MISTERI PENUNGGU POHON TUA SERI KUMPUL AN CERPEN BUDDHIS
i
MISTERI PENUNGGU POHON TUA SERI KUMPULAN CERPEN BUDDHIS Sampul & Tata Letak : poise design Ukuran Buku Jadi : 130 x 185 mm Kertas Cover : Art Cartoon 210 gsm Kertas Isi : HVS 70 gsm Jumlah Halaman : 112 halaman Jenis Font : Segoe UI Mountains of Christmas Rawengulk Sans Diterbitkan Oleh :
Vidyāsenā Production Vihāra Vidyāloka Jl. Kenari Gg. Tanjung I No. 231 Telp. 0274 542 919 Yogyakarta 55165 Cetakan Pertama, Mei 2015
Untuk Kalangan Sendiri
Tidak diperjualbelikan. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku dalam bentuk apapun tanpa seizin penerbit.
ii
Daftar Isi Kata Pengantar ..................................................................... iv Prawacana Penerbit ........................................................... vi Kata Pengantar Koordinator KCB ............................ ...... viii 1. Cinta itu (tidak) Buta........................................... 9 2. Embun Cinta ............................................................ 13 3. Kisah Simi Semut Merah ................................... 24 4. Makhluk Kecil dan Dewa Hujan ................... 32 5. Misteri Penunggu Pohon Tua... ..................... 47 6. Pahlawan di Hari Pahlawan ............................. 59 7. Perjuangan Pelajaran Kehidupan ................. 75 8. Sabaidee Laos ......................................................... 83 9. Sepanjang Lintasan Kereta ............................... 94 10. Setangkai Bunga ................................................... 108 Tentang Proof Reader.................................................... ...... 113 Tentang Penulis........................................................ .............. 114 Tentang Ilustrator ............................ .................................... 118 iii
Kata Pengantar Dhamma, atau kebenaran, selalu dapat kita lihat dalam keseharian kita. Darimana pun sudut pandang kita, bagaimana pun cara kita melihatnya, Dhamma selalu ada di sekitar kita. Kumpulan cerpen dalam buku Misteri Penunggu Pohon Tua ini berisi tentang hal-hal yang seringkali kita jumpai dalam kehidupan. Saat kita sedang bekerja, berlibur, membersihkan rumah, berada di tempattempat umum, ataupun bersama orang-orang yang kita kasihi, kita selalu dapat melihat Dhamma. Buku Misteri Penunggu Pohon Tua ini diterbitkan dalam rangka peringatan Tri Suci Waisak 2559 TB tahun 2015. Dalam peringatan Tri Suci Waisak, kita mengenang kelahiran Siddharta Gautama, pencapaian penerangan sempurna Buddha Gautama, dan parinibbana Buddha Gautama. Dengan mengenang kembali Sang Bhagava, kita mengenang kembali nilai-nilai luhur dari Dhamma yang diajarkan Beliau. Dhamma yang diajarkan begitu universal, sehingga dalam keseharian kita, kita selalu dapat melihat Dhamma. Ini adalah pesan moral yang sangat baik yang dapat kita ambil dari kumpulan cerpen ini.
iv
Terima kasih kami ucapkan kepada para penulis yang dengan kreatif telah menguraikan Dhamma dalam bentuk cerita keseharian kita. Terima kasih juga kami sampaikan kepada seluruh pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan buku ini. Kami juga menyampaikan terima kasih kepada para donatur yang telah berdana untuk menunjang penerbitan buku ini, dan tentu saja, kepada Anda pembaca sekalian, yang telah menyempatkan diri untuk membuka buku ini dan membaca cerita-cerita bermakna di dalamnya. Dengan diterbitkannya buku ini, kami berharap bahwa para pembaca dapat merasakan Dhamma yang indah dalam segala aspek yang ada di kehidupan kita. Semoga kita semua juga dapat melihat kehidupan ini secara lebih positif dan bijaksana sehingga bukan tidak mungkin, kita dapat menyebarkan kebahagiaan kepada semua makhluk di dunia ini. Semoga Anda selalu berbahagia. Semoga semua makhluk berbahagia. Ketua Umum Vidyāsenā Vihāra Vidyāloka
Rhea Rosanti
v
Prawacana Penerbit Hari raya Tri Suci Waisak merupakan hari besar yang dirayakan oleh umat Buddha di seluruh dunia. Perayaan Tri Suci Waisak ini memperingati 3 peristiwa penting, yaitu kelahiran Pangeran Siddharta, tercapainya penerangan sempurna oleh pertapa Gotama dan pencapaian Maha Parinibana oleh Buddha Gotama. Ketiga peristiwa tersebut terjadi pada purnama sidhi di bulan Waisak. Untuk menyambut hari Tri Suci Waisak 2559 TB tahun 2015, INSIGHT VIDYASENA PRODUCTION kembali menerbitkan sebuah buku kumpulan cerpen yang berjudul “MISTERI PENUNGGU POHON TUA” karya Komunitas Cerpen Buddhis (KCB) yang berkolaborasi dengan Insight Vidyasena Production (IVP). Kumpulan cerpen di dalam buku ini ditulis oleh para relawan yang tergabung dalam KCB. Dengan cerita-cerita menarik yang disajikan oleh para penulis, diharapkan pembaca dapat lebih mudah memahami inti dari tiap cerita pendek yang disajikan. Penerbit ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar besarnya kepada para penulis cerpen yang telah memberikan sumbangan berupa untaian cerita yang
vi
begitu indah dan bermakna. Selain itu, Penerbit juga mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Seng Hansen atas ide penerbitan buku ini, juga kepada Sdr. Hendra Widjaja dan Sdri. Juniarti Salim selaku Proof reader atas penerbitan buku ini. Kami berharap teman-teman dapat terus berkarya dan terus berusaha menghasilkan karya menakjubkan lainnya. Tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada para donatur karena berkat bantuan dananya buku ini bisa terbit. Kritik, saran dan masukan sangat kami harapkan untuk menyempurnakan buku-buku kami selanjutnya. Semoga dengan diterbitkannya buku ini, dapat menambah wawasan dan kebijaksanaan anda dalam bertindak dan menyikapi fenomena hidup. Semoga dengan dana yang telah Anda berikan dapat membawa kebahagiaan bagi Anda dan juga semua makhluk di dunia. Selamat hari raya Tri Suci Waisak 2559 TB
Manajer Produksi Buku
Prayogo Fajarai
vii
Kata Pengantar Koordinator KCB Tahun 2011 penulis diminta ikut mengirimkan cerpen Buddhis. Akhirnya dua cerpen Buddhis karya penulis tampil di buku kumpulan cerpen Buddhis “Asal Usul Pohon Salak” terbitan Insight Vidyasena Production (IVP), Yogyakarta. Saat membaca buku tersebut, sebuah ide melintas di benak penulis. Mengapa buku kumpulan cerpen Buddhis seperti ini tidak diterbitkan setiap tahun? Penulis jadi terobsesi untuk mewujudkannya. Penulis mulai menulis cerpen-cerpen Buddhis lalu mengumpulkannya. Dalam waktu berdekatan, penulis membuat group BBM “Komunitas Cerpen Buddhis” (KCB). Bahagia tak terhingga ketika tawaran penulis kepada rekan-rekan se-Dharma untuk mengisi posisi-posisi yang dibutuhkan KCB mendapat sambutan hangat. Relawan KCB tersebar di berbagai kota di Indonesia (Bandung, Medan, Jakarta, Denpasar, Palembang,...), bahkan ada relawan yang tinggal di Tokyo, Jepang.
viii
Bukan hanya berbeda tempat tinggal, KCB mampu mensinergikan potensi pemuda Buddhis yang memiliki kemampuan berbeda untuk berkontribusi pada Buddha Dharma. Dan, untungnya ada teknologi memudahkan semuanya. Relawan bisa membantu pembabaran Dharma (di sela-sela kesibukannya), tanpa harus meninggalkan tempat tinggal mereka. Di halaman belakang buku, Anda dapat melihat profil mereka yang ada di balik terbitnya buku ini. Akhir Oktober 2014 Ehipassiko Foundation menerbitkan buku kumpulan cerpen Buddhis “Ketika Metta Memilih” yang berisi cerpen-cerpen Buddhis karya penulis. Dan sekarang, giliran buku kumpulan cerpen Buddhis perdana karya KCB “Misteri Penunggu Pohon Tua” yang terbit. Ini semua berkat kerja keras relawan-relawan KCB. Akhir kata, terima kasih kepada para relawan KCB, penerbit Insight Vidyasena Production (IVP), Yogyakarta, dan semua pihak yang telah berkontribusi mewujudkan obsesi penulis, menerbitkan buku kumpulan cerpen Buddhis gratis minimal 1 tahun 1 buku. Komentar, saran, kritik, atau Anda yang ingin bergabung menjadi relawan KCB, silakan kirim ke email:
[email protected] Selamat menikmati hidangan kami, maaf jika ada katakata yang kurang berkenan. Semoga buku ini memberi nuansa baru dalam pembabaran Dharma di Indonesia,
ix
pembabaran Dharma yang lebih santai, menyegarkan, tidak menggurui, tapi dapat menyentuh pembacanya.
Mettacittena,
Hendry Filcozwei Jan
www.vihara.blogspot.com
x
1 Cinta itu (tidak) Buta... Hendry Filcozwei Jan
“Ssst... siapa tuh?” tanya Nikita pada Noval, pacarnya. “Ssst... jangan keras-keras, nanti dia denger,” kata Noval sambil meminta Nikita duduk di ruang tamu sejenak. “Aku ganti pakaian dulu ya, habis ini kita makan malam,” kata Noval. Noval menghilang ke dalam kamar kost-nya. Nikita yang duduk di ruang tamu masih terus memperhatikan cowok yang sedang memegang piring berisi nasi dan sepotong perkedel kentang sambil terus mengetuk-ngetuk piring itu. “Ayo semut... pindah ke sini ya?” kata cowok itu sambil memotong bagian ujung perkedel yang dikerumuni semut. Potongan perkedelnya diletakkan di pojokan teras. Tangannya masih terus mengetuk-ngetuk pinggir piring agar semut pergi dari perkedel dan piringnya.
1
Agak miring nih otak cowok ini, batin Nikita. Cowok itu kemudian berdiri, tersenyum sekilas pada Nikita lalu masuk ke kamar kost-nya. Noval keluar dari kamarnya dengan pakaian yang sudah rapi. “Yuk... kita makan malam sekarang,” kata Noval pada Nikita. Saat sudah agak jauh dari tempat kost, Nikita tak sabaran untuk bertanya, “Siapa sih cowok tadi yang ngomong sama semut? Semut sayang, pindah ke sini ya?” Kontan Noval tertawa keras. “Richard namanya. Anak baru, baru seminggu dia kost. Kuliahnya di Ekonomi. Anaknya sih baik, malah kelewat baik dan dianggap lebay serta ‘agak miring’ sama penghuni kost lainnya,” kata Noval sambil meletakkan jari telunjuknya di kening. Baru seminggu dia di tempat kost, tingkah anehnya sudah cukup banyak. Ya, kayak tadi, ngomong sama semut. Kamu tau sendiri ‘kan, di kost-an saya banyak sekali semut. Kalau taruh segelas teh manis di atas meja, lupa diletakkan di piring atau mangkuk yang sudah diberi air, sebentar saja sudah diserbu semut,” cerita Noval. “Semut saja dibelain segitunya. Kalau saya, piring makanan disemutin, pilihannya cuma dua: taruh piring di atas tutup panci yang sedang digunakan untuk masak air panas atau buang saja semuanya dan beli baru. Males nungguin dan nyuruh semut itu pindah. Cara paling cepat, taruh saja piring di atas tutup panci yang panas, semutnya kocarkacir, ketika turun ke tutup panci, menggelepar sebentar, 2
mati deh... Semuanya beres, nggak pake lama,” Noval tertawa. Nikita pun tersenyum, “Pacarku memang hebat.” *********** Ada sebuah meja panjang, di atasnya ada piring berisi bungkusan emping, kerupuk udang, lalu ada tisu gulung, tempat tusuk gigi, serta tempat sendok dan garpu. Inilah suasana warung tenda di kaki lima yang menyajikan menu pecel lele, tahu, dan tempe goreng, ayam goreng, bebek goreng, serta soto ayam. 3
Vicko duduk di bangku panjang di bagian paling kanan. Di ujung sebelah kirinya ada 2 orang bapak yang sedang menikmati makan malamnya. Udara dingin Kota Bandung membuat suasana makan malam jadi lebih nikmat. “Permisi...” suara seorang pemuda mengalihkan perhatian Vicko. Vicko menoleh, eh... rupanya ada seorang pemuda yang juga mau makan. Vicko menggeser duduknya agak ke kiri agar pemuda tadi bisa duduk. Memang agak sulit untuk duduk di bagian tengah bangku panjang ini karena persis di belakang Vicko, kain tenda penutup warung ini menempel di punggung. Jadi jika ada pengunjung yang baru datang, pengunjung yang sudah duduk duluan, biasanya bergeser ke tengah. Setelah pemuda tadi duduk, ibu pemilik warung pecel lele menghidangkan dua gelas teh, satu gelas untuk Vicko dan satu gelas untuk pemuda tadi. “Pesan apa Dik?” tanya ibu pemilik warung pada kami. Pemuda yang baru datang langsung menyebut “Nasi putih dan pecel lele Bu. Sambelnya yang pedes ya?” “Kalau adik?” tanya ibu pemilik warung kepada Vicko. “Nasi putih dan ayam goreng Bu,” kata Vicko. “Aduh lupa...,” kata pemuda di sebelah Vicko seolah berkata pada diri sendiri. “Aduh maaf Bu, lele-nya besar atau kecil?” tanya pemuda itu. “Silakan pilih Dik, ada yang besar dan ada yang kecil. Masih seger, semuanya masih hidup. Sini lihat sendiri di ember, mau pilih yang mana?” kata ibu pemilik warung itu ramah. 4
“Ehm... kalau begitu, ayam goreng saja deh...,” kata pemuda tadi. Ibu pemilik warung tampak melongo mendengar ucapan pemuda ini. Dua bapak yang sedang makan pun menoleh dan melihat ke arah pemuda itu dengan pandangan bingung. Sesaat kemudian hidangan datang, Vicko dan pemuda itu tenggelam dalam keasyikan masing-masing, menikmati makan malam di warung tenda kaki lima di kota yang dijuluki Paris van Java ini. Sebenarnya Vicko pun merasa aneh dengan tingkah pemuda ini.Waktu datang begitu semangat pesan pecel lele, eh... tiba-tiba berubah pikiran dan ikut-ikutan memesan ayam goreng. Vicko melihat tumpukan buku milik pemuda itu, yang diletakkannya di atas meja. Dari tumpukan bukunya, Vicko menebak ia seorang mahasiswa. Wow... ada buku “Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya” karya Ajahn Brahm. Mungkinkah ia seorang Buddhis, batin Vicko. “Kamu mahasiswa ya?” Vicko memulai pembicaraan. “Ya, Kak,” jawab pemuda itu. Vicko sulit menemukan kalimat apa yang harus ia ucapkan untuk memastikan apakah benar pemuda ini seorang Buddhis. Tentu tidak etis banget, masa’ baru kenal, langsung tanya: kamu agama apa? Lagi pula, yang baca buku Buddhis, apalagi karya Ajahn Brahm tidaklah harus seorang Buddhis.
5
“Asli Bandung?” Vicko mengulur waktu mencari kalimat apa yang tepat untuk mengetahui apa sih agamanya. Hehehe... kepo ya? “Bukan, saya dari Palembang,” jawabnya. “Wah... keren bacaannya. Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya karya Ajahn Brahm. Saya best seller baca buku best seller itu. Banyak teman yang bilang, isinya bagus tapi saya belum sempat baca. Di perpustakaan vihara ada, tapi saya belum sempat pinjam,” Vicko menemukan kalimat yang pas untuk mencari tau agamanya. Sengaja ia memberi penekanan pada kata perpustakaan vihara. “Kakak Buddhis?” dia langsung antusias. Vicko hanya mengangguk. “Saya Richard,” kata pemuda itu. “Kakak siapa?” “Saya Vicko,” jawab Vicko. Itulah awal pertemuan Vicko dengan mahasiswa Buddhis semester satu, yang kini jadi teman diskusi Vicko soal Dhamma. Ia bernama Richard Bryan.Dulunya Richard aktivis Buddhis di Vihara Dharmakirti, Palembang. Usia Vicko dan Richard berbeda 5 tahun, makanya Richard selalu menyapa Ko Vicko saat berbicara pada Vicko. ***********
6
Ketika hari Minggu ketemu di vihara, Vicko tak bisa menahan rasa keingintahuannya, mengapa waktu itu Richard berubah pikiran, semula pesan pecel lele, tibatiba saja berubah jadi ayam goreng. “Lho... bukankah itu melanggar sila pertama dari Pancasila Buddhis jika saya tetap pesan pecel lele?” tanya Richard. “Kita ‘kan tidak membunuh lele itu?” Vicko balik bertanya. “Ko Vicko, dalam Dhamma, syarat terjadinya pembunuhan itu: adanya makhluk hidup, kita tau bahwa makhluk itu hidup, ada niat, ada usaha untuk membunuh, makhluk tersebut mati sebagai hasil pembunuhan. Memang kita tidak membunuh secara langsung, tapi karena kita memesan, maka lele itu terbunuh,” Richard mengemukakan argumennya. “Oh... gitu ya?” Vicko terdiam sejenak. “Wah... kalau gitu, selama ini Ko Vicko salah dong. Cuek saja pesan pecel lele. Nggak pernah pikir sampai ke sejauh itu,” kata Vicko. “Saya dulu juga begitu Ko. Pernah saya pesan pecel lele, trus tiba-tiba terdengar suara keras diikuti suara seperti ikan menggelepar. Ternyata suara keras itu hantaman balok ke kepala lele,” Richard berhenti sejenak seolah membayangkan kejadian saat itu. “Perasaan saya jadi tidak enak, gara-gara saya pesan pecel lele, seekor lele terbunuh. Lalu saat ada Bhante 7
memberikan Dhammadesana di Vihara Dharmakirti, saya tanya ke Bhante. Akhirnya saya lebih mengerti tentang maksud sila kedua Pancasila Buddhis. Jadi, jika masih suka makan daging, beli atau pesanlah makanan berunsur hewan, yang awalnya memang sudah mati saat kita ke sana. Kalau mama saya ke pasar, saya juga berpesan agar mama beli ikan laut saja. Ikan laut ‘kan sudah mati saat dijual? Kalau ikan sungai atau ikan yang diternakkan seperti ikan mas, ikan lele, ikan gurame, biasanya dijual dalam kondisi hidup. Beli ayam juga ayam yang memang dipajang dalam keadaan mati dan sudah dibersihkan. Itu tidak melanggar sila. Bukan pilih ayam dalam kandang, lalu minta penjualnya memotong,” Richard bercerita panjang lebar. “Makanya sejak saat itu, jika saya pesan pecel lele, saya cari tau dulu, apakah lele-nya sudah mati atau belum. Ya, kayak kemarin, pura-pura tanya lele-nya besar atau kecil. Di warung tenda langganan saya di Palembang, lele-nya sudah dalam keadaan mati dan sudah direndam bumbu. Pelanggan datang, tinggal digoreng. Waktu pertama ketemu Ko Vicko, saya benar-benar lupa. Jadi langsung pesan pecel lele,” lanjut Richard. “Saya sering mendapat tatapan aneh dari pengunjung warung tenda ketika saya berubah pesan ayam goreng atau bebek goreng justru di saat penjual mengatakan ikan lele-nya masih segar, masih hidup,” Richard tertawa. “Orang awam, pasti memandang aneh kepada Buddhis ketika hal ini terjadi. Orang lain justru tidak jadi pesan 8
kalau ikan lele-nya sudah mati, maunya yang masih fresh, masih hidup dan baru dipotong setelah kita pesan. Kita sebagai Buddhis, justru kebalikannya,” ujar Richard. Itu sih belum seberapa. “Saya malah sering dianggap nggak waras karena menyelamatkan segerombolan semut yang mengerubungi makanan saya. Saya perlahan mengusir semut-semut itu, sementara orang lain lebih suka menaruh piringnya di atas tutup panci yang panas sehingga semua semut itu mati,“ kata Richard sambil menerawang jauh. “Biarkan sajalah... Bahkan kadang teman kost ada yang ngeledek dan kasih tugas ke saya. Richard, tolong nih usirin semut dari piring saya, kalau nggak saya taruh di atas panci panas nih. Kesel juga sih, kebaikan kita jadi bahan olokolok. Tapi sudahlah, kita terima dengan lapang dada saja. Bukankah itu ladang subur untuk menanam kebajikan? Saya beberapa kali dapat tugas membersihkan semut dari makanan mereka yang diserbu semut. Tak peduli apa kata orang, kalau kita merasa itu baik menurut Dhamma, lakukan saja,” ucap Richard. “Tapi karena tingkah teman-teman kost yang sudah keterlaluan, saya memutuskan pindah kost saja. Sebentarsebentar, ada yang teriak nyuruh saya menyelamatkan semut. Richard, ini ada banyak semut di kamar saya, tolong pindahin atau saya semprot Baygon nih... Richard, di ruang tamu banyak laron yang sayapnya sudah lepas dan jalan ke sana kemari. Kalau kamu nggak pindahin, semua akan mati terinjak,” teriak anak kost lain.
9
“Tapi saya harus lebih bijak di tempat kost baru, saya tidak akan memperlihatkan bagaimana saya peduli pada hidup makhluk hidup lain agar tidak lagi disalahgunakan teman kost,” Richard mengakhiri ceritanya. Vicko mendengarkan dengan saksama saat Richard bercerita. Usia Vicko memang lebih tua, tapi soal pengetahuan Dhamma, Vicko jauh di bawah Richard. Vicko terlahir sebagai Buddhis, tapi awalnya ia tak mengenal Dhamma. Hanya saat berpacaran dengan Vita, Vicko mulai mengenal Dhamma. *********** “Cinta itu (tidak) buta, karena BMX dan BMW jelas berbeda,” itu kalimat yang tertulis di diary Vicko. Itu Vicko tulis saat baru putus dari Stella, yang mengkhianatinya setelah satu tahun berpacaran. Tanpa bertengkar, tanpa ada masalah, tiba-tiba Stella sudah jalan sama Steven, cowok pindahan dari SMA lain. Vicko memang kalah segalanya dari Steven, kalah tampan, kalah kaya, kalah tinggi. Vicko tersenyum membaca kembali catatan yang ditulisnya sekian tahun lalu itu. Tak ada yang perlu disesali, semua itu bagian dari masa lalu yang tak bisa dihapus. Sekarang Vicko sudah memiliki Vita, calon pendamping hidupnya. Jauh lebih baik daripada Stella yang matre. Vita yang mengubah Vicko jadi lebih dekat ke Dhamma. Vita cewek yang setia, sayang, dan penuh perhatian.
10
Vita dan Richard, kalian berdua adalah orang yang pantas mendapatkan ucapkan terima kasih dariku, batin Vicko. Richard yang sudah dianggap seperti adik kandung Vicko adalah sahabat sejati Vicko. Dari Richard-lah, Vicko belajar banyak tentang Dhamma. Richard teman diskusi yang sangat menyenangkan, pengetahuan Dhamma-nya luas. Dan Vita, calon pendamping hidup Vicko yang sangat baik, selalu ada untuk Vicko. *********** Tiga bulan lalu, Richard memberikan link video YouTube dan meminta Vicko menyaksikannya jika sempat. Berkat video dengan link www.tiny.cc/metta yang diberikan Richard itulah akhirnya Vicko memantapkan niatnya untuk mulai ber-vegetarian, menyusul Richard dan Vita yang lebih dulu jadi vegan. Sebelumnya, Vicko memang sudah ada niat untuk mencoba vegetarian, ada perasaan tidak nyaman setiap menyantap hidangan yang berasal dari hewan, meskipun hal itu bukanlah pelanggaran sila. Tapi sejak menyaksikan video pidato Gary Yourofsky itu, Vicko mantap jadi vegan hingga sekarang. Tapi Vicko juga bukan seorang yang sangat fanatik soal vegetarian. Ketika tidak ada menu vegetarian, yang ada hanya: rendang, ayam goreng, dan capchay, Vicko akan memilih capchay dan hanya memakan sayurannya. Intinya, sebisa mungkin Vicko akan menghindari makan makanan yang berasal dari hewan. Sama halnya ketika masih suka makan daging, Vicko lebih memilih ayam goreng daripada pecel lele agar tidak melanggar sila. 11
Sebenarnya, menjadi vegan bukanlah alasan agama. Buddha tidak pernah melarang umatnya makan daging dan menganjurkan untuk bervegetarian. Semua adalah pilihan. Rasa cinta kepada semua makhluk yang membuat Vicko menjatuhkan pilihan untuk menjadi vegan. Bagaimana kita bisa menikmati makanan dan menelannya ketika kita tau bahwa sebelum terhidang untuk kita, makhluk itu mengalami banyak penyiksaan hingga akhirnya makhluk yang juga punya hak hidup itu dibunuh demi memuaskan selera makan kita??? Semua makhluk di dunia ini ingin dan punya hak untuk hidup bahagia. Jangan rampas hak hidup mereka, jangan sakiti mereka. Bisakah Anda bayangkan, bagaimana takutnya sapi yang dibawa ke rumah jagal, bagaimana sakitnya leher ayam dipotong, sementara mereka ingin tetap hidup namun tak berdaya melawan kekuatan manusia. Apa yang kita lakukan di dunia ini seperti bayangan. Apa pun yang kita lakukan, bayangan itu selalu menghasilkan gerakan yang sama. Itu cerminan apa yang kita tanam, itulah yang kelak kita petik. Vicko mengambil pulpen, lalu menggoreskan catatan di diary-nya. “Cinta itu seharusnya (tidak) buta karena ayam goreng dan pecel lele jelas berbeda. Tapi... saya lebih memilih mempertahankan hidup ini tanpa harus menghilangkan hak hidup makhluk lain.”
12
2 Embun Cinta Lani
Luna sedikit menyesal karena celana yang dia pakai agak kebesaran sehingga terlihat lebih berisi dan merasa iri dengan gadis-gadis lain yang memakai baju ketat pas dengan lekukan tubuhnya dan celana jeans pendek dengan sepatu dan bentuk rambut terurai bak artis Korea. Cantik. Ya, mereka terlihat cantik. Luna merasa sedang berada di Korea, terbayang salju, udara dingin dan cowok ganteng. Luna teringat Gilang, lelaki pujaannya yang memberikan sejuta inspirasi sekaligus sahabat dekatnya. Cowok bermata sipit yang humoris serta berperawakan tinggi dengan suara lembutnya yang menggetarkan hati. Tujuh tahun sudah Luna memendam rasa cinta yang tak kunjung berbalas. Sampai tiba waktunya tepat di hari ulang tahun Gilang, Luna diperkenalkan dengan wanita pujaan Gilang. Sosok wanita yang sempurna, tinggi semampai, 13
rambut panjang lurus terurai dengan penampilan feminim bak seorang putri. Senyum yang ditunjukkan Luna adalah bentuk rasa cinta yang teramat dalam kepada Gilang. Hati Luna hancur, Luna menangis dan ingin pergi sejenak melupakan lara. Jatuh cinta, layu sebelum berkembang. Luna ingin berteriak bebas mengeluarkan kata-kata cinta yang tertahan. Dan Luna memilih Bromo sebagai tempat pelampiasan kata-kata yang membuat sesak di dada. Dan seketika dia sadar, cuaca memang dingin bahkan dia pun menggigil, kemudian bersyukur dengan celana yang kebesaran, jaket yang kebesaran, syal, sarung tangan dan kupluk yang dikenakannya. Kadang pikiran yang
14
berlebihan mengacaukan segalanya, baik dan buruk tidak ada yang tahu, cukup merasa puas dengan yang dimiliki. Dalam hati, Luna terkekeh menertawakan gadis-gadis itu kedinginan berebut syal kepada penjual perlengkapan aksesoris musim dingin. Pikirannya memang kadang-kadang di luar kendali, sebentar merasa terasing, sebentar lagi merasa menang dan merasa paling penting. Entahlah, dia sendiri masih bingung apa maunya. Handphone-nya bergetar tanda pesan masuk. Dari Gilang: Di mana? Hang out yuk? Luna hanya membaca pesan tanpa membalas. Kemudian disusul deringan nada sambung, Gilang menelepon. Luna membiarkan handphone-nya bergoyang. Rombongan tur ke Bromo yang membawa Luna sudah berada di parkiran, tinggal menunggu beberapa jam menuju Bukit Tengger dan akan berganti dengan kendaraan yang lebih kecil. Di sekeliling mereka gelap, Luna melirik jam tangan yang menunjukkan pukul dua pagi. Mereka menunggu dengan gelisah karena dingin di pelataran parkir, menunggu mobil yang akan membawa mereka ke Bukit Tengger. Mereka mulai berbicara satu sama lain dengan mulut mengeluarkan uap, tertawa dan berbagi cerita. Senyum Luna sumringah, ini hal yang paling dia tunggu seumur hidupnya. Kakinya terus bergerak-gerak mencoba melupakan apa itu dingin namun tubuhnya masih menggigil. “Papih, mamih...” rengekan anak kecil itu membuat Luna terhibur. Anak itu namanya Carol dan
15
adiknya bernama Karin. Anak itu menghampiri Luna dan memberinya satu bungkus permen bertuliskan ‘good mood’ pernah terpikir seperti apa kelak rupa anak Luna. Ah, lagi-lagi pikirannya bekerja terlalu jauh dan seenaknya sendiri. “Terima kasih Carol” ucap Luna. Bocah manis berambut pendek itu tersenyum. Gadis-gadis yang berambut pirang, panjang terurai itu sedang sibuk memotret dirinya sendiri. “Sama-sama Kakak,” jawab Carol. Luna segera memakan permen itu, menikmatinya sambil menatap ke arah Carol yang berlari menghampiri mamanya. Carol menatap balik Luna sambil tersenyum Carol mengacungkan telunjuknya ke arah Luna. Dengan spontan Luna melambaikan tangannya. Tiba-tiba wajahnya tegang dan merasa malu karena yang membalas lambain tangannya adalah seorang lelaki berperawakan sedang, rambut cepak, rapi, dan berkacamata hitam. Terlihat keren, Luna menjadi salah tingkah. Perutnya merasa kembung dan seolah banyak hewan menari di dalam perutnya. Luna memalingkan wajah sejenak kemudian melihat ke arah lelaki itu lagi, tetapi yang terlihat Carol dan Karin yang sedang bercanda. Dia... Luna menghembuskan napasnya dan tertawa sendiri. Ya mirip Gilang. “Eh sorry ya!” kata gadis-gadis berambut pirang yang tiba-tiba duduk di sebelah Luna. “Ya, silakan,” jawab Luna. 16
“Hah, semoga kita ketemu cowok ganteng atau harta karun ya,” kata mereka sambil tertawa. Luna menggelengkan kepalanya. Mereka menatap Luna sinis, segera Luna berdiri dan menggosokan kedua tangannya. Mereka lagilagi tertawa, kali ini menertawakan Luna yang merasa kedinginan. Raut muka Luna sedikit tidak enak dipandang, seolah berkata “masalah buat lo!” Tapi ya sudahlah, Luna tak menghiraukannya. Tak berapa lama kemudian, mobil datang untuk membawa mereka menuju Bukit Tengger. Mereka dibagi dalam beberapa kelompok supaya bisa berangkat semua. Rasa senang membuncah, tidak sabar melihat keindahan alam. Luna ingin lari dari masalah dunia, yang menjeratnya dari hari ke hari. Sepanjang hari, setelah matahari terbit hingga senja menjemput dan matahari pun tenggelam digantikan dengan malam yang disambut bulan dan bintang. Kadang malam pun tak berbintang, suram tak bercahaya. Kadang Luna masih percaya dengan sinar yang akan memberi terang tapi kadang gelap lebih menang menelan semua ambisi. Mobil melaju dengan kecepatan sedang, udara yang menyusup melalui kaca jendela mobil membuat seluruh tubuh Luna serasa beku. Jalanan yang menanjak dan berkelok-kelok mengguncang perutnya dan hampir saja mual. Untunglah pikirannya menyelematkannya dengan melayang jauh membayangkan hal yang ingin dia bawa ke puncak Bromo. Luna duduk paling depan dekat sopir, dia memandang ke sekeliling dan menengok ke belakang.
17
Cepat-cepat pandangannya di tarik ke depan, lelaki yang membalas lambaian tangannya, yang berbicara pada Carol saat ini sama-sama berada di dalam mobil yang sama. Jantungnya berdegup lebih kencang dan matanya berbinar. Luna melihat Gilang pada sosok lelaki itu. Segera Luna mengusap kedua bola matanya, rasa itu selalu membayanginya. Luna ingin menjadi orang yang lebih baik, semua orang bisa melakukan dan mengucapkannya, hanya saja Luna ingin menapakkan kaki di puncak Bromo menerima anugerah indah dari alam yang hanya bisa dirasakan ketika Luna berdiri di sana. Dan ada hal lain, ini tentang keyakinan dari hati. Luna ingin berteriak bebas di atas gunung. Setelah kurang lebih dua jam perjalanan, sampailah mereka di Bukit Tengger waktu subuh. Mobil Landrover banyak terparkir, yang akan membawa mereka menuju lautan pasir sebelum menaiki puncak Bromo setelah subuh nanti. Banyak orang sudah berkumpul menghadap ke bukit menanti sang raksasa siang menampakkan dirinya. Serasa berada di dalam kulkas, minum kopi serasa minum air biasa. Dan yang di nanti pun muncul, semua tercengang dan Luna sendiri pun takjub seraya berkata wow! Luna tersenyum lebar sambil menatap matahari terbit dengan mata berkaca-kaca. Dia semakin dekat dengan apa yang dinantinya. “Indah banget ya?” kata seseorang yang berada di belakang Luna. Luna menoleh dan mengusap matanya.
18
“I...ya.” balas Luna. Lelaki itu lagi, kali ini jarak mereka sangat dekat. “Saya Rangga, kakaknya Carol,” ucapnya. “O... saya Luna.” “Apa yang membawamu ingin berada di sini?” Luna terdiam sejenak. Bahkan suaranya mirip Gilang. “Saya hanya ingin berteriak,” balas Luna. Rangga tertawa ringan kemudian mengangguk, lalu Carol memanggil Rangga meminta dipotret. Semua orang sibuk dengan kameranya sedangkan Luna sibuk dengan pikirannya sendiri. “Orang aneh!” bisik Luna. Menatap indahnya matahari beranjak keluar dari peraduannya itu seperti memandang diri sendiri yang lahir kembali dari noda kegelapan, perlahan terang semakin terang, dan pada akhirnya redup kembali. Kesunyian terpecahkan dengan suara-suara kamera dari para wisatawan yang berdecak kagum. Keindahan ini belum berakhir, setelah puas berfoto mobil Landrover membawa Luna dan yang lain menuju lautan pasir. Dalam perjalanan sopir mobil bercerita bahwa biasanya pada sekitar bulan sepuluh ada festival kasada tahunan. Saat festival itu suku Tengger datang ke Bromo melemparkan sesajen yang terdiri dari sayuran, ayam, dan uang ke
19
dalam kawah gunung berapi. Rasa penasaran semakin berkecamuk dengan mata berapi-api Luna menyiapkan kamera saku. Jalanan menurun tajam menahan napasnya dan kaki serasa kram, sopir nekad karena terbiasa dengan kondisi lalu lintas yang tidak beraturan. Luna tak mampu berkata apa pun, hanya perasaan senang yang ringan seperti berteriak menghapus beban. Lautan pasir terhampar luas, terlihat mengagumkan saat matahari menyapukan sinarnya yang kejinggaan di pagi hari. Luar biasa, matanya hidup. Luna berlari sekuat tenaga menikmati indahnya alam yang tak bisa dia dapatkan di sembarang tempat. Di belakangnya, menjulang gunung yang berdiri kokoh dengan rerumputan hijau, Luna menari dan berteriak tak peduli orang mau berpikir apa. Napasnya mulai sesak karena udara yang terlalu dingin dan debu pasir yang beterbangan. Segera dia sadar bahwa dia harus menghemat tenaga untuk memanjat, menaiki tangga ke puncak Bromo. Matahari terbit, lautan pasir, berkuda, dan secangkir minuman hangat mungkin itu salah satu keindahan menikmati hidup. Mata Luna menatap ke atas pada anak tangga yang akan membawanya di puncak teratas Bromo. Luna mengayunkan langkahnya setapak demi setapak untuk mencapai 250 anak tangga terakhir di atas sana. Di tengah perjalanan rasanya ingin menyerah, napasnya sudah tersengal dan nyaris habis. Luna berhenti sejenak menarik dan membuang napas. Berdiri menatap sekeliling yang dipenuhi lautan pasir dan Luna serasa berada di atas
20
awan. Luna meneteskan air mata, sampai di sinikah dia harus berhenti? Hanya di tengah-tengah, yang tidak tahu arah tujuan. Bahkan di bawah sana masih banyak yang berjuang untuk mencapai puncak. Para turis dengan muka cemong, wisatawan yang bermandikan keringat dan ketika memandang ke atas mereka bersemangat tanpa mengeluh menatap pada tujuannya. Luna menyapu air matanya, sekarang atau tidak sama sekali. Sama halnya dengan hidup, Luna tidak akan menjadi berarti jika dia sendiri tidak tahu arah tujuan hidupnya. Hanya mengambang dan akhirnya menyesal dan semua itu siasia. Dengan tekad yang kuat dan berusaha maka segala yang tidak mungkin menjadi mungkin. “Mari kubantu?” Rangga tiba-tiba muncul mengulurkan tangannya. Luna hanya menatapnya tanpa berkata apaapa dengan napas yang masih tersengal-sengal. “Wei, silakan?” ucap Rangga lagi. Luna meraih tangan Rangga. Melanjutkan setengah perjalanan yang masih tertunda. Semangat itu muncul kembali pada detik-detik ketidakberdayaannya. Luna bersyukur masih diberi kesempatan untuk memilih, langkahnya maju tak gentar meski semakin ke atas napasnya semakin menyempit. Dan aahh... akhirnya Luna sampai di puncak. Setelah perjuangan yang sempat dia ragukan. Celana panjangnya dipenuhi debu yang menempel serta masker yang sudah layak dibuang. Fuuhh... seperti orang yang baru menemukan
21
harapan, Luna menatap langit biru yang terbentang luas, di sana harapannya selalu digantungkan dan di dalam hatinya Luna selalu bertekad dan dengan langkah serta keyakinan Luna percaya bisa mewujudkannya. Dan apa yang ingin kau ucapkan setelah sampai di puncak Bromo hey gadis? Luna tersenyum girang, melupakan segala lelah yang mendera, segala beban yang dipikul, segala pilu yang bersandar. Yang Luna tahu hatinya damai, bersinarlah matahari pagi selalu berilah harapan pada hidup dan orang-orang yang kehilangan arah ataupun yang sedang menapaki jejak hidup. Memberilah tanpa pamrih, karena sesungguhnya kita tidak akan kehilangan apaapa, seperti matahari. Luna berdiri tegak, menatap ke bawah dilihatnya gadisgadis pirang itu menaiki kuda dan kembali ke parkiran mobil tidak berkesempatan berpijak di puncak Bromo. Lalu Luna menatap ke dalam kawah Bromo dan berkata dalam hatinya. “Semoga di puncak Bromo ini aku menemukan cahaya yang akan membimbingku menunjukkan arti hadirku.” Luna membalikkan badan dan membuka matanya, tepat di depannya Rangga tersenyum dan melambaikan tangannya. “Halo Kak,” teriak Carol dan Karin yang tepat berada di belakang Rangga.
22
“Hai...,” balas Luna dengan raut muka bersemu merah. “Ayo kita berteriak bersama-sama,” ajak Rangga. Luna mengangguk. “Gilaaaaaaaaaaaang....” teriak Luna. “Lunaaaaaaaaaaa...” teriak Rangga. Mereka saling menatap kemudian terkekeh bersama. Ketika harapan satu hilang, harapan akan muncul di tempat yang tak terduga. Luna membalas pesan Gilang. “Aku berada di puncak Bromo seperti yang kumau.” Dan Luna tersenyum bangga, bahwa hidup harus terus bergerak mengikuti putaran roda dan waktu. Karena hanya waktulah yang akan membuat segalanya baikbaik saja.
23
3 Kisah Simi Semut Merah Grant G. Kesuma
Aku melihat ke sekelilingku. Semua teman-temanku sibuk bekerja. Tak ada yang mempedulikanku. Padahal hari ini aku sedang sakit. Tapi, aku masih harus bekerja, mencari makan untuk disimpan di gudang penyimpanan karena musim dingin sebentar lagi akan tiba. Aku berjalan kesana-kemari dengan wajah murung. Saat sakit seperti ini seharusnya aku tidur di lubangku. Tapi, demi kelangsungan hidup koloniku, aku harus ke luar dari lubang dan mencari makanan. Di saat seperti ini, aku ingin satu orang saja memberikan semangat untukku. Kulihat lagi wajah-wajah serius teman-temanku. Tak ada yang menoleh padaku. Ah, ya, memang siapa aku ini? Aku
24
hanyalah seekor semut merah kecil yang bertugas sebagai pencari makanan. Aku bukan siapa-siapa. Karena didekatku sudah banyak semut-semut yang berkeliaran, aku mengambil jalan lain. Aku menyusuri jalan berbatu yang tak jauh dari lubangku. Kalau tak salah jalan ini menuju ke sebuah restoran. Ketua rombonganku pernah beberapa kali mengajakku dan teman-temanku ke sana. Di sana banyak makanan. Tapi pemilik restoran itu sangat galak. Jika ia melihat kami, ia akan menyiramkan air panas pada kami. Karena itulah ketua rombongan melarang kami pergi ke restoran itu.
25
Aku memberanikan diri berjalan menuju ke restoran itu. Begitu aku tiba di ambang pintu restoran, remah-remah makanan yang jatuh ke lantai menyambut kedatanganku. ‘Aha! Sungguh beruntungnya aku!’ teriakku dalam hati. Langsung saja kuambil sepotong remah roti yang paling dekat denganku. Aku mengangkut remah roti itu di punggungku. Setelah itu aku melihat ke sekelilingku. ‘Eh, di sana ada remah roti yang lebih besar!’ pikirku saat melihat ada remah roti yang letaknya hanya beberapa sentimeter dariku. Aku melempar remah roti yang tadinya kuangkut dan berlari ke remah roti yang lebih besar. Uh, oh! Remah roti yang satu ini rupanya cukup berat! Tapi demi mendapatkan makanan yang banyak, kuangkut saja remah itu. Waktu berjalan sambil mengangkut remah itu kakiku bergetar. Pasti ini karena aku lagi sakit, pikirku. Namun, aku memaksakan diri untuk terus berjalan. Saat aku sudah dekat dengan pintu restoran, pemilik restoran mengetahui keberadaanku. Ia berteriak dan menyiramkan air ke arahku. Aku berusaha berlari sekuat tenaga. Pyashh! Air disiram. Untunglah tidak mengenai aku. Aku memang tidak terkena siraman air, tapi sekarang jalanku terhalang oleh genangan air. Jalanku menjadi lambat karena harus memutar kesana-kemari untuk mencari jalan yang bebas dari air. Karena terlalu banyak
26
berputar, aku merasa tak kuat lagi memanggul remahan roti. Aku meletakkan remah roti itu ke tanah. Nahasnya, saat aku meletakkan remah roti itu kakiku yang gemetaran membuatku tergelincir. Aku jatuh ke genangan air yang ada di dekatku. “Tolong! Tolong!” teriakku. Aku berusaha menggapai sesuatu. Tapi aku hanya menggapai. Aku berteriak lagi sampai beberapa menit. Tetap tak ada yang mendengar teriakanku. Akhirnya aku kelelahan dan mulai putus asa. Mungkinkah ini akhir hidupku? Aku pasrah saja saat air mulai masuk ke tenggorokanku. Kurasa aku mulai tenggelam. Saat aku mulai merasa sekelilingku gelap, sebuah jari manusia mendekatiku dan berusaha meraih tubuhku. Dengan sisa tenaga yang aku miliki, aku berusaha sekuat tenaga menggapai jari itu. Dan, aku berhasil! Aku memegang jari manusia itu erat-erat. Jari itu mengangkatku lalu meletakkan aku ke tanah dekat dengan remahan roti yang aku letakkan tadi. ”Syukurlah kau selamat, semut kecil!” kata pemilik jari. Aku menengadahkan kepalaku. Dia adalah anak si pemilik restoran. ”Terima kasih sudah menyelamatkan aku,” kataku padanya. Tentu saja ia tak bisa mendengarku karena aku menggunakan bahasa semut. Setelah itu aku berlari pulang sambil menggotong remahan roti. Sampai di lubang sarang, aku menceritakan
27
pengalamanku pada ketua rombongan.”Oh, untunglah kau selamat, Simi!” kata ketua rombongan. ”Lihat remah roti yang kau dapat! Besar sekali! Kau hebat!” seru seekor semut. ”Ya, dengan adanya remah roti itu, maka persediaan makanan kita jadi cukup!” seru semut lainnya. Mendengar celotehan teman-temanku aku merasa senang. Syukurlah aku bisa membuat persediaan makanan menjadi cukup. Usahaku tidak sia-sia. *********** Beberapa waktu kemudian, aku bersama teman-temanku sedang mencari makan. Saat sedang mencari makanan, sayup-sayup aku mendengar suara gonggongan anjing. Kemudian disusul dengan teriakan seorang anak. “Hush! Hush! Pergi, jangan ganggu aku!” begitu suara teriakan yang kudengar. Mendengar suara itu, aku menyadari bahwa itu adalah suara anak pemilik restoran yang pernah menyelamatkanku. “Itu suara anak yang pernah menyelamatkanku!” pekikku. Seketika teman-temanku yang sedang sibuk membaui makanan menoleh ke arahku. “Benarkah?” tanya seekor semut. “Iya, benar!Aku yakin itu suaranya!” seruku. ”Kalau begitu, ayo segera cari dia!” ajak ketua rombonganku. ”Ia pasti dalam bahaya sekarang!” lanjutnya. Kami rombongan semut merah berbaris rapi menuju ke arah suara anak pemilik restoran. Saat kami menemukannya, si anak sedang berdiri di dekat sebuah tembok tinggi.
28
Di hadapannya ada seekor anjing hitam yang wajahnya tampak seram sedang menggonggonginya. Si anak tampak sangat ketakutan. Tak ada jalan keluar baginya. Ia benar-benar terpojok di lorong buntu. “Hei Tuan Anjing, jangan ganggu anak itu!” sergah ketua rombongan. “Diam kalian semut kecil! Aku hanya ingin bermain-main dengan anak ini!” hardik si anjing. “Tapi, dia tak bersalah, ‘kan? Biarkan dia pergi,” pinta ketua rombongan. “Dia memang tak bersalah. Tapi wajah ketakutannya itu membuatku geli dan ingin bermain-main dengannya,” jawab si anjing. Ia menggonggong semakin keras. Mendengar gonggongan yang semakin kencang, si anak berteriak histeris.”Aaaggghh!! Pergi! Pergi!” “Cukup! Kalau kau tidak berhenti menggonggong. Maka kami akan mengusirmu secara paksa!” seru ketua rombongan. “Mengusirku?Coba saja kalau kalian bisa!” ejek si anjing. Ia tertawa lalu kembali menggonggongi si anak. Anak itu sekarang menangis sekuat-kuatnya. “Baiklah kalau begitu,” kata ketua rombongan kami. ”Pasukan semut!Ayo beraksi!” perintahnya. 29
Mendengar kata itu, kami rombongan semut merah langsung berlari mendekati si anjing. Kami mengerubungi kakinya. Setelah itu kami mengelitiki kakinya. Si anjing terganggu dengan ulah kami. ”Hei, hei! Hentikan aksi kalian!” teriaknya. ”Baiklah, aku tidak akan mengganggu anak ini lagi. Tolong jangan mengelitiki kakiku lagi!” Ketua rombongan memerintahkan agar kami menghentikan aksi kami dan turun dari kaki si anjing. Kami menuruti perintah beliau. Si anjing berlari menjauhi kami dan si anak pemilik restoran. ”Nah, kini anak itu selamat!” kata ketua rombongan. Si anak berhenti menangis. Ia melihat ke arah kami. “Jadi kalian yang menyelamatkanku?” tanyanya. Ia berlutut untuk melihat kami. “Terima kasih ya semut-semut kecil,” katanya. Kemudian ia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah roti dalam plastik yang sudah dimakan separuh. Ia mengeluarkan roti dari dalam plastik dan menyobek sedikit roti. Lalu sobekan kecil itu ia pecah-pecah menjadi bagian yang kecil-kecil dan ditaburkannya di dekat kakinya. “Ini untuk kalian,” katanya sambil menunjuk remah-remah roti itu. Setelah itu ia berdiri dan berjalan meninggalkan kami. Ketua rombongan segera memerintahkan kami untuk membawa remah-remah roti itu ke lubang sarang kami. ”Terima kasih, Nak! Semoga kau selalu berbahagia!” seru ketua rombongan pada anak itu. *********** 30
Pesan Moral: Jangan berburuk sangka pada orang lain. Jika saat itu teman kita tidak memperhatikan kita, mungkin saja dia memang sedang sibuk. Lalu, jadi orang jangan serakah karena keserakahan bisa membuat kita menderita.Jika kita mendapatkan pertolongan dari seseorang, hendaknya kita mengucapkan terima kasih dan mengingat jasa baik penolong kita itu. Cerita di atas juga mengajarkan kita bahwa apa pun karma yang kita perbuat maka kitalah yang akan memetik hasilnya, seperti si anak pemilik restoran yang baik hati.
31
4 Makhluk Kecil dan Dewa Hujan Selfy Parkit
Aku sudah lama sekali hidup dan menetap di tempat ini. Selain nyaman, keadaan di tempat ini juga sepi, dan tiada satu pun makhluk raksasa yang menghuni. Sampai suatu ketika, datanglah makhluk raksasa pirang yang akhirnya menguasai wilayahku ini. Akhirnya, aku pun dipaksa mengungsi dan mencari tempat tinggal baru, karena makhluk raksasa itu telah menghancurkan rumahku, serta memisahkan aku dengan anak-anakku yang masih kecil. Saat itu aku tidak bisa menyelamatkan semua anak-anakku yang masih kecil. Entah di mana keberadaan mereka, aku pun tidak mengetahuinya. Ketika si raksasa memporak-porandakan rumahku dengan menggunakan senjatanya, aku terpental jauh dan
32
menempel di sebuah dahan. Aku menangis tersedu-sedu, namun si raksasa tentu saja tidak akan bisa mendengar suara tangisku, karena aku begitu kecil. Makhluk yang kusebut raksasa ini memang mengerikan, mereka selalu saja merusak rumahku dan kaumku. Apakah mereka pikir rumah kami ini berbahaya? Ataukah telah mengganggu kehidupan mereka? Mereka pikir kami mudah membuatnya! Padahal kaumku sama sekali tidak pernah mencari permusuhan dengan kaum mereka. Sekarang aku kembali lagi ke rumah lamaku, karena aku lihat si raksasa tidak lagi berada di sini, dan tempat ini pun kembali begitu sunyi dan gelap. Namun kali ini aku memilih merajut benang-benangku di pepojokan dinding yang mulai agak berlumut. Selain udaranya dingin, di tempat ini pun banyak santapan yang datang, terjebak dan menempel di rumahku. Sebenarnya sudah lama sekali aku mengincar bagian pojok ini. Namun, si raksasa pirang terlalu sakti dan selalu menciptakan hujan deras yang tentu saja bisa membuat rumahku hancur dan membuatku jatuh ke sungai, lalu masuk ke dalam lubang yang gelap, kemudian akhirnya mati. Sejak si raksasa pirang itu tidak ada lagi, aku bisa bebas melakukan apa pun. Horree akhirnya tempat ini benarbenar sepenuhnya milikku, pikirku. Namun, ternyata...
33
Dua minggu sebelumnya “Hi, Ms. Sarah are you leaving Bali today?” tanya seorang tetangga kamar sebelah Sarah, guru preschool berkebangsaan Austria. Dengan bahasa Indonesianya yang masih terbata-bata Sarah pun menjawab. “Oh yeah, saya harus pulang, karena kontrak saya sudah habis.” “Tapi nanti akan ada guru baru dari Indonesia yang akan menggantikan saya,” katanya melanjutkan. “Wah, kapan datangnya Ms?” tanya tetangganya lagi. “Wah kalau itu saya kurang tahu, mungkin sekitar satu atau dua minggu lagi, itu ‘kan tergantung perjanjian dia dengan pihak sekolah….” Sarah diam sejenak lalu melanjutkan, “Saya mau bersihbersih dulu ya, sebelum nanti pihak sekolah memeriksa.” Sambil mengambil sapu ijuk yang ada di halaman, Sarah kembali menuju kamarnya. Kemudian ia mulai menyapu kamarnya dan mengelap debu-debu yang ada di atas meja, tempat ia bekerja mengerjakan tugas sekolah sehariharinya. Terlihat olehnya di pojok dinding dekat lemari baju ada sarang laba-laba yang cukup membuat tangannya gatal ingin membersihkan. Kebiasaannya tinggal di tempat bersih, membuat dia rajin bersih-bersih. Sebelumnya pun, ketika pertama kali ia menempati kamar itu, dia sudah berhasil membuat kamar mandi yang berlumut bersih seketika. Namun sarang laba-laba itu ternyata selama ini luput dari pengelihatannya. Mungkin karena pekerjaannya
34
yang terlalu padat membuat dia tidak lagi melihat bagianbagian pojok kamarnya. Diangkatlah ke atas sapu ijuk yang ada di genggamannya. Dibersihkanlah sarang laba-laba itu hingga tuntas. Sebagian sarang menempel di sapu ijuknya, dan sebagian lagi jatuh di lantai. Sarah pun keluar kamarnya dan mengeprik-ngeprik membersihkan sapu ijuknya. Kemudian, ia kembali lagi ke dalam kamarnya, membersihkan sisa kotoran dan melanjutkan menyapu lantai. Setelah satu jam membersihkan kamarnya, Sarah berpamitan kepada tetangganya itu. Sambil membawa koper besar, ia pun menyerahkan kunci kamarnya kepada HRD pihak sekolah. “Kapan guru baru itu akan menempati kamar ini pak?” tanya Sarah. “Oh kemungkinan dua minggu lagi Ms” kata si bapak HRD, sambil membantu Sarah mengangkat koper-kopernya ke dalam taksi. “Take care ya Ms!” “Terima kasih banyak Pak,” seru Sarah sambil melambaikan tangannya, dan taksinya pun melaju cepat menuju bandara Ngurah Rai. *********** Kali ini raksasa yang datang bukan lagi berwarna pirang, bulu kepalanya hitam hampir sama seperti aku. Ketika ia datang dan memandang rumahku, aku bisa melihat bola mata besarnya yang berwarna coklat terang dan warna putih mengelilingi pinggirnya. Aku takut bukan main,
35
aku hanya diam dan berpura-pura mati, aku berharap si raksasa tidak akan menciptakan hujan deras yang dapat merusak rumahku. Aku rasa tipu muslihatku berhasil, dan si raksasa tidak mengarahkan benda yang mampu menciptakan hujan deras itu ke rumahku, melainkan ke seluruh badannya. Si raksasa rupanya sering memerhatikan aku, dan aku hanya terdiam. Awalnya aku hampir mati ketakutan, tapi lama kelamaan rupanya si raksasa ini hanya senang melihatku saja. Sejak itu aku jadi sering memerhatikannya juga, aku pun selalu tahu kapan saja dia akan datang dan melihat rumahku. Biasanya si raksasa datang satu kali di pagi hari, dan beberapa kali di malam hari, tetapi dia hanya akan memerhatikan aku dan rumahku sekali saja di malam hari. Terkadang tiap kali si raksasa itu datang melihatku, ia seakan mengajakku berbicara yang tentu saja aku tidak mengerti. Walaupun begitu, aku dapat merasakan kalau dia tidak bermaksud jahat kepadaku. Ketika si raksasa berbicara, suaranya tidak begitu menggelegar, tetapi lain halnya ketika dia sedang menciptakan hujan, suaranya bising dan terdengar ribut. Anak-anakku yang sedang tidur pun bisa terbangun karenanya. Untunglah itu hanya dua kali dalam sehari dan sebentar saja. Aku pun hidup dengan nyaman, aman, dan damai di dalam rumahku. Makanan dari mangsa yang terjebak pun datang
36
berlimpah, mulai dari para semut, bangsa nyamuk, dan para serangga kecil, semuanya bisa aku simpan sebagai cadangan makanan sehari-hari. Aku membutuhkannya untuk anak-anakku yang baru aku tetaskan. Mengetahui aku hidup dengan damai di tempat ini, labalaba jantan yang dulu pernah tinggal di ranting-ranting pohon bersamaku, ikut pindah dan menemaniku di sini. Aku sekarang memiliki keluarga, aku tinggal satu rumah dengan dua puluh anak-anakku yang masih kecil dan seekor laba-laba jantan yang menjadi pasanganku. Waktu pun berlalu, anak-anakku sudah semakin besar. Seperti halnya bangsa laba-laba, mereka pun pergi ke tempat lain tak jauh dari rumahku dan membuat rumah baru. Ada juga yang membuat rumah dekat dengan tempat tinggalku. Rupanya anak-anakku yang tinggal bersamaku, merasa bahagia dan ingin juga diperhatikan oleh si raksasa. Si raksasa sudah seperti dewa bagi kami, karena ia begitu baik membiarkan keluargaku tinggal dan hidup bersamanya. Aku memanggilnya dewa hujan, karena ia sering sekali menciptakan hujan dan membuat sungai di bawah tempat tinggal kami. Aku selalu mengingatkan anak-anakku untuk selalu berhati-hati, “Jika dewa hujan sedang menciptakan hujan kalian harus berpegangan erat pada rumah kalian,” begitu kataku. Walaupun kaumku mampu mengeluarkan senjata dari bawah tubuh kami, yang selain kami gunakan untuk 37
membuat rumah, juga membuat kami berayun dan berpindah ke lain tempat dengan cepat, kami harus waspada. Karena jika jatuh dan sedikit saja terlambat, kami bisa saja terbawa arus dan masuk ke dalam lubang gelap aliran sungai. Tempat itu pasti sangat berbahaya dan menakutkan, kami pun bisa mati karenanya. Walaupun begitu, aku dan keluargaku sudah merasa nyaman dan tidak mau berpindah dari sini. Sudah lama sekali dewa hujan kami tidak lagi membuat bising dan mengajak kami berbicara. Aku pun merindukan tatapan hangatnya, dan sering memerhatikannya dari kejauhan. Suatu hari ia datang, dan aku melihat bola matanya basah lalu keluar air, seperti air terjun deras.
38
Tubuhnya pun kelihatan menyusut dan mengecil. Kemudian anehnya lagi, beberapa waktu aku perhatikan bulu-bulu hitam di kepalanya banyak berjatuhan di sungai ketika ia sedang menciptakan hujan dan membasahi tubuhnya. Sebelumnya aku tak pernah melihatnya seperti itu. Siang berganti malam, malam berganti siang. Aku hanya bisa menikmati santapanku dan bermain bersama keluargaku. Dewa hujan kami tidak pernah muncul lagi, sungai di bawah selalu kering dan tidak mengalir sedikit pun. Aku sudah semakin tua, anak-anakku pun sudah mandiri dan dapat mencari makanannya sendiri. Tempat tinggal ini kembali sunyi dan sepi, sampai akhirnya…. *********** Tiga bulan sebelumnya “Halo Sir! Tinggal di sebelah ya?” tanya seorang perempuan muda sambil menyeret tas besar di belakangnya. “Hi, hallo kamu guru baru penggantinya Ms. Sarah ya?” “Iya benar, perkenalkan nama saya Astrid asal dari Malang.” “Salam kenal Ms. Astrid, saya Nanda asli Bali tapi keluarga tinggal jauh di Singaraja, jadi terpaksa harus tinggal di mess sini” seru Nanda sambil menyodorkan tangannya seraya memberi salam. “Oh, btw kamar saya yang mana ya Sir?” “Kamar kamu ini nih tepat di sebelah saya, tadinya itu kamar saya, dan kamar yang saya tempatkan ini bekas kamarnya Ms. Sarah. Sini saya bantu!” sambil menyingsingkan lengan mengangkat koper. Nanda pun melanjutkan
39
omongannya, “Sebelumnya saya kepingin dapat kamar yang itu, karena bisa langsung menikmati matahari terbit dari jendela kamar. Tapi karena sudah ditempati Sarah ya akhirnya saya ambil yang di sebelahnya, tapi sayang pintunya menghadap ke arah Barat. Karena kamu datang dua minggu lagi dan kebetulan telat dua hari, jadi saya berinisiatif pindah kamar saja, sekalian bantuin bersihkan kamar Ms.Sarah. Karena saat liburan panjang biasanya petugas bersih-bersih mess libur juga. Sebenernya pas Ms. Sarah pergi, ia sudah bersihkan kamarnya buat kamu, tapi dua minggu ditinggalkan kamar itu kotor lagi, berdebu dan banyak sarang laba-labanya. Kan kasihan sudah datang jauh-jauh dari Malang sampai sini harusnya bisa beristirahat, eh ini harus bersih-bersih kamar….” “….Oke, kamar saya ini sudah saya bersihkan” seru Nanda sambil meletakkan koper Astrid dan memberikan kunci kamarnya. “Ini kuncinya, dan selamat beristirahat!” Selepas senyuman hangat dan kata terima kasih dari Astrid, Nanda pun kembali ke kamarnya, dan bergegas untuk mandi. Di dalam kamar mandi, seperti biasa dia membunyikan lagu di handphone-nya dan mulai bersenandung layaknya seorang penyanyi. Kebiasaannya itu sudah hobinya dari sejak dulu. Walaupun suaranya agak terdengar sumbang, namun tak ada satu pun orang yang bisa menghentikannya. Selesai membersihkan tubuhnya, Nanda mengarahkan pandangannya ke pojok tembok dekat dengan shower kamar mandinya. Di sana ada sarang laba-laba lengkap 40
dengan isinya yang kemarin tidak dia bersihkan, dan dia biarkan saja menetap di sana, “Hi laba-laba kecil selamat tinggal bersama,” ucapnya dengan suara pelan. “Satu kehidupan hampir berakhir, tidak benar jika mengakhiri kehidupan makhluk lain.” Lirih suara hatinya, namun Nanda tetap tersenyum. Dua bulan sebelumnya “Hi Ms. Astrid, pagi-pagi begini sudah rapi. Mau pergi ke manakah?” tanya Nanda sambil menyeruput secangkir tehnya. “Wah asyik ya yang lagi santai di depan kamar!...” ledek Astrid sambil senyum-senyum. “…Aku mau beribadat. Mister ga kemana-kemana nih?,” tanyanya basa-basi. “Oh weekend ini aku tidak pulang ke Singaraja, cape dari Denpasar ke sana.Apalagi hari ini ada jadwal ketemu dokter, temanku.” “Wah weekend kok malah ketemu dokter! Hahaha. Oke aku berangkat dulu ya Sir Nanda,” cengir Astrid, sambil bergegas memanggil taksi. Nanda pun masuk ke kamarnya dan bergegas mandi. Di kamar mandi, yang juga merupakan studio karaokenya itu, masih bertengger sarang laba-laba yang sudah sebulan dia biarkan. Namun kali ini sarang laba-labanya bertambah luas dan agak berbeda. Dilihatnya lebih dekat, dan ternyata ada banyak bayi laba-laba yang baru menetas dari telurnya. Nanda tersenyum, “Hi ternyata kamu baru saja menetaskan anak-anak kamu!” dalam hatinya berbisik, “Satu kehidupan berakhir, kehidupan baru bermunculan,” gundah dalam hatinya, namun Nanda masih tersenyum.
41
Sebulan sebelumnya. ‘Tok… tok… tok, Pak Nanda! Pak Nanda!” “Tunggu sebentar!” Nanda pun membukakan pintu kamarnya, “Silakan duduk Pak!” Kepala personalia itu pun duduk dan menghela napas panjang, “Sudah siap Pak Nanda?” tanyanya memastikan, “Iya Pak itu kopernya.” “Pak Nanda, saya mau minta maaf jika pernah berbuat salah.” Kata bapak HRD dengan muka menyesal. “Ah… si Bapak ini bicara apa! Saya yang harus minta maaf jika ada salah,” jawab Nanda sambil duduk di satu sisi. “Kenapa Pak Nanda tidak dari awal mengatakan berita itu kepada kami.Dengan begitukan tindakan lebih awal malah lebih baik.” “Tidak menurut saya Pak,” jawab Nanda yakin, sambil tersenyum ia melanjutkan, “Saya tahu, kalau penyakit saya tidak bisa disembuhkan. Walaupun dilakukan operasi, kemungkinannya cuma dua. Pertama, kemungkinan besar operasi tidak akan berhasil, dan saya akan dengan cepat pindah alam. Kedua kemungkinan kecil saya hidup dengan keadaan koma atau cacat.” “Tapi ‘kan ada kemungkinan kecil untuk hidup, kenapa tidak dicoba Pak?” Bapak HRD seakan ingin memotivasi Nanda bahwa sekecil apa pun kemungkinan itu tidak boleh disia-siakan dan berhenti berjuang. “Saya tidak mau menyusahkan banyak orang Pak. Sangat jarang sekali orang yang menderita kanker otak dapat disembuhkan,” jawabnya lagi pesimistik. “Saya tidak ingin semua orang mengeluarkan segala daya upaya, materi, tenaga, dan sebagainya hanya untuk berusaha menyembuhkan saya. Saya hanya ingin menikmati sisa waktu saya, bersama murid-murid saya dan keluarga saya.” Bapak HRD tidak bisa berkata-kata
42
lagi, matanya sudah berkaca-kaca, turut prihatin dengan keadaan Nanda. “Okay Pak saya mandi dulu sebelum berangkat,” ucap Nanda mengakhiri percakapannya sembari menaikkan punggungnya. “Kalau begitu saya bantu bawakan kopermu ke dalam mobil ya!” pinta bapak HRD. “Wah terima kasih Pak, maaf merepotkan.” “Ah tidak masalah itu, kita sudah sepuluh tahun berkerja sama, toh baru sekali ini saya membantu bapak membawakan koper, hehehe,” kata bapak HRD sambil berjalan keluar menuju mobil. Nanda pun masuk ke kamar mandinya. Ia tertunduk, merengkuh dan seketika perasaannya hampa. Di pikirannya hanya ada keluarganya, orang-orang yang ia sayangi, mereka yang akan ia beritahu mengenai berita akhir hidupnya. Entah apa reaksi mereka, ibu dan ayahnya, adikadiknya, kakak-kakaknya, Nanda hanya bisa pasrah. Tiga puluh tahun telah ia jalani, sudah melakukan apa ia untuk keluarga, sudah memberikan apa yang bisa dilakukan untuk kedua orang tuanya. Hatinya terasa perih, dadanya terasa sesak. Belum cukup rasanya ia membahagiakan kedua orang tuanya, terlalu singkat lirihnya dalam hati. Ia pun menangis sejadi-jadinya. Disiramnya wajah letihnya itu dengan air, rambutnya pun mulai berjatuhan. ‘Sudah stadium akhir’, bisiknya dalam hati ‘waktuku tak banyak lagi.’
43
Pagi hari. “Siang Pak HRD, liburan semester ini saya boleh pindahan ke kamarnya Mr. Nanda?” tanya Astrid menyampaikan maksudnya. “Oh Ms. Astrid mau pindah kamar? Tapi kamarnya itu belum dibersihkan sejak pak Nanda pergi loh Ms!” jawab bapak HRD. “Tidak masalah pak, kalau diizinkan, saya yang nanti akan membersihkannya.” “Oh okay kalau begitu, sebentar saya ambil kuncinya dulu ya.” Siang hari. Aku baru saja selesai menyantap makan siangku bersama pasanganku. Anak-anakku pun sepertinya sedang istirahat. Ketika aku mulai mengistirahatkan mataku, terdengarlah suara gaduh di luar sana. Suara di luar sana berisik sekali, pendengaranku yang sudah semakin buruk pun, dapat mendengarnya. Tenyata ada raksasa lain yang masuk ke dalam wilayah tempat tinggalku. Pengelihatanku yang sudah semakin kabur tidak bisa melihat jelas seperti apa sosok raksasa ini, yang terlihat olehku hanyalah tubuh besarnya, bulu kepalanya yang panjang dan ia sedang melihat ke arahku. Apakah dewa hujan kami telah kembali lagi? Terbersit harapan di dalam hatiku, yang sejenak saja membuatku bergembira. Si raksasa itu pun mengambil alat pencipta hujan yang ada jauh di pinggir atas rumahku. “Apa yang akan dia lakukan?” batinku. Sejenak saja hujan deras layaknya tsunami menghantam seluruh tempat tinggalku,
44
menyapu bersih anak-anakku yang sedang beristirahat. Aku, pasanganku, dan semua anak-anakku yang tinggal bersamaku jatuh ke dalam sungai yang mengalir kencang. “Oh tidak, anak-anak keluarkan senjata kalian dan berayunlah,” aku berteriak sejadi-jadinya. Namun aliran sungai terlalu deras, aku pun tak dapat menyelamatkan diriku. Pasanganku sudah lebih dahulu jatuh ke dalam lubang gelap itu, lalu menyusul aku dan anak-anakku. Di dalam lubang gelap itu, aku tenggelam terbawa arus jauh entah ke mana. Aku hanya berharap anak-anakku yang lain bisa selamat. Semoga saja si raksasa tidak menemukan tempat tinggalnya. Kami tenggelam selama beberapa jam, aku sudah tidak bisa melihat keluargaku lagi, kami terpencar entah ada di mana dan aku sekarat. “Raksasa itu bukan si Dewa hujan” batinku. “Ia tak mungkin menyakiti aku dan anak-anakku.” Remang-remang cahaya matahari menyelinap masuk ke mataku dan masih kukenali. Serangga kecil yang melewatiku menertawai aku, para bangsa nyamuk yang melihat keadaanku menyumpahiku agar cepat mati. Seketika semua menjadi gelap kembali, selamat tinggal anak-anakku, selamat tinggal Dewa hujan, aku berdoa memohon semoga kau menyelamatkan anak-anakku. Sore hari. “Wah Ms. Astrid, sambil nyanyi-nyanyi begitu kelihatan seneng bener! Sudah bersih toh kamarnya?” sapa bapak
45
HRD. “Eh Pak Anom, sudah donk pak. Besok kan hari kedua liburan semester, saya mau santai. Hahaha,” celoteh Astrid sambil tertawa nyaring. “Ga pulang kampung toh Ms?” tanyanya lagi “Hemat biayalah Pak, lagian tinggal di tempat pariwisata ‘kan bisa sekalian menghabiskan liburan.” “Oke deh kalau begitu selamat berlibur ya Ms!” seru pak kepala personalia sambil meninggalkan mess sekolah, langkahnya mantap hingga ia tak menyadari kalau kakinya telah menginjak beberapa anak laba-laba yang masih terjerat di sarangnya sendiri. “Crettt” kira-kira begitulah bunyinya. ***********
Cerpen ini didedikasikan sebagai pelimpahan jasa untuk almarhum tercinta bapak dari penulis.
46
5 Misteri Penunggu Pohon Tua... Hendry Filcozwei Jan
“Pak, baru saja ditemukan mayat laki-laki dalam kondisi gosong terbakar di bawah pohon beringin tua itu,” kata Sumini kepada Sumarto, suaminya. “Ibu dengar dari siapa?” tanya Pak Marto. “Barusan dari Ibu RT yang lewat depan rumah kita,” kata Sumini. Hari Minggu pagi ini, di sekitar rumah Pak Marto jadi ramai sekali. Banyak orang berdatangan untuk melihat mayat pria yang ditemukan tewas di bawah pohon beringin tua yang terkenal angker itu.
47
Bukan hanya warga sekitar yang berdatangan, orang dari daerah lain pun banyak yang berdatangan. Ini bisa dilihat dari banyaknya motor yang terparkir di sekitar lokasi. Daerah itu seperti jadi lokasi wisata dadakan. Warga sekitar pun tak menyia-nyiakan kesempatan dengan menjadi tukang parkir. Karena polisi belum datang, jenazah belum dievakuasi, berita ini menyebar cepat via SMS dan menarik banyak orang untuk datang dan melihat jenazah korban keganasan penunggu pohon beringin tua. Mayat pria yang diperkirakan berusia sekitar 30 tahun itu sudah ditutupi dengan sehelai kain sarung, sambil menunggu datangnya petugas kepolisian. Warga sekitar tak ada yang mengenal pria itu, bisa dipastikan pria itu bukan warga sana. Tewasnya pria itu membuat cerita mistis yang sudah beredar selama ini semakin berkembang. *********** Pohon beringin tua itu berada tepat di samping rumah yang dulu ditempati Pak Ponco bersama Ponirah, istri dan anak semata wayang mereka, Bondan. Dari keluarga ini, Pak Ponco-lah yang pertama meninggal dunia. Pak Ponco meninggal dunia secara mendadak, tanpa sakit terlebih dahulu. Warga sekitar mengaitkan meninggalnya Pak Ponco dengan dunia mistis. Entah dari mana asalnya, warga meyakini Pak Ponco punya ilmu hitam dan meninggalnya Pak Ponco karena hantu wanita yang dipeliharanya minta tumbal. 48
Setahun kemudian, Ponirah istrinya meninggal karena sakit demam berdarah. Dan selang seminggu setelah meninggalnya Ponirah, Bondan anak mereka yang saat itu berusia 17 tahun tewas tergantung di pohon beringin tua itu. “Bondan meninggal murni bunuh diri,” kata pihak kepolisian. Sejak saat itu, rumah keluarga Pak Ponco dibiarkan kosong. Entah di mana sanak keluarga mereka. Tapi sejauh yang Pak Marto tau, mereka tak pernah mendapat kunjungan dari saudara mereka. Jadi sebagai tetangga, Pak Marto pun tak tau harus ke mana untuk menghubungi keluarga atau ahli waris Pak Ponco. Pak Marto hanya tau mereka berasal dari Jombang, Jawa Timur. 49
Bagi Pak Marto, keluarga Pak Ponco baik. Cuma memang Pak Ponco agak pendiam dan tertutup. Hidup mereka pun terlihat wajar, tak ada yang terlihat berbeda dari warga lain. Tidak kaya, tidak menampakkan tingkah laku yang ganjil, tidak melakukan ritual aneh. Hidup mereka seperti kebanyakan warga sekitar, mereka sekeluarga adalah buruh tani. Tak tau siapa yang menghembuskan isu bahwa Pak Ponco mempunyai hubungan dengan dunia mistis. Rumah Pak Ponco sudah mulai lapuk termakan usia. Pohon beringin tua di samping rumah Pak Ponco semakin rimbun sehingga menambah kesan angker. Tidak banyak warga yang berani mendatangi atau sekedar berteduh dari hujan di bawah pohon beringin tua itu. Untungnya, kambing warga sekitar senang merumput di sana sehingga tanah sekitar pohon itu tidak ditumbuhi rumput atau semak belukar yang tinggi. Jalan setapak di samping rumah Pak Ponco dan melewati samping pohon beringin tua itu sebenarnya jalan pintas menuju jalan utama, tapi karena kesan angker yang ditimbulkan cerita-cerita misteri, banyak warga memilih lewat jalan lain yang lebih jauh. Ada beberapa warga yang masih berani lewat jalan pintas ini, namun biasanya mereka berjalan cepat tanpa berani menoleh ke bekas rumah Pak Ponco maupun pohon beringin itu. Ada juga warga yang terpaksa ke sana karena mencari kambingnya yang belum pulang meski hari sudah sore. ***********
50
“Paman, ada berapa banyak sih orang yang meninggal di sekitar pohon beringin tua itu,” tanya Bagas, keponakan Pak Marto yang kemarin baru datang dari kota. Sehabis pujabakti bersama paman dan bibinya tadi siang, Bagas berkunjung ke rumah temannya. Malam ini Bagas dan Pak Marto, pamannya, sedang ngobrol di ruang tengah. “Hmmm... seingat Paman, ini orang ketiga,” jawab Pak Marto. “Sebenarnya, mereka yang meninggal di sekitar pohon itu karena apa? Bagas jadi penasaran karena cerita dari orang-orang tadi pagi. Ada yang bilang pohon beringin tua minta tumbal, ada yang bilang hantu perempuan peliharaan Pak Ponco minta korban, dan macam-macam,” tanya mahasiswa akuntasi itu penasaran. “Ya, tidak jelas meninggal karena apa. Pertama seorang pria ditemukan tewas dengan badan gosong. Korban ditemukan malam hari oleh saudaranya. Menurut cerita, pria ini datang ke daerah sini mau beli kambing untuk pesta. Sore itu hujan cukup deras. Karena sampai malam tak kembali, saudaranya datang ke sini mencari pria itu. Pria itu ditemukan tewas di bawah pohon beringin dengan badan gosong. Ada yang menduga tersambar petir, tapi rasanya sore itu hujan tidak deras dan tidak disertai petir,” Pak Marto bercerita sambil mengingat kejadian waktu itu. “Korban langsung dibawa pulang oleh keluarganya untuk dimakamkan,” lanjut Pak Marto.
51
“Korban kedua, juga seorang pria. Pria ini ditemukan tewas oleh warga yang melintas di sekitar rumah Pak Ponco. Pria ini ditemukan tewas dengan posisi celana bagian atas terbuka. Isu yang beredar mengatakan pria ini dibunuh hantu wanita penunggu pohon yang marah karena tempat tinggalnya dikencingi pria ini,” Pak Marto memandangi keponakannya. “Korban tewas juga bukan warga sekitar sini,” Pak Marto memandang ke luar jendela. “Korban ketiga, juga pria dan lagi-lagi bukan warga sekitar sini. Korban ketiga adalah pria yang ditemukan tadi pagi,” Pak Marto mengakhiri ceritanya. “Hmmm... Paman percaya pada cerita yang beredar bahwa keluarga ini memelihara hantu perempuan dan mereka sekeluarga jadi tumbal dan sekarang hantu itu terus memakan korban?” Bagas mencoba minta pendapat pamannya. “Yah...gimana ya? Sebenarnya paman tidak percaya. Menurut paman, keluarga Pak Ponco adalah keluarga baik meski beliau agak pendiam dan tertutup. Sepanjang pengetahuan paman yang beberapa kali main ke rumah mereka, tak ada kesan mistis sama sekali. Kalau korban yang terakhir, menurut paman, ia meninggal karena tersambar petir. Bagas tau sendiri ‘kan, semalam hujan deras sekali dan petir berkali-kali menggelegar. Badan pria itu gosong,” Pak Marto mencoba memberi argumen.
52
“Ya sih...” Bagas membenarkan pendapat pamannya, tapi ada hal yang mengganjal di hatinya. *********** Hari Senin pagi, matahari belum muncul dari peraduannya, ayam jantan pun belum berkokok, tapi Bagas sudah terbangun. Sejak dini hari sekitar pukul 04.00, Bagas sudah tak bisa tidur. Liburannya kali ini terasa lain. Bakal ada petualangan seru yang memacu adrenalin nih, pikirnya. Semalam, setelah selesai ngobrol dengan pamannya, Bagas yang tertarik kisah-kisah detektif mendapat ide. Hari ini, liburannya akan diisi dengan petualangan memecahkan misteri penunggu pohon beringin tua yang konon sering meminta tumbal itu. Sebagai Buddhis, Bagas bukannya tidak percaya adanya makhluk dari alam lain. Cuma saat mendengar cerita pamannya, Bagas menduga ada hal lain yang menjadi penyebab meninggalnya tiga pria ini. Bagas mengeluarkan tespen digital dari tas ranselnya. Alat ini bukan seperti tespen biasa. Pada tespen biasa, ujung tespen yang berbentuk obeng harus disentuhkan ke lubang stop kontak atau ke benda yang diduga beraliran listrik, jika lampunya menyala artinya benda tersebut ada aliran listrik. Tespen digital lebih canggih. Tespen digital bahkan bisa mendeteksi kabel putus di bagian mana, cukup dengan mendekatkan tespen ke kabel tersebut tanpa harus menyentuh. Jika ada aliran listrik, maka tespen akan mengeluarkan suara.
53
Alat ini dibelinya waktu Bagas coba memperbaiki lampu di meja belajarnya. Saat tes dengan tespen biasa, ternyata stop kontak ada aliran listrik. Jadi masalah bukan di stop kontak. Saat lampu dicoba ke tempat lain, lampunya menyala, artinya lampunya belum rusak. Permasalahan ada pada kabelnya, pasti ada kabel yang putus tapi dari luar tidak terlihat. Di bagian mana kabel harus dipotong kemudian disambung lagi? Teman kost yang anak teknik elektro meminjamkan tespen digital ini. Gerakkan alat ini di sepanjang kabel, jika ada aliran listrik maka alat ini akan mengeluarkan suara. Gerakkan alat ini menyusuri kabel dari dekat stop kontak ke ujung yang ada lampunya. Ketika suara berhenti, itu menunjukkan di titik tersebut kabelnya terputus. Akhirnya Bagas juga membeli tespen digital ini. Tespen digital yang berukuran kecil ini selalu Bagas bawa saat bepergian, fungsinya untuk mengencangkan baut kacamatanya yang sering kendur. Setelah menyiapkan peralatannya, memakai kaos bola dan celana pendek, Bagas pamit pada pamannya. “Tumben pagi-pagi sekali sudah bangun?” sapa paman. “Mau olahraga, lari-lari sekitar sini saja Paman,” kata Bagas. *********** Akhirnya Bagas sampai di bekas rumah Pak Ponco dan pohon beringin tua. Bagas tidak punya niat mengganggu makhluk alam lain jika memang ada yang menghuni
54
tempat ini. Sepanjang jalan Bagas mengucapkan “Sabbe satta bhavantu sukhitatta.” Bagas datang hanya ingin mencari tau, apakah cerita yang beredar itu benar atau hanya isu yang tak bertanggung jawab. Kasihan juga makhluk ini jadi korban fitnah manusia. Bagas tidak berniat untuk menangkap mereka ataupun mengusir mereka dari tempat ini. Buddhis diajar untuk belajar hidup damai ketika berdampingan dengan makhluk apa pun. Dan satu lagi, ehipassiko, jangan mudah percaya begitu, tapi buktikan sendiri. Ada rasa takut juga, jangan-jangan Bagas malah diganggu makhluk penunggu rumah dan pohon beringin tua ini atau makhluk itu malah masuk ke tubuh Bagas, yang biasa disebut kerasukan. “Sabbe satta bhavantu sukhitatta,” berulang-ulang Bagas mengucapkan kalimat itu. “Semoga semua makhluk hidup berbahagia, saya datang hanya untuk mencari tau, bukan ingin mengganggu apalagi mengusir kalian,” ucap Bagas. Mata Bagas mengamati rumah tua itu dengan saksama dan mencari apakah masih ada kabel beraliran listrik di sana. Semua pintu dan jendela terbuka sehingga Bagas dapat melihat ke dalam dengan leluasa. “Aha... Bagas berteriak gembira. Masih ada kabel listrik di rumah ini meski kondisinya sudah jelek. Sepertinya pemulung juga tak berani masuk ke sini untuk mengambil segala barang yang masih bisa dijual. Pada beberapa
55
bagian, kabel itu sudah ditutupi debu dan lumut. Bagas mengamati kabel itu dan mencari ke mana arah kabel itu paling rendah agar ia bisa mencari tau dengan tespen digital-nya. Bagas mengeluarkan tespen digital-nya. Masih ada meja, kursi, meski kondisinya sudah rusak dan kotor. Bagas perlahan melangkahkan kaki ke dalam rumah. Bagas melangkah ke dekat dinding lalu meletakkan tespen digital-nya ke dekat kabel, ternyata mengeluarkan suara. Artinya kabel di rumah ini masih beraliran listrik. Jantung Bagas berpacu lebih kencang. Mata Bagas mengamati satu persatu jalur kabel di rumah itu. Satu kabel menuju ruang tamu dan berakhir di lampu. Lampunya tidak menyala, mungkin lampunya sudah putus. Ada kabel menuju ke kamar tidur, juga berakhir di lampu. Ada kabel menuju ke teras, lagi-lagi berujung di lampu, tapi lampunya sudah pecah. Bagas tak berani menekan saklar untuk mengetahui apakah lampu di sana masih menyala, takutnya malah terjadi korsleting listrik. Kabel terakhir yang Bagas amati jalurnya naik ke plafon, entah menuju ke mana. Untuk apa kabel itu menuju ke plafon? Bagas perlahan melangkah ke luar rumah. Ia memeriksa teras rumah sekali lagi, apakah kabel tersebut mengarah ke luar rumah. Bagas tak menemukan kabel yang keluar dari atap. Untuk apa ya kabel itu ke plafon? Bagas mengamati sekali lagi dengan lebih teliti. Lalu Bagas coba mengitari rumah ini. Tepat di samping rumah, Bagas
56
tersandung dan nyaris terjatuh. Permukaan tanah tidak rata, seperti ada yang membuat polisi tidur kecil atau orang menimbun pipa air di bawah gundukan tanah itu. Bagas mencari ranting, lalu mengorek tumpukan tanah tersebut. Ternyata daun kering dan tanah menutupi kabel! Kabel tersebut menuju ke pohon beringin tua. Bagas melihat ke pohon tua itu dan menemukan kaleng bekas biskuit tergantung, ada tempat lampu tapi tanpa kabel. Bagas berkesimpulan bahwa kabel ini tadinya keluar dari atap menuju ke pohon beringin tua. Pak Ponco memasang lampu penerangan di pohon ini. Kaleng biskuit itu untuk melindungi lampu dari hujan. Kabel itu terputus dari sambungannya lalu terjuntai ke tanah hingga akhirnya secara alami tertutup oleh tanah dan daun-daun kering. Bagas mengeluarkan tespen digital-nya lalu mendekatkan ke kabel, wah... ternyata berbunyi, artinya masih ada aliran listrik. Terjawab sudah misteri kematian pria-pria tersebut. Kemungkinan mereka tersengat listrik dari kabel ini, terlebih pada korban kedua. Bisa Anda bayangkan, Anda buang air kecil tepat mengenai kabel yang terkelupas dan spontan air seni Anda menjadi konduktor. Mereka tewas karena sengatan listrik, bukan karena hantu perempuan yang marah tempat tinggal mereka dikencingi. Hmmm... jika orang-orang mengetahui penyelidikan Bagas ini, masihkah mereka beranggapan bahwa Buddhis itu dekat dengan dunia klenik, magis, penyembah patung?
57
Dengan Dhamma-nya, Buddha justru mengajar umatnya rasional menyikapi kedaaan, bukan percaya membabi buta. *********** Paman terpukau dengan penjelasan logis dari Bagas. Kalau begitu, nanti paman akan menemui Pak RT dan meminta beliau memperbaiki kabel listrik di bekas rumah Pak Ponco agar tidak memakan korban lagi. Bagas tersenyum puas. Liburannya kali ini jadi seru dan bermanfaat. Case close...
58
6 Pahlawan di Hari Pahlawan Sultan Hendrik
“Sepulang kuliah menaiki angkot, di tengah perjalanan aku melihat seorang nenek yang sedang terbaring pingsan di tengah jalan dengan darah yang terus mengalir dari kepalanya, ketika itu tidak ada yang berani menolong. Apakah yang akan aku lakukan? Akan adakah yang menolong nenek tersebut?Apakah nenek tersebut bisa diselamatkan?” Cerita kali ini merupakan cerita singkat satu kisah nyata kehidupan yang saya alami sendiri. Saya Sultan Hendrik merupakan mahasiswa di salah satu universitas di Kota Medan yang juga berprofesi sebagai relawan sosial dan aktivis Buddhis.
59
Pada hari Senin tanggal 10 November 2014, merupakan hari pahlawan. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 20.30 malam yang menunjukkan kelas perkuliahan malam itu telah usai. Hari itu saya telah belajar banyak hal dari pelajaran-pelajaran yang sudah diberikan oleh para dosen. Seperti biasa saya berniat untuk pulang sendirian. Namun keterbatasan saya yang tidak memiliki kendaraan memutuskan untuk saya memilih antara pulang dengan naik angkutan kendaraan umum seperti becak, angkot, ataupun berjalan kaki – tidak seperti teman-teman saya yang lain yang memiliki sepeda motor dan mobil mewah. Saat itu waktu sudah larut malam, suasana yang gelap dan lokasi kampus saya yang jarang dilewati kendaraan umum. Tiba-tiba datang seorang perempuan yang memanggil saya, dia adalah seorang anggota relawan dari salah satu yayasan sosial Buddhis yang cukup terkenal. Perempuan tersebut pun menawarkan untuk ikut dengannya naik mobil yang sedang dikendarai abangnya, namun karena lokasi rumah kita yang sangat berjauhan dan berbeda arah, maka dia pun menawarkan sampai ke tempat tertentu agar saya lebih mudah mendapatkan kendaraan umum untuk pulang. Awalnya saya sedikit segan, namun kemudian saya menerima niat baik dirinya dan ikut dengannya. Selama di perjalanan kami membahas banyak hal, termasuk bercerita
60
tentang kisah kehidupan saya. Setelah sampai di lokasi yang lebih memungkinkan untuk mendapatkan kendaraan umum, saya pun hendak turun dan mengucapkan terima kasih kepada mereka berdua. Namun perempuan tersebut mengingatkan saya untuk tidak berjalan kaki dikarenakan sudah sangat malam dan masih amat rawan terjadi tindakan kriminal karena tidak ingin saya menjadi korban lagi (sebelumnya saya pernah, bahkan sering menjadi korban tindakan kriminalitas). Dia juga menawarkan untuk memberikan saya tumpangan setiap hari setelah pulang kuliah, saya pun kembali berucap “Gan En” (berterima kasih dengan rasa syukur). Rasa syukur dan bahagia yang saat itu sangat saya rasakan tanpa bisa saya ungkapkan. Setelah turun, saya pun menunggu becak yang lewat karena kalau sudah terlalu malam biasanya sudah tidak ada angkot lagi. Namun ternyata masih ada sebuah angkot yang melintas dan saya pun menumpang angkot tersebut. Di tengah perjalanan, jalanan yang biasanya lancar tibatiba mengalami macet. Seluruh penumpang angkot terlihat kebingungan akan penyebab kemacetan apa yang sedang terjadi. Saya pun ikut melihat ke kaca depan angkot dan melihat banyak kerumunan warga di tengah jalan. Angkot pun mulai berjalan lambat dan melewati kerumunan warga. Ternyata di tengah jalan terkabar tubuh seorang nenek berbadan kurus dalam keadaan pingsan dan kepala mengeluarkan darah yang terus mengalir. Di samping tubuh nenek tersebut, seorang lelaki berteriak-
61
teriak meminta tolong. Parahnya tidak ada satu pun warga yang menolong nenek tersebut, mereka semua hanya mengelilingi untuk sekedar melihat dan menonton. Mengetahui hal tersebut, saya pun segera turun dari angkot dan membayar dengan uang yang sudah saya sediakan di tangan saya, lalu segera berlari kembali menuju ke lokasi Tempat Kejadian Perkara (TKP) tadi. Sesampainya di lokasi kejadian saya pun segera bertanya apa yang terjadi, namun tidak ada yang menanggapi dan menjawab. Saya langsung menuju ke tubuh nenek yang sedang pingsan tersebut. Ketika melihat nenek tersebut saya pun kaget dan merasa seperti pernah mengenal nenek tersebut, kemungkinan nenek tersebut adalah seorang gelandangan (maaf) yang tidak mampu dan sering berkeliaran di pinggir jalan untuk mencari makan yang dulunya juga pernah saya berikan bantuan berupa makanan. Saya bersama dengan seorang lelaki yang di samping nenek tersebut meminta warga sekitar untuk bersama membantu membawa nenek tersebut ke rumah sakit, namun tidak ada satu pun yang bersedia. Mengingat nyawa si nenek yang amat mengkhawatirkan bila dibiarkan begitu lama dan jalanan yang akan semakin macet, maka saya bersama seorang lelaki tersebut pun segera mengangkat tubuh nenek tersebut ke pingir jalan dan menggendongnya ke atas sepeda motor milik lelaki tersebut lalu dengan cepat membawanya ke rumah sakit terdekat.
62
Karena nenek tersebut masih pingsan dan seluruh tubuhnya lemas, dan juga khawatir bila otak dan syarafnya terganggu karena kepalanya tergoncang dan jatuh, maka saya pun menggunakan lengan saya untuk menopang kepala nenek yang lemas. Darah terus-menerus mengalir keluar dari telinga kiri nenek tersebut dan membasahi baju dan tangan saya. Selama perjalanan saya pun melakukan sedikit terapi ketenangan (psikologis) dengan berusaha berbicara sambil mengelus-elus kepala dan tubuh si nenek agar merasa tenang dan nyaman. Sempat terpikir bahwa si nenek sudah koma atau bahkan segera meninggal dunia melihat kondisinya yang pingsan dan lemas tak berdaya, namun saya masih yakin bila nenek tersebut masih hidup dan bisa diselamatkan. Dalam perjalan mencari rumah sakit, saya pun bertanya pada lelaki tersebut tentang kronologi kejadian yang dialami oleh nenek tersebut. Lelaki tersebut pun bercerita, ternyata nenek tersebut ditabrak tanpa sengaja oleh sebuah sepeda motor yang melaju dalam kecepatan sedang ketika nenek tersebut menyeberang jalan dan terjatuh. Namun hal yang membuat saya kaget adalah si penabrak adalah lelaki yang sedang membawa sepeda motor dan sedang berbicara dengan saya ini. Ternyata lelaki tersebut ingin bertanggung jawab akan apa yang telah terjadi, hal itu membuat saya takjub dan amat salut akan keberanian lelaki tersebut untuk bertanggung jawab.
63
Singkat cerita, kamipun sampai di sebuah rumah sakit dan segera membawa si nenek ke IGD (Instalasi Gawat Darurat). Seorang dokter wanita menghampiri kami dan menanyakan kronologi kejadiannya.Dengan jujur si lelaki menceritakan kronologi kejadian itu dan mengakui kesalahannya. Saya segera meminta pasien untuk ditangani dan dirawat dahulu, pasien pun di tangani sementara oleh sekitar 3 orang suster. Namun kemudian si dokter tadi kaget karena mengetahui bahwa kami bukan keluarga pasien dan meminta kami agar menghubungi keluarga pasien yang untuk ke rumah sakit tersebut. Hal tersebut membuat kami kebingungan karena kami tidak mengenal maupun mengetahui keluarga nenek tersebut. Saya pun segera mengeluarkan smartphone saya dan meminta (meminjam) kartu identitas si pelaku (lelaki). Si pelaku pun mengeluarkan kartu SIM-nya dan segera saya mem-foto kartu SIM si pelaku menggunakan smartphone saya sebagai bukti dan pegangan. Alangkah kaget dan paniknya saya ketika melihat baterai smartphone saya sudah merah (lowbat) pertanda tenaga baterai akan segera habis dan sudah amat lemot dengan mengeluarkan tanda jam pasir yang lama terus-menerus. Saya pun segera menghubungi beberapa orang yang saya temui di contact smartphone saya, namun belum ada satu pun contact yang bisa dihubungi. Saya membuka salah satu fitur aplikasi chatting dan mengetik di salah satu grup yang pertama kali saya temui. Grup tersebut merupakan grup acara kegiatan dari salah satu komunitas sosial
64
65
yang bisa sangat saya percayai dalam hal apa pun. Usai mengirim pesan ke grup chatting tersebut (sebelumnya saya juga telah berhasil menghubungi dan memberitahu seorang anggota grup tersebut untuk meminta bantuan mereka), smartphone saya pun langsung padam karena tenaga baterai sudah habis. Saya mengeluarkan charger smartphone saya dan meminta izin kepada suster untuk mengecas baterai smartphone di rumah sakit itu, suster pun mengizinkannya. Tak berapa lama, dokter wanita yang tadi pun berkali-kali meminta saya untuk tidak mengecas smartphone di rumah sakit tersebut dengan alasan takut hilang, saya segera mencabut charger saya dan meminta maaf. Dokter wanita tersebut berkali-kali mendesak kami untuk memanggil keluarga pasien ke rumah sakit secepatnya, saya pun meminta kepada si lelaki yang tadi bersama saya untuk meminjamkan handphone-nya agar saya bisa mencari bantuan dengan menghubungi beberapa temanteman saya, namun lelaki tersebut tidak bisa meminjamkan handphone-nya, karena alasan handphone lelaki tersebut juga sudah lowbat. Kami pun menunggu sambil membantu suster untuk menangani dan merawat nenek tersebut. Si lelaki pun berkali-kali menghampiri saya dan berkata bahwa dia ingin bertanggung jawab namun tidak membawa banyak uang untuk biaya pengobatan si nenek di rumah sakit tersebut dan khawatir bila si nenek semakin lama di rumah sakit tersebut maka biaya pengobatannya akan semakin bertambah. Selain itu dia juga meminta
66
bantuan saya untuk membantunya berbicara dengan keluarga korban bila sudah bertemu keluarganya agar dirinya tidak terlalu ditekan dan disudutkan oleh keluarga si nenek bila hal tersebut terjadi karena dirinya sudah mau bertanggung jawab, lalu saya pun juga menenangkan dirinya. Tak lama kemudian si nenek siuman, saya pun segera menyapa si nenek untuk menenangkan dirinya, namun si nenek seakan lupa ingatan sementara dan selalu bertanya apa yang terjadi pada dirinya dan mengaku tidak tahu maupun ingat apa-apa. Saya bertanya tentang nama, alamat, dan identitas si nenek, namun nenek tidak merespon perkataan saya tetapi berkata hal lain yang seakan tidak nyambung dengan perkataan saya. Berkali-kali saya berusaha menanyakan identitas si nenek hingga nenek hanya berhasil menjawab nama dan alamat si nenek walaupun kurang jelas dan lengkap. Nenek itu berkali-kali ingin turun dari tempat tidur dan ingin pulang karena tidak menyukai rumah sakit dan dokter maupun suster yang sedang menanganinya, namun kami terus membujuk si nenek agar tidak turun dari tempat tidur dulu, dan akan membawanya kembali pulang bila sudah selesai. Karena nenek terus seakan memberontak ingin pulang, maka darah terus keluar dari telinga nenek dan nenek mengalami pusing.Saya membujuk nenek untuk tidur dahulu dan nenek menuruti perkataan saya lalu tertidur. Melihat kepala nenek yang miring dan menyebabkan darah yang masih terus mengalir keluar, si lelaki pun
67
segera melepaskan jaketnya lalu memberikan dan meminta kepada saya untuk menopang kepala nenek tersebut dengan jaketnya. Dokter menghampiri kami dan berkata bahwa si nenek tidak bisa berlama-lama berada di ranjang IGD rumah sakit tersebut. Saya meminta tambahan waktu, namun petugas rumah sakit segera menarik dan mendorong ranjang nenek keluar dari IGD dan menempatkannya di samping pintu keluar-masuk IGD rumah sakit namun dengan ranjang dan selang infus yang masih terpasang. Tujuan ranjang nenek dikeluarkan agar ruang IGD lebih luas dan bisa digunakan oleh pasienpasien lainnya. Kami menunggu cukup lama, si lelaki semakin khawatir biaya rumah sakit akan semakin tinggi dan meminta agar segera memikirkan solusinya. Setelah sekitar hampir dua jam, keluarga si lelaki pun sampai di rumah sakit menggunakan sepeda motor. Mereka juga kebingungan, tidak bisa berbuat apa-apa. Si lelaki menghampiri saya dan menyarankan agar tidak terlalu lama, menghabiskan terlalu banyak waktu dan biaya di rumah sakit. Si lelaki akan melunasi biaya administrasi rumah sakit dahulu dan kami akan bersama-sama membawa nenek tersebut kembali kerumahnya menggunakan sepeda motor sambil mencari rumah nenek tersebut di sekitar lokasi TKP. Yang paling dikhawatirkan adalah bagaimana bila alamat rumah nenek tersebut tidak ketemu ataupun nenek tersebut ternyata tidak mempunyai tempat tinggal.
68
Setelah berpikir, saya memutuskan bila hal tersebut terjadi, maka nenek tersebut untuk sementara akan saya izinkan tinggal di rumah saya hingga sembuh sambil mencarikan tempat yang layak untuknya. Kami pun menemui dokter dan membicarakan hal tersebut, namun dokter tidak mengizinkan dengan alasan harus ada keluarga nenek yang datang dahulu. Dan bila diizinkan untuk dibawa pulang, maka sudah pelanggaran karena risiko yang amat besar bisa terjadi dan menyarankan agar melakukan scan otak terlebih dahulu. Atas pertimbangan akan hal tersebut, kami pun memutuskan untuk membatalkan niat kami membawa nenek keluar dari rumah sakit. Si lelaki berkata bahwa bila untuk melakukan scaning dia belum mampu untuk membayar biayanya. Kami memutuskan untuk menunggu dan berharap teman-teman saya untuk datang, karena saya masih yakin bahwa grup tersebut bisa saya percaya karena grup tersebut sudah saya anggap layaknya keluarga sendiri. Karena menunggu terlalu lama, maka kami menyepakati agar keluarga dari si lelaki tadi untuk segera mencari keluarga si nenek. Saat akan melangkah keluar dari rumah sakit, kami kaget. Tepat di hadapan kami, di sebelah ranjang nenek yang berada di samping pintu, berdiri seorang ibu yang sedang berbicara dengan nenek tersebut. Ternyata ibu tersebut adalah adik dari si nenek dan beberapa keluarga dari si nenek juga datang. Mereka mengetahui hal ini karena si nenek tak kunjung pulang ke rumah, kemudian mereka
69
mendapat laporan dari warga sekitar atas kejadian tersebut.Mereka telah mencari ke sekitar 6 rumah sakit dan klinik yang ada. Rumah sakit ini adalah rumah sakit terakhir yang dicari. Awalnya mereka tidak mengetahui adanya rumah sakit ini, namun ketika mencari mereka melihat sebuah papan plang arah ke rumah sakit ini, di mana rumah sakit tersebut sudah berada di pinggiran pedalaman desa. Awalnya mereka pun tidak yakin nenek dibawa ke rumah sakit itu, namun mereka akhirnya memutuskan untuk tetap mencari ke rumah sakit ini dengan harapan menemukan nenek tersebut. Ketika sampai di rumah sakit ini, seorang keluarga mengintip dan langsung melihat nenek yang terbaring di pintu keluar-masuk IGD rumah sakit. Keluarga korban bertanya tentang kronologi kejadian kepada kami, kami pun menceritakannya. Belum selesai kami bercerita, salah seorang keluarganya yang baru datang mendengar dan telah terpancing emosi langsung menuduh dan mengira saya sebagai pelaku yang menabrak nenek tersebut. Setelah dijelaskan, pihak keluarga pun mengerti dan berkali-kali berterimakasih kepada saya. Saya berkata bahwa seharusnya keluarga berterima kasih kepada si pelaku yang telah berani bertanggung jawab untuk menyelamatkan nyawa nenek yang telah ditabraknya sendiri. Pihak keluarga pun berterima kasih juga pada si lelaki. Tak lama kemudian seorang bapak yang juga merupakan salah satu anggota grup saya pun datang. Beliau juga adalah seorang relawan aktivis sosial yayasan
70
Buddhis yang cukup terkenal. Bapak tersebut juga sudah berpengalaman dalam menangani berbagai kasus seperti ini di yayasan tersebut. Setelah melihat dan mengetahui kondisi pasien (nenek) juga berhubung biaya di rumah sakit tersebut yang terlalu mahal dan kurangnya fasilitas rumah sakit, maka diputuskan agar nenek dipindah ke rumah sakit lain. Keluarga nenek menyetujui agar nenek dipindah ke sebuah rumah sakit swasta yang lebih murah dan memiliki fasilitas dan pelayanan yang lebih memadai. Setelah si lelaki membayar seluruh biaya administrasi di rumah sakit sebagai wujud tanggung jawabnya, kami pun memindahkan nenek ke dalam ambulans dan bersama-sama menuju ke rumah sakit yang baru. Sesampainya di rumah sakit swasta yang baru tersebut, si lelaki merasa bingung karena rumah sakit yang berada di dalam kompleks luas ini merupakan rumah sakit yang sangat besar dan mewah. Ternyata rumah sakit tersebut telah menjalin hubungan kerja sama dengan beberapa organisasi sosial termasuk yayasan sosial Buddhis kami. Nenek dirawat oleh beberapa dokter dan suster-suster yang sangat baik dan sangat ramah, juga sangat peduli pada pasien. Kondisi nenek saat itu mewajibkan untuk dilakukan scaning (rontgen) dan perawatan inap yang intensif sehingga membutuhkan banyak biaya, di mana si lelaki tidak sanggup untuk membiayainya. Dia terlihat sangat stres, duduk di depan rumah sakit. Bapak dan saya
71
berusaha menenangkan lelaki tersebut karena untuk biaya khusus di rumah sakit yang baru ini akan dibantu oleh yayasan Buddhis kami yang bergerak di bidang sosial untuk menangani kasus ini. Lelaki tersebut terlihat sedikit lega namun batinnya masih merasa belum tenang karena masih shock dan merasa bersalah. Pihak keluarga nenek yang telah memaafkan lelaki tersebut pun berusaha menenangkan batin lelaki tersebut. Kami bercerita tentang yayasan sosial Buddhis kami, yang ternyata pernah diketahui pihak keluarga nenek tersebut. Sementara di dalam rumah sakit, saya dan beberapa anggota keluarga nenek yang lain pun menemani nenek untuk menjalani berbagai perawatan dan pemeriksaan. Usai menjalani beberapa prosedur pemeriksaan, saya pun berbincang-bincang dengan keluarga lelaki yang merupakan kakak si lelaki tersebut. Kakak si lelaki tersebut menceritakan bahwa beberapa waktu yang lalu, ternyata si lelaki tersebut juga pernah mengalami kecelakaan karena ditabrak oleh sebuah kendaraan lain yang menyebabkannya terjatuh dan terluka. Namun bukannya meminta maaf dan bertanggung jawab, si pelaku yang menabrak lelaki tersebut malah memarahi si lelaki dan meminta sejumlah uang sebagai bentuk ganti rugi dengan berbagai ancaman. Akibat peristiwa tersebut, si lelaki pun menyadari bahwa si pelaku penabrakan tidak seharusnya bersikap seperti itu karena seharusnya memahami dan mengerti posisi korban. Karena itu dirinya belajar dari pengalaman tersebut. Karena
72
sudah tengah malam dan kami semua belum makan, maka pihak keluarga nenek pun membelikan makanan untuk kami. Namun si lelaki yang walaupun belum makan, tidak berselera untuk makan karena batinnya masih bergejolak dan belum tenang. Lelaki tersebut kemudian memaksakan dirinya untuk tetap makan karena harus memikirkan kesehatan dirinya sendiri. Saya menghampiri si lelaki dan berusaha menenangkan batin lelaki tersebut sambil memuji dirinya yang telah berani bertanggung jawab. Si lelaki menuturkan bahwa dia melakukan hal (bertanggung jawab) tersebut untuk belajar memahami jika bagaimana bila dirinya yang berada di posisi korban dan merasakan hal tersebut. Ia tidak ingin hal yang sama menimpa dirinya kelak karena dirinya percaya akan adanya hukum karma, walaupun dia bukanlah seorang yang beragama Buddha. Pihak keluarga lelaki tersebut mengatakan mereka berencana akan membuat suatu bentuk semangat-semangatan (syukuran). Menjelang fajar subuh, saya dan bapak (relawan) pun memutuskan untuk pulang karena di pagi harinya saya harus bekerja dan si bapak harus berangkat untuk menjalankan tugas ke luar kota pagi-pagi sekali. Bapak pun menawarkan untuk mengantarkan saya pulang ke rumah dengan menumpang kendaraannya. Saya berkali-kali mengucapkan terima kasih dan meminta maaf telah banyak merepotkan bapak. Kami berpamitan dengan pihak keluarga nenek, si lelaki dan pihak keluarga si lelaki dengan saling memberikan hormat dengan
73
menundukkan kepala dan saling mengucapkan terima kasih berkali-kali. Di tengah perjalanan pulang, bapak bertanya pada saya apa perasaan yang saya rasakan hari itu? Dan pelajaran/hikmah apa yang saya dapat? Silakan para pembaca memikirkan sendiri apa jawaban saya dan bagaimana bila pembaca berada di posisi seperti saya ya? Lalu bagaimana juga bila pembaca berada di posisi yang lain? Siapakah yang pantas disebut sebagai “Pahlawan”? *********** Sultan Hendrik, November 2014
74
7 Perjuangan Pelajaran Kehidupan Sultan Hendrik
Doni adalah seorang anak kampung yang miskin. Doni bersama kedua adiknya tinggal bersama kakek dan neneknya. Kedua orang tua mereka telah meninggal saat mereka masih kecil. Walaupun terlahir dalam keluarga miskin, namun hidup mereka selalu ceria dan selalu diselingi canda tawa bersama keluarga, tetangga sekitar, dan teman-teman sehari-hari untuk sekedar melepaskan beban dan melupakan sejenak penderitaan kehidupan mereka. Kakek dan nenek adalah penjual kue tradisional. Mereka membuat kue dari bahan seadanya yang didapat kakek dari hutan, lalu diolah oleh nenek di rumah dan dijual bersamasama dengan berkeliling desa. Walaupun usia kakek dan 75
nenek yang sudah amat tua, mereka tetap semangat dan berusaha bekerja keras walau cuaca terik maupun hujan deras menerpa desa. Mereka tetap harus berjualan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kehidupan mereka yang miskin memaksa mereka hanya makan sehari sekali, itu pun kalau ada uang untuk membeli makanan atau bila masih ada kue yang tersisa karena tidak laku. Suatu hari nenek meninggal dunia karena usia yang sudah tua, maka kakek meneruskan usahanya berjualan kue yang dibantu oleh Doni usai pulang dari sekolah. Doni merupakan murid kebanggaan di sekolah. Karena kepintarannya dalam belajar dan prestasi yang selalu diraih, tak jarang guru-guru dan murid-murid di sekolah memuji Doni. Suatu hari Doni lulus sekolah dan ingin melanjutkan kuliah, kakek pun sangat mendukung. Namun karena belum ada kampus di dekat desa tersebut, kakek memutuskan mereka semua untuk pindah dari kampung (desa) di pedalaman terpencil ke sebuah kota besar dengan harapan untuk mendapat pekerjaan, tempat menuntut ilmu dan kehidupan yang layak bagi mereka. Sesampainya di kota metropolitan yang sangat besar tersebut, mereka sangat terkagum-kagum melihat keindahan gedung-gedung bangunan yang terjulang sangat tinggi dan mobil-mobil mewah yang memenuhi sepanjang lintasan jalan raya. Mereka sangat terpikat oleh pesona kota, maklum wong kampung kok, hehehe. Di kota besar tersebut, dikarenakan biaya sewa rumah
76
diperkotaan yang sangat mahal, mereka menyewa sebuah gubuk kecil seadanya di pinggiran kota untuk dijadikan tempat tinggal. Tetapi ketika akan berkuliah, Doni ditolak oleh beberapa kampus karena tidak mampu untuk melunasi uang pendaftaran untuk berkuliah. Tidak hanya itu, kedua adik-adik Doni pun tidak bisa bersekolah karena terkendala biaya. Namun kakek tidak putus asa, kakek mencari pekerjaan di kota besar tersebut untuk mendapatkan uang agar bisa menguliahkan dan menyekolahkan cucu-cucunya. Berkali-kali kakek mencari kerja, berkali-kali pula kakek ditolak dengan berbagai alasan seperti karena tidak masuk klarifikasi persyaratan yang dicari, tidak pernah tamat sekolah, tidak memiliki ijazah, tidak memiliki pengalaman di bidang/jabatan tertentu, tidak memiliki SIM bahkan kendaraan pun tidak punya, usia yang terlalu tua, dan lain-lain. Bahkan sering pula ditolak tanpa alasan. Akhirnya kakek pun berhasil diterima di sebuah pabrik roti dan kue karena perekrut tenaga kerja di pabrik tersebut terkesan dan merasa kasihan dengan ketika mendengar cerita kakek tersebut. Doni dan adik-adiknya akhirnya bisa bersekolah dan berkuliah dengan uang hasil tabungannya sejak kecil ditambah warisan keluarga seadanya dan penghasilan dari kakek di pabrik kue tersebut. Tidak hanya di sekolah, ketika berkuliah pun Doni termasuk anak yang pintar, cerdas dan rajin hingga berhasil meraih berbagai prestasi yang membanggakan kampusnya. Di sela-sela waktu kuliahnya Doni berpartisipasi dan berinisiatif dalam
77
menyumbangkan berbagai ide-ide maupun tenaga untuk memajukan kampusnya dengan menyelenggarakan berbagai kegiatan di kampusnya. Berkat Doni, nama baik kampus pun terangkat dan berhasil menjadi kampus unggulan yang cukup populer di kota tersebut. Dikarenakan lokasi tempat tinggalnya dengan kampus yang begitu jauh dan juga tidak memiliki kendaraan, membuat Doni harus berjalan kaki berjam-jam untuk berkuliah yang membuat Doni sangat kelelahan. Melihat hal tersebut, kakek pun menjadi sangat sedih dan membelikan Doni sebuah sepeda baru untuk Doni berkuliah. Sepeda tersebut dibeli kakek ketika melihat sebuah sepeda butut yang sudah sangat kotor dan tidak pernah dipakai lagi oleh salah satu rekan kerja kakek di sebuah gudang tua pabrik tempat kakek bekerja. Dulunya sepeda tersebut dipakai untuk berjualan kue keliling, namun karena perkembangan jaman, sepeda tua tersebut pun tidak pernah digunakan lagi. Walaupun merupakan sepeda bekas, Doni pun terlihat sangat gembira menerima sepeda barunya. Sayangnya keterbatasan biaya kembali membuat Doni harus menunggak uang kuliahnya dan terancam tidak bisa melanjutkan kuliah. Hal tersebut membuat Doni harus ikut bekerja membantu di pabrik kue untuk dapat membayar biaya kuliahnya. Keterikatan terhadap pekerjaannya di pabrik kue membuat Doni harus tunduk pada peraturan di pabrik tersebut, termasuk dalam hal lamanya waktu bekerja. Keterikatan pada peraturan waktu
78
kerja dan jarak yang amat jauh menuju kampus, ditambah sepeda yang dipakai memiliki kecepatan yang berbeda jauh dengan kendaraan bermotor lainnya membuat Doni selalu terlambat sampai di kampus. Para dosen pun merasa resah atas keterlambatan Doni dalam mengikuti pelajaran di kampusnya. Hal tersebut membuat beberapa dosen marah dan kemudian menggusir Doni ketika sudah sampai di kampus namun dalam keadaan terlambat. Walaupun begitu, Doni tidak menyerah dan tetap berusaha datang ke kampus setiap hari dengan harapan dapat mengikuti pelajaran di perkuliahan walaupun selalu diusir dosen, dipermalukan hingga selalu diejek oleh teman-temannya. Tidak hanya itu, beberapa dosen tidak memberikan nilai kepada Doni untuk mata kuliahnya.Nama Doni pun terancam dicoret dari mata kuliah tersebut. Parahnya, para dosen tersebut tidak mengetahui kondisi Doni saat itu bahkan tidak pernah bertanya pada Doni sehingga keputusan yang dosen tersebut membebani Doni. Padahal sebenarnya Doni adalah anak yang pintar dan cerdas juga berprestasi. Namun tidak demikian dengan seorang dosen lainnya yang mengetahui kondisi Doni. Walaupun telat, namun dosen tersebut tetap memberikan izin kepada Doni untuk mengikuti pelajaran perkuliahannya. Dosen tersebut sangat menghargai setiap usaha Doni untuk berkuliah. Karena mengikuti pelajaran di perkuliahan merupakan hak setiap mahasiswa – termasuk Doni. Di mata kuliah tersebut, seperti biasanya, Doni kembali mendapatkan nilai yang tinggi atas kepintarannya.
79
Namun dikarenakan banyak pelajaran mata kuliah lain yang tidak lulus karena keterlambatannya sampai di kampus hingga tidak diizinkan oleh dosen untuk masuk pelajaran, nama Doni pun terancam dicoret. Hal tersebut pun membuat Doni kembali terancam tidak bisa kuliah, hingga berkali-kali Doni mendapat surat peringatan (SP) yang sekaligus surat teguran dari dosen yang berisikan bahwa Doni akan terancam tidak bisa kuliah. Surat pun dibawa pulang dan tanpa sengaja terbaca oleh kakek. Membaca surat tersebut, kakekpun kaget dan merasa sangat sedih hingga penyakit jantung yang diidap kakek kambuh. Hal tersebut membuat kakek harus dilarikan ke rumah sakit. Namun karena keterbatasan biaya dan tidak ingin uang yang telah dikumpulkan habis untuk biaya rumah sakit, kakek meminta untuk pulang dan dirawat dirumah saja. Dengan terpaksa dan hati sedih, Doni dan adik-adiknya pun mengantar kakek ke rumah. Berhari-hari Doni dan adik-adiknya harus merawat kakeknya yang sedang terbaring sakit. Namun kakek tetap meminta mereka untuk tidak terlalu mengkhawatirkan dirinya dan harus tetap bersekolah dan berkuliah. Suatu hari kakek meninggal dunia. Doni dan adik-adiknya menangis dalam kesedihan. Hari-hari dilewati Doni tanpa semangat, tidak ada lagi keceriaan yang biasanya selalu terpancar dalam wajah Doni. Doni harus bekerja sendirian tanpa sang kakek untuk membiayai dirinya dan adikadiknya. Hal tersebut pula yang membuat Doni selalu tidak berselera makan sehingga membuat badannya kurus.
80
81
Doni mulai malas untuk berkuliah dan sempat berpikir untuk tidak berkuliah lagi. Suatu hari Doni menemukan sebuah surat, surat tersebut ternyata merupakan surat peringatan dari dosen yang pernah dibaca kakek. Di bawah surat tersebut berisikan tulisan dari sang kakek “Jangan Menyerah, Tetap Semangat Berusaha, Jadilah Dirimu Yang Terbaik, Raih Impianmu, Biarkan Dharma Sang Buddha Selalu Menyertaimu”. Tulisan tersebut membuat Doni tersentuh lalu merenung, hingga Doni kemudian berniat untuk tetap melanjutkan kuliahnya. Suatu hari pimpinan kampus mengetahui cerita kehidupan Doni dari salah seorang dosen. Pimpinan kampus yang mengetahui hal tersebut tergugah dan memberikan beasiswa kepada Doni atas jasa-jasa dan prestasinya yang berhasil membawa kampus menjadi universitas unggulan terfavorit di seluruh kota yang juga baru saja mendapatkan penghargaan dari pemerintah. Selain dapat berkuliah gratis di kampus, Doni pun diterima bekerja dan diberikan tempat untuk berjualan kue di kantin kampus. Doni dan adik-adiknya pun tinggal di sebuah asrama yang baru didirikan dan disediakan oleh kampus tersebut dengan ide dari Doni. Akhirnya Doni lulus dari kampus dengan nilai yang terbaik dan hingga kemudian berhasil menjadi seorang dosen di kampus tersebut. Selain menjadi dosen di kampus, Doni berhasil mendirikan pabrik kue miliknya sendiri. Doni sangat bergembira atas karma baiknya yang ditanamnya dengan sangat bersusah payah dan kini telah berbuah yang amat manis dan dapat dinikmati dengan keceriaan Doni. 82
8 Sabaidee Laos
Upa. Sasanasena Seng Hansen
Saya pernah nekat pergi ke Jepang yang meskipun diawali dengan tekad bulat untuk tidak tahu-menahu dengan urusan izin cuti, akhirnya saya pulang dimarahi oleh boss dan disuruh menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk. Aneh! Padahal saya sudah berusaha untuk menyelesaikan pekerjaan saya sebelumnya dan bahkan beberapa pekerjaan yang seharusnya baru akan saya selesaikan minggu depannya. But as you know, tetap saja pekerjaan kantor menumpuk bagaikan hadiah dari neraka. Setelah berkutat dan lembur (tanpa dibayar) seminggu lebih untuk menyelesaikannya, saya baru bisa bernapas agak lega. Eits, tunggu dulu, dua bulan ke depan adalah libur tahun baru. Wuah mau ke mana ya saya kali ini. Beberapa menit kemudian saya mulai menjelajahi dunia virtual, 83
mencari lokasi-lokasi wisata unik dan murah tetapi kalau bisa bernuansa Buddhis. Habis duit tabungan kemarin untuk pergi ke Jepang. Haha… Pilihan akhirnya jatuh ke sebuah negara kecil di ASEAN yaitu Laos. Bukan bumbu, bukan bambu. Laos adalah negara Buddhis yang masih agak terbelakang perkembangan ekonomi maupun pariwisatanya. Tetapi negara ini mampu menghipnotis banyak orang dan turis asing dari berbagai negara untuk datang karena nuansa Buddhisnya yang kental dan kekayaan budaya masa lampau yang mistis. Luang Prabang, lamunku sejenak sebelum tiba-tiba seorang teman saya menepuk bahu saya dengan cukup keras. Anjritt!! jeritku dalam hati. “Woi, kerja Sen! Kerja! Ini malah inet aja kerjanya. Wkwkwkwk…” canda Erik temanku. “Ah elu, biasa aja kalee.. Daripada elu kerjanya googlinggoogling face face ama boss mulu. Hehe...,” kubalas canda dia. Dia hanya merengut masam. “Eh, mau ngapaen kamu? Mau jalan-jalan luar negeri lagi ya? Ikut dong… Aku punya paspor setahun lalu tapi masih kosong nih,” pinta dia. “Ah emoh ah! Gua mau pergi sendiri aja. Lagian lu juga kan bisa pergi sendiri juga. Lebih enak tahu pergi sendirian,” kataku pura-pura menolak tapi dalam hati berharap dia ikut juga. Kan lebih enak pergi bareng orang yang dikenal, jadi kalau ada apa-apa gampang bray.
84
“Ah, ayolah. Lu juga biasanya minta makan bareng di kantor. Ajak si Arvi juga yuk. Biar bertiga lebih seru. Kita juga ‘kan seumuran dan seagama. Pasti dia tertarik tuh diajakin ke Laos,” sekali lagi dia minta. “Ya udah, kamu coba aja ajak dia. Kalau dia mau, kita jadi berangkat.Sekarang gua mau nyari-nyari referensi dan tur-nya dulu.Kamu coba ajak dia, tapi ingat dia harus mau ikut kalau tidak ya tidak jadi,” balasku. “Sip bro.” Keesokan paginya, si Erik datang ke mejaku dengan wajah senyam-senyum bersama si Arvi. “Bro, ini gue udah ajakin Arvi dan dia mau. Hehe...,” kata temanku yang kurus seperti kuda laut kering ini. “Eh iya, gua mau dong ikutan. Laos, Luang Prabang, ah..” si Arvi mulai melamun. “Eh, iya kapan nih kita berangkat?” “Dua bulan lagi, pas libur tahun baru. Kalian ndak ada acara apa-apa kan?” tanyaku. “Sip, ok bro,” keduanya menjawab serempak. Setelah itu kami pun berdiskusi panjang lebar untuk memilih paket wisata yang ditawarkan. Kali ini kami hanya ambil paket wisata 4 hari 3 malam. Soalnya lebih murah, wisata di Laos juga tidak terlalu banyak, dan kami berarti masih punya waktu untuk berleha-leha menghabiskan akhir pekan di rumah sambil beristirahat sebelum
85
pekerjaan awal tahun dimulai lagi. Tur yang masih dua bulan lagi sudah terbayang-bayang di kepala kami. Taraaa..Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu tiba juga. Saya dan Erik pergi ke indekos si Arvi sambil membawa ransel yang berisi baju-baju kami. Setelah itu kami pun naik taksi menuju Bandara Soetta yang entah sampai kapan selesai renovasinya. Sesampainya di terminal keberangkatan internasional, kami pun sudah ditunggu oleh pemandu wisata dan dia mulai mengumpulkan paspor kami dan surat-surat lain yang diperlukan. Beberapa saat kemudian dia pergi meninggalkan kami beserta rombongan yang turut serta paket wisata Simply Beautiful Laos. Total kami berjumlah 22 orang. Si pemandu akhirnya tiba dan membagikan tiket pesawat PP kami. Setelah satu setengah jam kemudian, kami pun mulai boarding ke dalam tubuh burung besi bernama garuda. Tak ada yang istimewa di perjalanan pesawat kali ini bagiku, tetapi bagi kedua temanku ini merupakan kali pertama mereka naik penerbangan internasional. Deg-degan pastinya dan excited banget kata mereka. Sampai di kota Vientiane, ibukota Laos yang kelihatannya masih tidak banyak terjamah oleh kemajuan teknologi, kami pun diantar ke sebuah hotel bintang 3. Karena kami bertiga adalah teman, pas sekali kami dapat kamar yang sama. Di dalam kamar itu ada 3 tempat tidur ukuran 110x200 jadi pas masing-masing dapat satu. Kami hanya menghabiskan 1 malam di kota ini karena tujuan wisata utama Laos adalah Luang Prabang yang katanya
86
menawarkan fasilitas wisata lebih baik dari ibukota. Menjelang makan malam dengan masakan khas Laos, kami berdiskusi untuk pergi keliling melihat keindahan malam kota ini sejenak. Jadi selesai santap malam kami pun pergi melihat beberapa bangunan peninggalan masa penjajahan di Indocina ini. Kami pun sempat berfoto di Patuxai Gate yang mirip Arc de Triomphe di Paris dan di kompleks Candi Pha That Luang. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam lebih. Kami harus pulang ke hotel karena besok pagi kami akan melanjutkan perjalanan ke Luang Prabang. Meskipun kami semua terkesima dengan suasana baru yang terkesan jadul itu, si Erik kelihatannya tidak terlalu nyaman dengan kemiskinan yang ada. Sesekali dia mengomentari banyaknya anak-anak jalanan di sana, yang persis seperti di Jakarta. Ia kesal dengan pemandangan seperti ini. Besoknya kami bersiap menuju Luang Prabang. Sebuah kota yang menjadi tumpuan utama wisata di Laos. Kota ini juga merupakan kota warisan dunia UNESCO. Jadi kami yakin kota ini wajib dikunjungi. Sepanjang perjalanan kami disuguhi rimba dan sungai bak petualangan Indiana Jones. Akhirnya kami sampai juga di Kota Luang Prabang. Kota kuno Luang Prabang ini adalah jantung kebudayaan Laos dan termasuk salah satu kota kuno yang masih lestari di Asia Tenggara. Terdapat 34 kuil Buddhis dan beberapa bangunan bersejarah dengan gaya arsitektur kolonial dan Tiongkok. Sungai Mekong menjadi urat nadi perdagangan
87
dan transportasi di kota ini. Ada pula yang berdagang di atas perahu mirip-mirip pasar apung di Banjarmasin. Kami sangat senang bisa mengunjungi kuil-kuil Buddhis di sini yang rasa-rasanya perpaduan gaya Tiongkok dan Thailand. Apalagi Erik, dia dengan bangganya bercerita tentang budaya-budaya dan simbol-simbol Buddhis kepada kami. Dia memang senang berdiskusi Dharma dan sering berdebat dengan banyak dharmaduta-dharmaduta di wihara dekat indekos kami. Sambil berfoto sana sini, tak terasa kami menghabiskan hari kedua begitu saja. Peristiwa genting terjadi esok hari. Awalnya dimulai dengan kami bertiga hendak pergi jalan-jalan sebentar di luar hotel sebelum pukul 9 nanti, kami pergi ke tempattempat wisata lain di Luang Prabang. Di depan hotel, kami langsung dikerumuni banyak anak-anak kecil penjaja miniatur dan patung-patung kecil. Agak risih memang, tapi saya dan Arvi bisa memaklumi mengingat ekonomi Laos yang baru mulai berkembang. Tetapi tidak dengan Erik. Dia merasa kesal dan sangat tidak nyaman dan hampir membentak seorang anak yang ngotot berusaha menjual barang dagangannya. “Sabar Rik! Sabar! Jangan terlalu cepat emosian. Kasian mereka masih anak-anak dan namanya juga usaha,” bilang saya. “Ah, elu mah bilang aja begitu. Lagian mana sih orang tua mereka. Malah suruh anak-anak yang jualan. Sudah gitu ngotot lagi,” jawab Erik. “Yah, kan mungkin karena mereka tidak tahu kita menolak. Kita kan tidak bicara bahasa Laos ke mereka,” timpal Arvi. 88
Tiba-tiba karena kesal atau kenapa, Erik terjatuh dengan cukup keras. Kami berusaha membantunya berdiri lagi. Erik masih saja bermuka masam. Dan akhirnya kami memutuskan untuk pulang ke hotel. Di sepanjang perjalanan wisata kami, Erik masih terus saja mengomel tentang anak-anak tersebut. Bahkan juga menyinggung tentang anak-anak jalanan di Jakarta. Sampai bosan kami mendengarnya.Tapi ya sudahlah. Pukul 5 sore kami tiba kembali di hotel. Kami pun istirahat sebentar dan bersiap-siap turun santap malam. Saat itulah Erik dengan kalang kabut mencari kami berdua yang sudah duluan ke restoran di bawah.“Eh, bro. Paspor gua hilang!” “Apa???!” balas kami terkejut. “Bukannya ada di tas paspor kecil elu itu?” “Iya, tas kecil gua juga hilang. Gua cari-cari dari tadi tapi tetap tidak ketemu. Aduh mampus nih gua. Kagak bisa pulang Indo dong.” Karena kepanikannya kami berdua pun menjadi agak sedikit panik. Kami mencari tour guide kami dan menjelaskan duduk persoalannya. Ditanya kira-kira jatuh dimana, kami tidak tahu sampai akhirnya Arvi ingat kalau tadi pagi kami sempat ke pasar dekat hotel. Apakah dicuri atau terjatuh. Tapi tour guide kami orangnya cukup berpengalaman dan berkepala dingin. Dia segera menghubungi pihak hotel. Setelah berusaha menenangkan Erik, si tour guide datang bersama seorang petugas hotel. Si petugas bertanya 89
90
kepada kami, “Is this your passport Sir? Are your name is Erik Boy?” “Ah, yes. That is me,” jawab si Erik. Dia pun segera memberikan paspor dan tas kecil itu kepada Erik untuk dicek. Kami pun lega bukan kepalang. “Actually, around 3pm three street children came here and gave it to our staff. They said that they found it on the street at the market near our hotel and it may belong to one of our guests. Fortunately it’s true. If no one claims this passport, I will contact the embassy at Vientiane tomorrow morning. Well then, please enjoy your night and try not to lose any of your belonging again.” Si petugas itu pun dengan ramah undur diri. Tour guide kami juga akhirnya minta kami segera santap malam dan bersiap-siap untuk kepulangan besok pagi.Fiuh, lega sekali kami. Tapi raut muka Erik merah. Bukan karena marah atau apa. Ketika kami tanya itu karena dia malu. Dia malu telah mengata-ngatai anak-anak kecil tadi pagi itu.Tiba-tiba Arvi berkata kepada kami bahwa ini mirip dengan salah satu cerita dalam Dhammapada Atthakatha. Kisah tersebut adalah tentang bhikkhu sesepuh bernama Upananda. Beliau adalah bhikkhu yang pandai berkhotbah tetapi sayangnya jarang mempraktikkan khotbahnya tersebut. Buddha pun menegur bhikkhu Upananda dengan syair berikut:
91
Hendaknya pertama meneguhkan diri sendiri dalam kepantasan, barulah membimbing orang lain. Janganlah orang bijak menjadi kotor. Esok paginya, sebelum pergi meninggalkan hotel dan negara ini, kami pun menyempatkan diri pergi ke pasar dekat hotel tempat yang kami lalui kemaren ditemani si pemandu. Kami menemui anak-anak yang sedang berdagang di sana. Setelah melihat kami mereka pun datang dan bertanya dengan bahasa Laos yang diterjemahkan oleh pemandu kami. Ternyata memang mereka yang menemukan tas paspor Erik yang terjatuh kemaren. Erik pun dengan rendah hati akhirnya meminta maaf karena hampir membentak salah satu dari mereka. Dia pun membeli sebuah replika kuil seperti yang kami beli sebelumnya. Mereka yang masih polos tentu senang barang dagangannya dibeli. Mereka mengucapkan thank you, thank you Sir ke Erik padahal Erik sedang menahan tangis karena seharusnya dialah yang banyak berterima kasih kepada mereka. Well, akhirnya pukul 6 malam kami tiba di kos Arvi. Sebelum Erik dan saya pulang ke kos kami masing-masing, kami bercerita momen-momen luar biasa dan foto-foto perjalanan kami. Perjalanan ini memberikan pelajaran berharga buat kami, untuk selalu waspada dan berjagajaga terutama barang-barang penting di setiap perjalanan ke luar negeri tetapi juga untuk bersikap rendah hati dan bijaksana menyikapi berbagai fenomena kehidupan. Erik
92
menyadari kekeliruannya selama ini dan bertekad untuk semakin waspada dalam bertindak dan berucap. Sejak itulah kami selalu mengenang kembali cerita ini ketika salah satu dari kami mengomel atau bersikap menyebalkan. Sekian catatan perjalanan saya kali ini. Sampai jumpa lagi di catatan perjalanan saya berikutnya. Sabaidee Laos!!! ***********
Catatan: Sabaidee berasal dari bahasa Laos, artinya halo.
93
9 Sepanjang Lintasan Kereta Aldo Sinatra
Tuuutttt….Tuttuuttt…. Jesss… jesss…. Kereta api Sri Tanjung jurusan Banyuwangi menuju destinasi akhir Stasiun Tugu Yogyakarta melaju kencang membawa rombongan study tour para murid SMA Negeri 2 Banyuwangi. Di luar jendela nampak deretan warna hijau yang sejukkan mata, dan beberapa petak padi yang mulai menguning dan siap untuk dipanen. Sementara gumpalan awan memutih bak kapas menggantung di pelataran langit yang bergulung iringi laju kereta, menambah semarak cerah cuaca yang mendukung acara kepergian mereka.
94
Suasana tiga gerbong kereta riuh rendah.Terdengar suara percakapan, senda gurau, tawa, dan nyanyi para siswa yang antusias dan gembira. Dari kursi 22B yang kududuki cukup jelas untuk melihat sosok indah itu, yang duduk di 19C sambil membahas topik hangat bersama ketiga rekan wanitanya. Kesekian kalinya sorot matanya menatapku, bagai anak panah melesat tepat menembus jantungku. Dan untuk kesekian kali pula, aku hanya tersenyum dan memalingkan muka berpura larut dalam percakapan dengan teman sebangkuku, Arya. Di hadapanku, Mira dan Lina sudah tertidur entah ke alam mana mimpi membawanya. Dasar orang IPA, semua hal bisa jadi perbincangan mengarah perdebatan. Dari masalah ilmu alam, politik, kenaikan BBM, kebijakan pasar ekonomi, psikologi hingga asmara. Jelas kudengar, Wiwin mendebat dan menjelaskan semua sanggahan dan argumennya. Demikian pula Suhartini dan Mike. Namun, ia tak miskin opini, hingga suatu topik yang menahannya dalam keheningan yang lama. “Coba kau pikir, Wan. Kita telah tinggal bersama orangtua kita selama 17 tahun. Dan selama itu pula, napas, darah dan asupan makanan berasal darinya. Demikian pula, dengan pemikiran dan keyakinan. Agama yang kita anut, dipilih dan diajarkan oleh kedua orangtua kita. Apakah kita tega kita lepaskan demi seorang manusia yang berbeda, demi wanita yang kau cintai? Kau baru mengenalnya. Paling lama 3 tahun ini. Sedangkan agama yang kau anut, dari
95
keluarga begitu jauh rentang waktu pembandingnya.” Pemuda yang matanya mirip elang yang sedari naik kereta dari stasiun Rogojampi tadi mengganggu hatiku, mulai komentar, “Benar, Win. Tapi ingat, seperti kau bilang. Tuhan memberikan kehendak bebas. Free will. Untuk manusia memilih.” Suhartini yang terkenal menyebut nama orang secara lengkap, menukas, “Awan Satria, apakah engkau belum yakin dengan keyakinan yang kamu anut saat ini?” Lelaki yang bernama Awan tadi hanya menunduk terdiam, matanya sekilas menatapku dengan sayu. Lalu, tatapan itu ia buang ke sekelabat rerimbun hijau di luar sana… hening. Ia yang selalu mewakili sekolah dengan sederet prestasi, dari lomba debat, cerdas cermat dan kontes ilmiah, tampak galau tertohok oleh pertanyaan Suhartini. Wanita berkerudung itu telah lama dekat dengan Awan. Bukan sebagai kekasih, melainkan sahabat karib tempat Awan mencurahkan segala isi hati berikut kepenatannya. Akulah yang bermimpi bersanding dengannya. Sebagai kekasihnya. Tiga hari selanjutnya, selama wisata di kota pelajar Ngayogyakarto, kerap kulihat raut mukanya. Datar, dan cenderung masam. Seakan senyum yang senantiasa terulas di ujung bibirnya raib entah ke mana. Apakah ia
96
97
masih memikirkan pernyataan Wiwin dan Suhartini, atau kadang aku usil berpikir, bahwa ia cemburu kedekatanku dengan Arya? Entah... Borobudur, Prambanan, Parangtritis, Keraton Dalem, Malioboro, Bakpia Pathok hingga Dagadu seakan tiada mampu kembalikan senyum itu. Hei…mengapa aku memikirkannya terus? Aku merindukan senyum itu? Ya, aku rindu. Mungkinkah aku jatuh cinta? Aku mencintai Awan Satria. *********** Sejak aku mengenalnya, pada hari pertama masuk sekolah SMAN 2. Kesan low profile, murah senyum, dan bersahaja tertangkap dalam aura kesehariannya. Jauh dari kata angkuh atau belagu, malah terkesan apa adanya dan ga neko-neko. Padahal ia-lah selama 3 tahun ini, yang mengisi koleksi trophy sekolah untuk cabang bola basket, dan berbagai kejuaraan ilmiah. Hingga banyak wanita memperbincangkannya, dekat dengannya, ingin bertanya dan belajar padanya. Menanyakan hampir tiap hal. Entah itu modus atau tulus. Ketika sesi pengenalan, pada hari pertama tersebut. Aku melihatnya seorang diri duduk di gasibu bawah beringin, depan kantin sekolah. Kuhampirinya, memberanikan diri untuk menyerahkan buku diari perkenalan teman. Hal yang lumrah kala itu. Di mana tiap wanita memiliki album data diri teman-temannya. Gayung bersambut. Ia
98
menerimanya, dengan diawali jabat tangan lembut dan tatap lugu kebingungannya yang menggemaskan. Sejak saat itu, kita berteman dan bersahabat. Meski tidak kentara. Maksudku, tiada seorang pun di sekolah ini yang tahu. Karena predikatku. Aku benci untuk menceritakan ini. Status orangtuaku yang menjadi orang terkaya di kota pisang ini. Pengusaha pangan terbesar dan pemilik dua hotel berbintang. Seakan perlu menitipkan kepada dewan guru, bahwa aku anaknya telah ditunangkan dengan seorang perwira akademi angkatan udara. Hal ini membuat tiada seorang lelaki pun berani mendekatiku. Selain Arya, anak dari Tante Irma. Dan Awan, dalam mimpi dan… goretan kertas. *********** Meski kita berbeda kelas. Aku di 1.1 dan ia di 1.2, banyak guru yang mengajar di kelas yang sama. Sehingga, beberapa kali aku dapat meminjam buku catatan darinya. Baik itu biologi dan kimia. Bidang yang paling ia gemari, katanya. Dan tiap kali pula, kutemui secarik kertas berisi puisi-puisi indahnya. “Cintaku padamu tlah berurat akar dalam menghunjam ke persada jiwaku erat lekat tiada mungkin sirna di telan zaman. Cintaku padamu ibarat sungai yang selalu berhilir ke samudera luas
99
senantiasa mengalir menuju ke delta hatimu Meski jurang pemisah begitu dalam, namun tiada mungkin menepis gelora rinduku padamu Meski ruang dan waktu membelah jauh, namun tiada mampu melenyapkan gairah kangenku padamu Tiada kupungkiri, harap ingin bercengkerama dengan jiwamu Sekadar bersenda gurau apa pun yang kau mau Tiada kuingkari, rasa ingin menyentuh jemari lentikmu Sambil merangkai bait puisi indah hanya untukmu Tiada kudustai diri, hasrat ingin mendekap harum tubuhmu Hingga kukecup kuntum bibirmu, sepenuh hatiku… Di antara kutuk dan ratap akan alur nasib, Kupilin asa demi menatap seulas senyum indahmu Di antara pedih dan lara akan surat takdir, Kurajut doa demi mengiba sebongkah bahagia hatimu Senyummu, bahagiamu, Itulah bahagiaku sudah… “ Ketika kupertanyakan padanya, untuk siapakah puisi indahmu, ia hanya tersenyum seraya berkata, “Ada dech!?” Aku makin penasaran. Ia pribadi sederhana yang multi talented. Tak heran semua guru begitu menyayanginya,
100
termasuk teman-temannya. Demikian pula aku. Andai ia tahu. Bersenandunglah lagu “Andai Ia Tahu” karya Kahitna di dalam relung-relung hatiku. *********** Di food court Surabaya Plaza (dulu disebut Delta Plaza) tampak ramai. Lalu lalang orang memilih menu di standstand makanan, atau muda-mudi yang cuma nongkrong mantengin gadget atau laptopnya, atau orang tua yang asyik membaca buku barunya hasil membeli dari Gramedia, seraya menunggu anak-anaknya bermain di Time Zone. Tempat ini kupilih, karena dekat dengan Stasiun Gubeng, sambil menghantarkan kepergiannya untuk bersiap dimutasi tugas kerja ke Bandung. “Tampaknya, kau lapar banget! Lahap sekali makanmu? Hehe…” aku mencoba menyelanya menikmati bakmie goreng, menu favoritnya. “Aku bergegas, karena tak mau kehilangan momen detik-detik bersamamu.” Kerling senyum itu masih sama indahnya dengan dahulu. “Sepulang dari wihara, kamu langsung ke mari? Jauhkah wiharamu dari Delta?” aku menutupi kekikukanku dengan pertanyaan konyol. Karena aku dengar, ia seorang aktivis
101
wihara yang cukup terpandang di kota pahlawan ini. Bahkan pernah menjabat sebagai ketua UKM Buddhist di kampusnya, ITS. “Ngagel Jaya ke mari mungkin empat puluh menit.” “By the way, semalam kamu nginap di mana? Apa kabar Mas Primas dan kedua anakmu, siapa? Genta dan Jasmine?” “Perlukah kita membahas itu?” kataku dengan intonasi rada tinggi. Sambil menghela nafas panjang, aku berkata, “Semalam kami tidur di Marriot. Karena Mas Primas ada meeting di Hotel Tunjungan. Sementara anak-anak sedang jalan-jalan bersama neneknya di TP (Tunjungan Plaza).” Ada jeda dua menit dalam keheningan… “Awan, ke mana saja kamu selama ini? Mengapa baru sekarang kamu hadir kembali?” bendungan hatiku jebol, air meluruh dari pelupuk mataku. Seraya mengenggam lembut jemariku, ia berucap, “Dee, kini engkau telah berkeluarga.” Ia menelan ludah, kemudian mengambil gelasnya berisi lemon tea, lalu menyeruputnya. Hanya ia-lah seorang yang memanggil Dee untuk nama asliku Diana Lestari. “Dee, jalan kita telah jauh berbeda. Lihatlah kamu kini! Engkau telah berkerudung, berhijab! Engkau memiliki suami yang baik dan berpengertian seperti Mas Primas. Dan lagi, ada dua anak yang lucu-lucu. Kini, kau telah berbahagia. Dan aku pun berbahagia untuk itu.” 102
“Wan, apakah kau masih mencintaiku? Seperti yang kau katakan by BBM beberapa minggu lalu. Lalu, apa maksud ungkapanmu itu? Mengapa kau menembakku kini? Mengapa tidak delapan belas tahun lalu? Mengapa?” “Seperti di BBM lalu telah kujelaskan, ketika SMA dulu, kupikir kau telah bertunangan. Aku paling pantang untuk merebut milik orang lain. Meski yang kusesalkan, ternyata itu hanyalah permainan orangtuamu dan pihak sekolah guna menutupi statusmu. Andai aku tahu pun itu bohong, aku mungkin berpikir seribu kali untuk mendekatimu, Dee.” “Mengapa?” “Karena kau anak orang kaya, benar aku ketika itu orang yang minder dan berkecil hati. Belum lagi, aku ingin jadi contoh bagi adik-adikku. Oleh sebab itu, berbagai prestasi kuraih, demi dahaga orangtuaku. Bahwa orang berpenghasilan minim, dapat memiliki putra yang tidak minim prestasinya. Tapi, kau pun tahu, aku tak pernah memiliki pacar selama SMA. Kau tahu kenapa, karena tiada yang layak dan pantas, selain kamu. Tiada yang setara denganmu.” “Tapi, istrimu kini juga tiada miripnya denganku, Wan?” “Ya, seiring dengan perkembangan waktu dan kedewasaan, hanyalah mimpi belaka mencari padananmu. Seperti Jaka Tarub yang mendamba Nawang Wulan, bidadari dari surga.
103
Kini, aku lebih membumi. Mencari jelita yang berkenan mengiringiku di bumi.” Sedikit tertawa ia berkomentar. “Aku bukan bidadari, Wan. Dan apakah, karena ungkapan Wiwin dan Suhartini di kereta dulu, kau tidak berani memilih aku yang muslim, sedangkan kamu buddhis?” nadaku mungkin terdengar mulai meninggi, namun aku masih yakin tiada orang di sebelah meja yang menangkap isi perbincangan kami. “Kamu masih mengingat itu? Woow… mengapa?” “Karena, sejak awal kenal, aku… aku sudah jatuh cinta padamu, Awan!” “Hahhh…? Mengapa seorang model, public figure, wanita terpandai, primadona sekolah berkenan mencintai pemuda desa seperti Awan?” “Entah mengapa, tapi aku melihat sosok sederhana, cerdas dan ga neko-neko ada pada dirimu. Dan aku melihat lelaki ‘bening’ dan berkarakter ada padamu. Dan kupikir, kamu menyukai Lina, teman sebangkuku. Karena tiap pelajaran agama Islam, kamu duduk-duduk di depan koperasi ngegodain dia.” “Ha ha ha…” ia tertawa sambil menyeka sedikit air matanya. “itu cuman modus, Dee. Pengalih perhatian, bahasa seni perangnya Sun Tzu.”
104
“Gini Dee, jujur kukatakan. Aku pernah mencintaimu. Dan akan selalu mencintaimu. Meski kita tak mungkin bersanding sebagai sepasang kekasih. Kau sudah ada yang memiliki, aku pun ada yang punya. Setelah aku belajar Dhamma ajaran Buddha lebih dalam, aku dapati kotbah-Nya kepada Nakulamata, istri Nakulapita. Ada empat hal yang bila dimiliki, maka sepasang kekasih akan langgeng kehidupan pernikahannya, dan bila meninggal dunia kelak akan bertemu kembali sebagai pasangan. Empat hal tersebut adalah samma saddha (sepadan keyakinannya), samma caga (sepadan kedermawannya), samma sila (sepadan kemoralannya), dan samma pannya (sepadan kebijaksanaannya). Engkau dan Mas Primas sama keyakinan dan agamanya. Demikian pula, aku dan Venny. Itu, jauh lebih baik daripada beda. Misal beda, akan ketemu berbagai kesulitan. Dalam hal nanti mendidik anak. Anak akan mengikuti agama papa atau mamanya. Bila salah satunya sakit, akan memanggil pemuka agama yang mana? Dan bagaimana bila meninggal dunia, apakah melakukan prosesi doa bagi yang meninggal atau keluarga yang ditinggalkan? Terlepas dari itu semua, aku cuma bisa berharap, semoga di kehidupan selanjutnya kita dapat berjumpa kembali. Meski kamu tidak percaya akan hukum kelahiran kembali?” “Ya, di agamaku sih sulit memahami kehidupan berikutnya. Selain ada alam antara untuk kemudian manusia dihadapkan pada hari penghakiman, kelak ia akan masuk ke surga bila banyak kebajikan atau neraka bila ia jahat.”
105
“Nah, paham kekekalan dalam surga-nerakamu sulit kami cerna. Dan akan banyak perbedaan yang akan membingungkan anak-anak kita kelak yang hidup dengan orangtua beda agama.” Ia kembali menggenggam jemariku, kini untuk kedua tanganku. “Dee, aku masih mencintaimu. Dan mungkin selamanya. Aku yakin kamu tahu itu. Aku hanya berharap dan berdoa, yang terbaik untukmu. Agar kamu dan keluargamu selalu berbahagia. Meski bukan bersamaku. Cinta tidak selalu untuk bersama.” “Apakah kamu mencintai Venny, Wan?” “Tentu, karena aku berharap ia bahagia. Seperti ia berharap demikian pula padaku. Dan dari rahimnya akan melahirkan anak-anak kami kelak. Yang berbahagia.” “Terakhir, Wan. Apakah saat ini, kita sedang selingkuh? Aku masih mencintaimu dan kamu masih mencintaiku. Dan kita sembunyi-sembunyi bertemu di sini?” Ia bersemu merah. Hening sejenak. Seakan kebingungan ia menjawab, “Aku tidak tahu harus menjawab apa. Entah apakah kelak aku dapat berbicara mengakui kepada Venny akan pertemuan kita ini. Sambil berkata aku pernah mencintai seorang wanita sedemikian rupa. Yang bayang wajahnya selalu menghantui malam-malam mimpiku dan semua puisi-puisiku terinsipirasi olehnya. Atau ini akan menjadi misteri hidupku selamanya hingga kubawa sampai mati. Entah.” 106
Aku tersenyum mendengar penjelasannya. Polos. Terus terang. Seperti Awan yang biasa kukenal. *********** Tuuutttt….Tuttuuttt…. Jesss… jesss…. Telah lewat satu jam kereta Argo Anggrek meninggalkan Stasiun Gambir Jakarta, destinasi Stasiun Tugu Yogyakarta. Bukan, bukan untuk study tour. Bukan pula bersama Awan. Meski di luar tampak awan-awan berkejaran menggumpal kelam pertanda hendak menitikkan rinai hujan. Di sampingku duduk manis Mas Primas dengan mata terpejam kelelahan, setelah sepanjang pagi bermain dengan Genta dan Jasmine. Dan kedua buah hati kita pun sedang berebahan terlelap di bangku depan tempat duduk kita. Kulirik nomor bangku kereta. Nomor 19C dan 19D. Aku tersenyum melihat kemiripannya dua puluh tahun yang lampau. Kubuang pandangan keluar, menatap rerimbun warna hijau bersela warna kuning keemasan. Sambil menatap mentari yang makin condong ke barat, dan gumpalan awan yang tertinggal dan seraya berdoa, “Semoga engkau selalu berbahagia, Wan!”
107
10 Setangkai Bunga Willy Yanto Wijaya
Bocah kecil itu termenung sambil menyenderkan dagunya di bingkai jendela, menatap ke luar melihat pejalan kaki yang sesekali berlalu lalang. Sesekali hening menyelimut, hanya terdengar detak jarum jam dinding.. tik.. tok.. tik.. tok.. seirama dengan laju perubahan yang tidak terbendungkan... Ya, memang laju perubahan sangatlah drastis di desa dekat pinggiran kota ini. Hanya dalam hitungan beberapa tahun, sawah-sawah pun telah berubah menjadi jalan beraspal. Kompleks perumahan baru dibangun untuk memenuhi meningkatnya permintaan hunian populasi manusia yang kian meledak.
108
Matahari mulai tampak menjulang tinggi, bocah itu masih termenung di sana, di bingkai jendela kayu yang masih bau cat. “Kita harus memikirkan strategi untuk meningkatkan penjualan!” “Tapi banyak sekali produk-produk saingan yang mulai bermunculan,” terdengar percakapan dua orang bapak-bapak berpakaian necis yang terlihat berjalan tergesa-gesa. Tidak lama berselang, sekumpulan ibu-ibu pun lewat. “Duuh produk make-up ini bagus ya, bikin kulit jadi kinclong...” “Wah kapan nih kita narik arisan di rumahnya Mbok Ani.” “Eh kamu kapan punya anak lagi?” sambil terdengar gosip panjang bercampur baur suara cekikikan. Bocah kecil itu sekedar mendengarkan dengan lesu tanpa semangat dan melanjutkan lamunannya. Sangat mungkin orang-orang yang lewat di depan bingkai jendela itu tidak ada yang menyadari keberadaan dirinya. Lalu lalang demi lalu lalang orang-orang. Detak detik jam dinding terus berdetak-detak seakan tidak peduli dengan apa pun yang terjadi. Tidak lama kemudian, seorang kakek tua tampak berjalan terhuyung-huyung, dan terdengar berkeluh, “Badan tua apa pun susah, masa-masa muda bagaikan embun yang sudah menguap...” dengan terlihat tangan si kakek yang gemetaran menahan tumpuan tongkat tuanya.
109
Matahari mulai tampak turun di ufuk barat, menyemburatkan rona jingga kemerahan. Detak detik jam dinding pun terus berdetak-detak seakan tidak peduli dengan apa pun yang terjadi. Keesokan harinya lagi-lagi tampak bocah kecil melamun di bingkai jendela, menatap kosong ke kejauhan. Perdu lidah buaya di pot dekat jendela terlihat kering kerontang, sepertinya sudah lama tidak dirawat. Seperti biasanya, orang-orang terlihat berlalu lalang. Detak detik jam dinding pun terus terdengar berdetakdetak. Lamunan bocah kecil pun melayang, ke masa beberapa tahun silam. Sekelompok bocah kecil berkejar-kejaran di petak sawah. Salah satu bocah kecil terlihat lebih kecil dari bocah kecil di jendela. Salah satu bocah lebih kecilnya lagi berseru, “Lihat apa yang aku petik!” “Apa itu?” gerombolan bocah lain pun mendekat. “Rumput?” Bocah yang memegang setangkai rumput pun berseru, “Ini rumput ekor kuda, rumput ajaib!” sambil menyodorkan rumput yang ujungnya sedikit berjumbai menyerupai ekor kuda. “Apanya yang ajaib?” tanya bocah lainnya. Bocah yang memegang setangkai rumput pun menyodorkan ujung jumbai rumput ke telinga temannya dan menggelitiknya. “Ha..ha..ha, duh geli,” mereka pun tertawa menahan
110
geli sambil saling menggelitik dengan tangkai-tangkai rerumputan. Dulunya memang ada serimbun lebat rumput ekor kuda di tepi kali kecil di samping sawah. Tapi kini hanya tersisa sepetak tanah gersang dan selokan mampat oleh sampah. Lamunan bocah di bingkai jendela pun kembali ke tatapan kosong. Sesekali hanya terlihat lalu lalang demi lalu lalang orang-orang. Detak detik jam dinding pun terus berdetakdetak seakan tidak peduli dengan apa pun yang terjadi. Hingga akhirnya mentari pun berpamitan diri di ufuk barat. Keesokan harinya lagi-lagi tampak bocah kecil melamun di bingkai jendela, menatap kosong ke kejauhan. Beberapa ekor serangga tampak tergesa-gesa mengangkut gumpal makanan ke lubang di bawah bingkai jendela. Awan gelap sedari pagi menggelantung di angkasa. Detak detik jam dinding pun terus terdengar berdetakdetak, seakan tidak peduli dengan apa pun yang terjadi. Awan gelap yang ga mampu menahan beban akhirnya melepaskan tetes-tetes air yang memberatkan dirinya. Butiran tanah kering gersang berlomba-lomba menyerap tetes air hingga menggemakan suara desah lemah. Semerbak bau tanah terbasahkan air hujan pun menguap. 111
Namun bocah kecil hanya melamun di bingkai jendela. Pikirannya seperti ikut terhanyut seperti alir jeram air hujan yang mengalir pergi. Keesokan harinya lagi-lagi tampak bocah kecil melamun di bingkai jendela, menatap kosong ke kejauhan. Beberapa tunas rumput liar tampak malu-malu mulai menyembulkan diri dari petak tanah yang agak sedikit lembab. Seperti biasanya, orang-orang terlihat berlalu lalang. Detak detik jam dinding pun terus terdengar berdetakdetak. Bocah kecil hanya terus melamun, mentari pun tampak mulai meninggi. Siklus perubahan terus melaju, seakan tidak peduli dengan apa pun yang terjadi. Dalam lamunan yang semakin dalam dan semakin dalam, tiba-tiba bocah kecil terhenyak. Di dekat bingkai jendela, berdiri seorang gadis kecil yang tersenyum, menyodorkannya setangkai bunga. Bunga yang sangat indah, seindah hati gadis kecil yang sedemikian tulus. Sesimpul senyum kecil pun tampak mengembang di sudut bibir si bocah kecil.
112
113
Tentang Proof Reader Hendra Widjaja
Duta Dharma kelahiran Palembang tahun 1969 ini memperoleh pendidikan S1 dari Universitas Indonesia, dan S2 dari University of Adelaide, Australia. Setelah belasan tahun di negeri rantau, tahun 2005 ia sekeluarga kembali ke Palembang. Ia kerap membantu Ehipassiko Foundation sebagai relawan untuk menulis, menerjemahkan dan menyunting buku-buku Dharma, serta sebagai penerjemah ceramah Ajahn Brahm dalam tour d’Indonesia sejak tahun 2009 hingga 2015. Ia juga aktif sebaga duta dharma di Palembang.
Juniarti Salim
Juniarti Salim atau Ang yang hobi membaca lahir di kota pempek. Pernah menjadi relawan di Penerbit Serlingpa Dharmakirti dan penerbit lain yang menerbitkan buku dari tiga tradisi agama Buddha.
114
Tentang Penulis Aldo Sinatra
Aldo Sinatra lahir di Banyuwangi, tanggal 22 bulan 2 tahun 1980. Suami Ana Yanti, sekaligus papa dari Alya Shinta Sinatra, Arjuna Dharmanaga Sinatra, dan Allyssa Kirana Sinatra ini mengidolakan Bung Karno, Abraham Lincoln, George Washington, Shakespeare, dan Kahlil Gibran. Lulusan D3 Jurusan Mesin Industri di Institut Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) ini adalah penggemar berat film, buku, sing a song, puisi, filsafat, dan basketball. Kontak Aldo, pin BB: 75C235B1 email:
[email protected].
Grant G. Kesuma
Penulis yang akrab dipanggil Grant ini adalah lulusan FMIPA jurusan Matematika Universitas Sriwijaya, Palembang. Menulis merupakan salah satu bentuk mengekspresikan apa yang tak dapat diungkapkan secara lisan. Cerpennya pernah dimuat di majalah GADIS dan di beberapa buku antologi 115
cerpen. Baca coretan-coretan kecilnya di https://bbmagz. wordpress.com atau follow akun Twitter: @GlowingGrant dan FB: www.facebook.com/grant.g.kesuma.
Hendry Filcozwei Jan
Hendry Filcozwei Jan dilahirkan pada tanggal 11 Mei di kota Lubuk Linggau (Sumsel) dengan nama Jan Tjien Wie ( ). Suami Linda Muditavati sekaligus ayah 2 putra: Anathapindika Dravichi Jan (Dhika) dan Revata Dracozwei Jan (Ray) ini pernah menerima 7 piagam rekor Muri atas karya-karyanya. Blogger, suka sulap, editor, dan kelirumolog bidang bahasa ini pernah menjuarai lomba cerpen. Blog-nya: www. vihara.blogspot.com dan www.rekor.blogspot.com Hendry bisa dihubungi di:
[email protected].
Lani
Lani lahir 11 Maret di Kebumen (Jateng). Karyawan swasta yang juga kakak pembina sekolah minggu di Wihara Karuna Mukti, Bandung ini penggemar film action dan drama, travelling, kuliner, serta menjalin pertemanan. Cerpen pertamanya “Cinta” dimuat di koran Sindo (Seputar Indonesia). Cerpennya pernah dimuat Gozana magazine, majalah Buddhis: 116
Warta Dharma Ratna, Manggala, dan di buku kumpulan cerpen Buddhis: Asal-Usul Pohon Salak bersama penulis Buddhis lain. Blog Lani: www.lanilanimc.blogspot.com Email Lani: lanilanimc@ yahoo.com.
Selfy Parkit
Lahir di Tangerang, 22 Juni tahun 1984. Setelah menyelesaikan kursus bahasa Mandarinnya selama satu tahun di China, Selfy Parkit menetap di Bali sebagai guru pre-school di salah satu sekolah international. Bukunya berjudul “Mentari Pagi” diterbitkan oleh Ehipassiko Foundation, 2011. Pernah menjadi juara ke-3 lomba menulis artikel Dharma yang diselenggarakan oleh LPAD MBI DKI Jakarta pada tahun 2010. Bisa dihubungi via email:
[email protected], blog-nya: www.selfyparkit.wordpress.com, Facebook: Selfy Parkit.
Sultan Hendrik
Sultan Hendrik, lahir di Pematang Siantar 18 Mei 1994.Saat ini Hendrik merupakan mahasiswa aktif di fakultas Psikologi, Universitas Prima Indonesia (UNPRI).Hendrik yang aktif di berbagai organisasi sosial ini merupakan seorang entertainer di bidang sulap (magician dan hipnotis) serta seorang Dharmaduta Muda 117
(DMd). Kontak Hendrik: Facebook: Sultan Hendrick,Twitter: @SultanHendrik,Email:
[email protected], No. HP: 085760501580, Pin BB: 28820D48, WeChat ID: SultanHendrik, Line ID: SultanHendrik, WhatsApp: 0857-6050-1580.
Upa. Sasanasena Seng Hansen Penulis ini berasal dari kota Jambi. Memiliki hobi membaca dan menulis sekaligus travelling. Penulis dapat dihubungi via email:
[email protected].
Willy Yanto Wijaya
Willy Yanto Wijaya meraih gelar S1 Fisika di ITB, S2 dan S3 bidang produksi bahan bakar hidrogen dan aplikasi fuel cell di Tokyo Institute of Technology, bekerja di JX Nippon Oil and Energy Corp. Bukunya, baik sebagai co-author maupun full-author diantaranya: Rahasia Melanjutkan Studi dan Mendapatkan Beasiswa ke Jepang, (ACI Publishing, 2009), Kasih Selembut Awan (Ehipassiko, 2010), Asal Usul Pohon Salak dan Cerita Bermakna Lainnya, (Insight Vidyasena, 2011),... Email: willy_yanto_wijaya@ yahoo.com.
118
Tentang Ilustrator Suvanna Visakha Wu
Suvanna Visakha Wu, lahir di Bandung, 17 Mei 1998 adalah seorang pelajar SMA yang menjadi illustrator dalam kumpulan cerpen ini. Pelajar yang akrab dipanggil Visakha ini telah menekuni bidang menggambar sejak masih di sekolah dasar. Berikut beberapa prestasi yang telah dicapai:Region Competation Winner by Lions Club dengan tema “Peace Poster”, Juara 2 Paduan Suara ITB 2010, Juara 1 10th Life Science Symposium by ACS (I) Singapore.
Vereen Augustine
Lahir di Palembang, 11 Agustus 1997. Siswi SMA Xaverius 1 Palembang yang bercita-cita jadi ilustrator ternama ini hobi menggambar sejak kecil. Prestasi sulung dari dua bersaudara ini diantaranya: Finalis Palembang Shortlisted Top 10 Young Artist Award TOA 2014, Juara 3 Lomba Design Graphic SMA Xaverius 1 2013, Juara 1 Lomba Mading Bioscope FK Unpad Fair 2014, Juara 2 Lomba Artwork & Comic Strip FK Unsri di Palembang 2014. 119
LEMBAR SPONSORSHIP Dana Dhamma adalah dana yang tertinggi Sang Buddha Jika Anda berniat untuk menyebarkan Dhamma, yang merupakan dana yang tertinggi, dengan cara menyokong biaya percetakan dan pengiriman buku-buku dana (free distribution), guntinglah halaman ini dan isi dengan keterangan jelas halaman berikut, kirimkan kembali kepada kami. Dana Anda bisa dikirimkan ke : Rek BCA 4451199867 Cab. Katamso a.n. DIAN PURWANTONO atau Vidyasena Production Vihara Vidyaloka Jl. Kenari Gg. Tanjung I No.231 Yogyakarta - 55165 (0274) 542919 Keterangan lebih lanjut, hubungi : Insight Vidyasena Production 08995066277 Email :
[email protected] Mohon memberi konfirmasi melalui SMS ke no. diatas bila telah mengirimkan dana. Dengan memberitahukan nama, alamat, kota, jumlah dana.
Insight Vidyāsenā Production Buku buku yang telah diterbitkan INSIGHT VIDYĀSENĀ PRODUCTION: 1. Kitab Suci Udana Khotbah-khotbah Inspirasi Suci Dhammapada. 2. Kitab Suci Dhammapada Atthakatha Kisah-kisah Dhammapada 3. Buku Dhamma Vibhaga Penggolongan Dhamma 4. Panduan Kursus Dasar Ajaran Buddha Dasar-dasar Ajaran Buddha 5. Jataka Kisah-kisah kehidupan lampau Sang Buddha
Buku-buku FREE DISTRIBUTION: 1. Teori Kamma Dalam Buddhisme Oleh Y.M. Mahasi Sayadaw 2. Penjara Kehidupan Oleh Bhikku Buddhadasa 3. Salahkah Berambisi? Oleh Ven. K Sri Dhammananda 4. Empat Kebenaran Mulia Oleh Ven. Ajahn Sumedho 5. Riwayat Hidup Anathapindika Oleh Nyanaponika Thera dan Hellmuth Hecker 6. Damai Tak Tergoyahkan Oleh Ven. Ajahn Chah 7. Anuruddha Yang Unggul Dalam Mata Dewa Oleh Nyanaponika Thera dan Hellmuth Hecker 8. Syukur Kepada Orang Tua Oleh Ven. Ajahn Sumedho 9. Segenggam Pasir Oleh Phra Ajaan Suwat Suvaco 10. Makna Paritta Oleh Ven. Sri S.V. Pandit P. Pemaratana Nayako Thero 11. Meditation Oleh Ven. Ajahn Chah 12. Brahmavihara - Empat Keadaan Batin Luhur Oleh Nyanaponika Thera 13. Kumpulan Artikel Bhikkhu Bodhi (Menghadapi Millenium Baru, Dua Jalan Pengetahuan, Tanggapan Buddhis Terhadap Dilema Eksistensi Manusia Saat Ini) 14. Riwayat Hidup Sariputta I (Bagian 1) Oleh Nyanaponika Thera* 15. Riwayat Hidup Sariputta II (Bagian 2) Oleh Nyanaponika Thera* 16. Maklumat Raja Asoka Oleh Ven. S. Dhammika 17. Tanggung Jawab Bersama Oleh Ven. Sri Pannavaro
Mahathera dan Ven. Dr. K. Sri Dhammananda 18. Seksualitas Dalam Buddhisme Oleh M. O’C Walshe dan Willy Yandi Wijaya 19. Kumpulan Ceramah Dhammaclass Masa Vassa Vihara Vidyāloka (Dewa dan Manusia, Micchaditti, Puasa Dalam Agama Buddha) Oleh Y.M. Sri Pannavaro Mahathera, Y.M. Jotidhammo Mahathera dan Y.M. Saccadhamma 20. Tradisi Utama Buddhisme Oleh John Bulitt, Y.M. Master Chan Sheng-Yen dan Y.M. Dalai Lama XIV 21. Pandangan Benar Oleh Willy Yandi Wijaya 22. Ikhtisar Ajaran Buddha Oleh Upa. Sasanasena Seng Hansen 23. Riwayat Hidup Maha Moggallana Oleh Hellmuth Hecker 24. Rumah Tangga Bahagia Oleh Ven. K. Sri Dhammananda 25. Pikiran Benar Oleh Willy Yandi Wijaya 26. Aturan Moralitas Buddhis Oleh Ronald Satya Surya 27. Dhammadana Para Dhammaduta 28. Melihat Dhamma Kumpulan Ceramah Sri Pannyavaro Mahathera 29. Ucapan Benar Oleh Willy Yandi Wijaya 30. Kalana Sutta Oleh Soma Thera, Bhikkhu Bodhi, Larry Rosenberg, Willy Yandi Wijaya 31. Riwayat Hidup Maha Kaccana Oleh Bhikkhu Bodhi 32. Ajaran Buddha dan Kematian Oleh M. O’C. Walshe, Willy Liu
33. Dhammadana Para Dhammaduta 2 34. Dhammaclass Masa Vassa 2 35. Perbuatan Benar Oleh Willy Yandi Wijaya 36. Hidup Bukan Hanya Penderitaan Oleh Bhikkhu Thanissaro 37. Asal-usul Pohon Salak & Cerita-cerita bermakna lainnya 38. 108 Perumpamaan Oleh Ajahn Chah 39. Penghidupan Benar Oleh Willy Yandi Wijaya 40. Puja Asadha Oleh Dhamma Ananda Arif Kurniawan Hadi Santosa 41. Riwayat Hidup Maha Kassapa Oleh Helmuth Hecker 42. Sarapan Pagi Oleh Frengky 43. Dhammmadana Para Dhammaduta 3 44. Kumpulan Vihara dan Candi Buddhis Indonesia 45. Metta dan Mangala Oleh Acharya Buddharakkita 46. Riwayat Hidup Putri Yasodhara Oleh Upa. Sasanasena Seng Hansen 47. Usaha Benar Oleh Willy Yandi Wijaya 48. It’s Easy To be Happy Oleh Frengky 49. Mara si Penggoda Oleh Ananda W.P. Guruge 50. 55 Situs Warisan Dunia Buddhis 51. Dhammadana Para Dhammaduta 4 52. Menuju Kehidupan yang Tinggi Oleh Aryavamsa Frengky, MA.
Kami melayani pencetakan ulang (reprint) buku-buku Free diatas untuk keperluan Pattidana/pelimpahan jasa. Informasi lebih lanjut dapat melalui: Insight Vidyasena Production 08995066277 pin bb : 26DB6BE4 atau Email :
[email protected]
* - Untuk buku Riwayat Hidup Sariputta apabila dikehendaki, bagian 1 dan bagian 2 dapat digabung menjadi 1 buku (sesuai permintaan). - Anda bisa mendapatkan e-book buku-buku free kami melalui website: -www.Vidyasena.or.id -www.Dhammacitta.org/kategori/penerbit/insightvidyasena -www.samaggi-phala.or.id/download.php