandang sebagai hal yang sangat relevan untuk diajarkan dan digunakan dalam kehidupan sekarang ini. Seperti yang dikemukakan oleh Chamamah-Soeratno (2011: 40) bahwa untuk menghadapi dampak globalisasi dewasa ini diperlukan ketahanan diri yang kuat. Salah satunya dengan cara mengajarkan karya sastra yang memuat nilai-nilai positif yang berguna untuk mendidik karakter anak didik dengan jalan mengangkat dan mengungkapkan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tersimpan dalam karya sastra tersebut. Selanjutnya nilainilai tersebut disosialisasikan kepada masyarakat secara luas demi kepentingan masa depan bangsa.

Nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra relevansinya untuk masa kini masih sangat diperlukan. Menurut Kluckhohn (dalam Liliweri, 2001: 64) aspek-aspek nilai yang harus diungkap untuk diajarkan melalui pengajaran sastra meliputi: (1) nilai yang berhubungan dengan sifat dasar manusia yakni kebaikan dan kejahatan; (2) nilai yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dan alam; (3) nilai yang berhubungan dengan waktu; (4) nilai yang menjadikan manusia bermutu atau tidak; dan (5) nilai yang berhubungan dengan relasi individu dengan kelompoknya. Nilai-nilai itu menjadi sarana pembentuk kepribadian, intelegensi kecerdasan, serta intelegensi emosional yang sangat penting dalam perkembangan hidup seseorang. Nilainilai tersebut diharapkan dapat menjadi pedoman tingkah laku yang berasal dari adat-istiadat, sistem norma, aturan etika, aturan moral, sopan santun, pandangan hidup, dan ideologi pribadi. Keseluruhan nilai-nilai itulah yang diharapkan menjadi sarana untuk mempertinggi sifat-sifat kemanusiaan dan ketakwaan mereka. Berikut ini adalah contoh pendidikan karakter yang dapat diajarkan kepada anak didik melalui pengajaran satra. Karya sastra yang diajarkan tersebut dikaitkan dengan pengembangan gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Terdapat lima nilai utama yang kesemuanya bersumber dari Pancasila. Nilai-nilai tersebut dapat ditemukan dalam karya sastra lama dan karya sastra masa kini baik yang berbentuk puisi, prosa, maupun drama. 1. Nilai Religius Sastra lama: Barangsiapa tinggalkan sembahyang Bagai rumah tiada bertiang Prosa: dapat ditemukan, misalnya pada novel Hidayah dalam Cinta karya Rohmat Nurhadi Alkastani. Kumpulan cerita pendek Derai-Derai Kamboja Karya Koesmarwanti, novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata, Novel Hafalan Shalat Delisa karya Tere-Liye, novel AyatAyat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy, Novel 99 Cahaya di Langit Eropa karya Hanum Salsabila Rais dan Rangga Almahendra, dan lain-lain.

“ Saya hanya yakin hidayah Allah itu ada di mana saja dan kapan saja. Hanya kita tidak tahu cara mendapatkannya dan bukan karena Allah tidak memberikan hidayah itu. Saya hanya berdoa dan meyakininya, semoga Pak Mandor segera mendapatkan hidayah dari Allah.” (HIDACI, 2013: 27)

Puisi: bisa ditemukan pada puisi-puisi Khairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, WS Rendra, Taufik Ismail, dan lain-lain. Drama: dapat ditemukan pada Naskah Drama Mastodon dan Burung Kondor Karya W.S. Rendra, naskah drama Matahari di Sebuah Jalan Kecil karya Arifin C Noer, Naskah drama Kapai-kapai karya Arifin C Noer, dan lain-lain. 2. Nilai Nasionalisme Karya sastra yang berkaitan dengan nilai-nilai nasionalme dapat ditemukan pada karya sastra seperti dalam novel Sebelas Patriot Karya Andrea Hirata, Kumpulan Puisi Potret Pembangunan Dalam Puisi Karya W. S. Rendra, Novel 5 cm. Karya Donny Dhirgantoro, Chairit Anwar dengan puisi-puisi seperti "Aku", "Diponegoro", "Cerita Buat Dien Tamaela", "Krawang Bekasi, dan "Catetan 1946, dan lain-lain. 3. Nilai Integritas Karya sastra yang berkaitan dengan nilai-nilai integritas seperti pada karya sastra Tetralogi Novel Serial Anak-anak Mamak Karya Tere Liye, novel Sukreni Gadis Bal karya A A Panji Tisna, Novel Sanja Sangu Trebela karya Peni, novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, Novel Mimi Lan Mintuna karya Remy Sylado,dan lain-lain. 4. Nilai kemandirian Karya sastra yang mengandung nilai-nilai kemandirian dapat ditemukan pada novel Bumi Cinta karya Habiburrahman El Shirazy, Novel Penari Kecil karya Sari Safitri Mohan, kumpulan cerpen Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari, novel Air Mata Terakhir Bunda karya Kirana Kejora, novel Kerajut Benang Ireng karya Harwimuka, dan lain sebagainya. 5. Nilai Kegotongroyongan Karya sastra yang berkaitan dengan nilai-nilai kegotongroyongan seperti pada novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari, novel Cahaya di Atas Cahaya karya Oki Setiana Dewi, novel Gugur Bunga Kedaton karya Wahyu H.R., cerita rakyat yang terdapat pada semua masyrakat yang ada di Indonesia, Novel Amelia karya Tere-Liye, kumpulan puisi Sembahyang Karang karya Arini Hidayati, dan lain-lain.

PENUTUP Dalam pelaksanaan pendidikan karakter melalui pengajaran sastra sangat diperlukan materi dan pengajar yang dapat melaksanakan kegiatan tersebut. Salah satu kunci keberhasilan pendidikan karakter adalah pada peran guru yang mengajarkan hal itu. Kemendikbud melalui revisi Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2008 menjadi PP Nomor 19 Tahun 2017, mendorong perubahan paradigma para guru agar mampu melaksanakan perannya sebagai pendidik profesional yang tidak hanya mampu mencerdaskan anak didik, namun juga membentuk karakter positif mereka agar menjadi generasi emas Indonesia dengan kecakapan abad ke-21. Melalui pengajaran sastra hal tersebut dapat terwujud karena di dalam karya sastra terdapat aspek-aspek yang berkaitan dengan pendidikan karakter. Nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra dapat diajarkan kepada anak didik sehingga karakter yang diharapkan dapat berubah menjadi karakter positif yang berguna bagi diri mereka dan masyarakat di sekitarnya. Pengenalan, pemahaman, serta penghayatan terhadap nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra dapat dipakai sebagai modal utama dalam pembentukan karakter anak didik. Dengan demikian, seseorang yang telah mendapatkan pendidikan karakter dapat mengurangi krisis moral yang menerpa negeri ini. DAFTAR PUSTAKA Chamamah-Soeratno. 1992. “Penelitian Resepsi Sastra dan Problematikanya” Makalah disampaikan pada seminar Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta. ---------------. 1994. “Penelitian Sastra dari Sisi Pembaca: Suatu Pembicaraan Metodologi” dalam Teori Penelitian Sastra. Jabrohim (ed.). Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia dan IKIP Muhammadiyah. ---------------. 2011. Sastra: Teori dan Metode. Yogyakarta: Elmatera. Frondisi, Risieri. 2007. What is Value? Diterjemahkan oleh Cut Ananta Wijaya dengan judul Pengantar Filsafat Nilai. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fukuyama, Francis. 2000. The Great Disruption. Diterjemahkan oleh Ruslani. Yogyakarta: Qalam. hengki kristianto October 18, 2013 Pengertian Pendidikan Karakter Secara Umum. Ismawati, Esti. 2013. Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Ikram, Achadiati. 1997. Filologia Nusantara. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. Lefevere, Andre. 1977. Literary Knowledge. Amsterdam: Van Gorcum, Assen. Liliweri, Alo. 2001. Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Pudentia (ed.). 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor & ATL.

Pritchard, I. 1988. ”Character \education: Research Prospect and Problem” American Journal of Education. 96 (4) 1988. Published on Feb 1, 2016 Pendidikan Karakter dalam Kurikulum 2013 Sunanto, S.Pd.,M.Si. Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional (2011) Ratna, Nyoman Kutha. 2014. Peranan Karya Sastra, Seni, dan Budaya dalam Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter Tahun 2010-2014 Rokeach, M. 1973. The Nature of Human Values. New York: The Free Press. Salim, Agus. 2002. Perubahan Sosial: Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya. Schimmack, U.,Radhakrishnan,P., Oishi,S., Dzakoto,V., dan Ahadi, S. 2002. “Culture, Personality, and Subjective Well-Being: Integrating Process Models of LifeSatisfaction”. Journal Personality and Social Psychology, 82, 582-593. Sedyawati, Edi. 2006. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Soedarsono, R.M. 2001. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Bandung: MSPI. Suyanto. 2009. Urgensi Pendidikan Karakter. http:// www. mandikdasmen. depdiknas. go.id/ web/pages/urgensi.html. Sweneey, Amin. 1998. “Surat Naskah Angka Bersuara; Ke Arah Mencari “Kelisanan””. Makalah Lokakarya Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Bogor: ATL. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Tilaar, H.A.R. 1999. “Makna Tradisi Lisan dalam Reformasi Pendidikan Nasional”. Makalah Seminar Internasional Tradisi Lisan. Jakarta. Wellek, Rene & Warren, Austin. 1993. Teori Kesusastraan. Diindonesiakan oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Zuhlan, Najib. 2011. Pendidikan Berbasis Karakter. Surabaya: JePe Press Media Utama. kemendikbud.go.id., 2011 Siaran Pers Kemendikbud: Penguatan Pendidikan Karakter, Pintu Masuk Pembenahan Pendidikan Nasional siaran-pers 17 Jul 2017 http://www.dikti.go.id/siaran-pers-kemendikbud-penguatan-pendidikan-karakter-pintu-masukpembenahan-pendidikan-nasional/#lGoKsg7pBM8ZTxyM.99 http://www.infodiknas.com/peran-sastra-dalam-pembentukan-karakter-bangsa.html

Life Enjoy

" Life is not a problem to be solved but a reality to be experienced! "

Get in touch

Social

© Copyright 2013 - 2024 KUDO.TIPS - All rights reserved.