Transcript
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karekteristik Responden
Dalam penulisan skripsi ini penulis melakukan penelitian dengan cara mengadakan wawancara terhadap responden yang telah ditentukan oleh penulis, adapun responden tersebut adalah: 1. Nama
: Rista Magdalena Situmorang, S.H.
Umur
: 24 Tahun
Agama
: Kristen
Jabatan
: Staf Bidang Hukum Disminasi dan Humas
Instansi
: Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
2. Nama
: Selamet, S.H.
Umur
: 46 Tahun
Agama
: Islam
Jabatan
: Kasubsi Pratut Pidana
Instansi
: Kejaksaan Negeri Bandar Lampung
3. Nama
: Sugi Haryanto
Umur
: 25 Tahun
Agama
: Islam
Jabatan
: Penyidik Pembantu
Instansi
: SAT Reskrim POLTABES Bandar Lampung
4. Nama
: Sri Hartati, S.H.
Umur
: 48 Tahun
Agama
: Islam
47
Jabatan
: Hakim
Instansi
: Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjungkaran
B. Pelaksanaan Hak – Hak Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana Berdasarkan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Pengungkapan kebenaran dalam proses
peradilan pidana dilakukan dengan
mengajukan alat bukti berupa keterangan saksi (termasuk korban), keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Keterangan saksi dalam proses pembuktian perkara pidana merupakan suatu hal yang sangat penting sehingga bagi saksi dan korban diperlukan hak – hak yang bisa membuat para saksi dan korban yang akan memberikan kesaksian di dalam persidangan memberikan kesaksiannya dengan aman tanpa suatu tekanan apapun dari pihak – pihak tertentu.
Selama ini banyak saksi ataupun korban yang masih takut untuk memberikan kesaksiaan di karenakan banyak intimidasi dari pihak – pihak tertentu khususnya dari pihak terdakwa. Sebenarnya seorang saksi dan korban memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari aparat penegak hukum khususnya dari pihak kepolisian. Namun, walaupun demikian masih banyak saksi atau korban yang mendapatkan intimidasi dari pihak – pihak tertentu. Sebelum adanya Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban, sebagai seorang saksi dan korban telah ada dalam KUHAP beberapa pasal yang dianggap menjadi hak – hak dari saksi dan korban namun pasal – pasal tersebut tidak dapat memenuhi rasa aman dari saksi dan korban dalam memberikan kesaksiannya.
48
Untuk memberikan rasa aman kepada para saksi dan korban dalam memberikan kesaksian di persidangan maka dibuatlah Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam Undang – Undang ini di berikan hak – hak terhadap saksi dan korban.
Menurut Rista Magdalena Situmorang sebagai staf bidang hukum diseminasi dan humas dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) latar belakang dibuatnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah dikarenakan hak saksi dan korban cendrung terabaikan oleh para aparat penegak hukum serta tidak seimbangnya akomodasi antara saksi, tersangka maupun terdakwa sehingga para akademisi Universitas Indonesia serta koalisi perlindungan saksi dan korban memutuskan untuk membuat naskah akademik mengenai undang – undang perlindungan saksi dan korban, sehingga undang-undang ini dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selama 4 tahun sampai pada akhirnya pada tahun 2006 Undang – Undang tentang perlindungan saksi dan korban di sahkan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban di jelaskan bahwa yang melaksanakan pemberian hak – hak saksi dan korban ini adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban hal ini tercantum dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
49
Pasal 12 menyebutkan: “ LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.”
Pelaksanaan peradilan pidana di negara Indonesia dilaksanakan oleh lembagalembaga peradilan yaitu Kepolisian, Kejaksaaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan (LP). Namun, untuk pelaksanaan pemberian hak – hak terhadap saksi dan korban ini dilaksanakan oleh Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta LPSK sebagai lembaga yang sekarang mempunyai wewenang dalam pemberian hak – hak terhadap saksi dan korban berdasarkan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pelaksanaan pemberian hak – hak terhadap saksi dan korban ini tidak diberikan kepada semua saksi dan korban yang menjalani proses persidangan. Saksi dan korban yang dapat diberikan hak – hak yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) yaitu saksi atau pun korban dalam kasus tindak pidana: 1. Korupsi 2. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) 3. Narkotika 4. Terorisme 5. Pencucian Uang 6. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang sudah menyangkut pelangaran HAM
50
Berikut ini adalah hak – hak saksi dan korban yang terdapat dalam Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 5 sampai dengan Pasal 7 beserta uraian mengenai pelaksanaan hak – hak saksi dan korban tersebut. Hak – hak saksi dalam Pasal 5 yaitu: a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kekerasan yang akan, sedang, atau telah diberikannya
Pelaksanaan pemberian hak saksi dan korban untuk mendapatkan perlindungan di lakukan oleh LPSK serta pihak kepolisian. Menurut Sugi Haryanto sebagai penyidik pembantu pada Poltabes Bandar Lampung, pelaksanaan pemberian hak perlindungan yang dilakukan oleh pihak kepolisian tidak serumit seperti yang dilakukan oleh LPSK. Pelaksanaan Pemberian hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap saksi dan korban dari pihak kepolisian langsung diberikan kepada saksi dan korban yang memang kesaksiaannya dianggap penting dan dapat membahayakan diri saksi dan korban itu sendiri. Sedangkan, pemberian hak untuk mendapatkan perlindungan dari LPSK harus melalui prosedur yang panjang sesuai dengan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban mengajukan permohonan perllindungan serta bantuan terdapat dalam Pasal 28 sampai Pasal 30 Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Prosedur untuk meminta hak untuk mendapatkan perlindungan dari LPSK terdapat dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 30.
51
Pasal 28 menyatakan bahwa: Perjanjian perlindungan LPSK terhadap saksi dan/atau Korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diberikan dengan mempertimbangkan syarat sebagai berikut; a. sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban; b. tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban; c. hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap saksi dan/atau korban; d. rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh saksi dan/atau korban. Pasal 29 menyatakan bahwa: Tata cara memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebagai berikut: a. ssksi dan/atau korban yang bersangkutan , baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK; b. LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a; c. Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan perlindungan diajukan. Pasal 30 menyatakan bahwa: (1) Dalam hal LPSK menerima permohonan saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, saksi dan/atau korban menandatangani pernyataan kesedian mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi dan korban. (2) Pernyataan kesedian mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: a. kesedian saksi dan/atau korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan; b. kesedian saksi dan/atau korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan keselamatannya; c. kesedian saksi dan/atau korban untuk tidak berhubungan dengan cara apa pun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia berada dalam perlindungan LPSK; d. kewajiban saksi dan/atau korban untuk tidak memberitahukan kepada siapa pun mengenai keberadaanya di bawah perlindungan LPSK; e. hal – hal yang dianggap perlu oleh LPSK.
Pelaksanaan pemberian hak perlindungan kepada saksi dan korban baik dari LPSK maupun Kepolisian diberikan dengan cara menempatkan saksi dan korban tersebut ke sebuah rumah yang hanya di ketahui oleh aparat penegak hukum serta
52
saksi dan korban sendiri, rumah tersebut biasa disebut dengan rumah aman. Beradasarkan penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa hak untuk mendapat perlindungan ini telah berjalan dengan baik. Menurut penulis, adanya tata cara yang terdapat dalam Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ini khususnya pada Pasal 28 sampai dengan Pasal 30 ini sangat rumit sehingga dapat membuat saksi atau pun korban yang ingin meminta bantuan kepada LPSK untuk memberi perlindungan menjadi terhambat karena prosedur yang begitu rumit. Selain itu, dalam pasal tersebut secara tersirat menyatakan bahwa LPSK adalah lembaga yang bersifat pasif hal ini berarti para saksi dan korbanlah yang harus berinisiatif sendiri datang kepada LPSK untuk meminta perlindungan. Menurut penulis, hal ini justru menghambat kinerja LPSK sendiri sebab banyak para saksi dan korban yang hanya ingin LPSK lah yang datang menawarkan perlindungan tersebut namun LPSK juga tidak bisa berbuat apa – apa. Jika LPSK ingin memberikan perlindungan kepada saksi dan korban yang menurut LPSK berhak mendapatkan perlindungan namun saksi dan korban tersebut tidak meminta perlindungan kepada LPSK, pihak LPSK pun tidak bisa berbuat apa – apa karena terbentur peraturan yang ada dalam Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tersebut.
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan
Menurut Rista Magdalena Situmorang dan Sugiharyanto untuk memberikan perlindungan kepada saksi dan korban, terlebih dahulu saksi dan korban diberi kesempatan
untuk
memilih
ingin
mendapatkan
perlindungan
dengan
53
menempatkan saksi ataupun korban tersebut pada rumah aman yang sudah ditentukan oleh pihak LPSK ataupun juga dari pihak Kepolisian atau memilih sendiri tempat perlindungannya. Sehingga saksi ataupun korban juga ikut serta dalam menentukan bentuk perlindungan terhadap mereka. Hal ini dilakukan agar saksi ataupun korban merasa bisa merasakan keamanan sesuai yang mereka harapkan. Dari pihak kepolisian sendiri selain menempatkan saksi ataupun korban di rumah aman pihak Kepolisian sendiri menempatkan anggotanya selama 24 jam penuh untuk menjaga rumah tersebut. Hak untuk memilih dan menentukan perlindungan dan dukungan keamanan ini beradasarkan penjelasan diatas sudah dilaksanakan dengan baik oleh LPSK ataupun pihak Kepolisian.
c. Memberikan Keterangan Tanpa tekanan
Pelaksanaan hak ini berdasarkan penjelasan dari Selamet selaku jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung serta Sugi Haryanto menyatakan hak ini diberikan oleh pihak kepolisian maupun kejaksaan dalam hal melakukan penyidikan polisi ataupun jaksa selama ini tidak pernah memberi tekanan kepada pihak saksi dan korban dalam memberi kesaksiaan atau memaksa saksi ataupun korban untuk mengatakan atau mengakui suatu hal yang benar menjadi salah serta yang salah jadi benar.
LPSK sendiri melakukan pelaksanaan pemberian hak ini dengan cara tidak memperbolehkan saksi ataupun korban dengan cara apapun untuk berhubungan dengan orang lain hal ini sesuai dengan Pasal 30 ayat (2) poin c.
54
Pasal 30 ayat (2) poin c menyatakan: “ Kesedian saksi dan/atau korban untuk tidak berhubungan dengan cara apa pun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia berada dalam perlindungan LPSK.”
Hal ini dilakukan oleh LPSK agar saksi ataupun korban tidak mendapat tekanan dari pihak luar seperti dari pihak terdakwa. Mengenai pelaksanaan hak saksi ataupun korban diatas dapat dilihat telah dilaksanakan dengan baik oleh LPSK.
d. Mendapat Penerjemah
Hak untuk mendapat penerjemah bagi seorang saksi ataupun korban yang tidak mengerti bahasa Indonesia menurut Sri Hartati selaku Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjungkarang selalu diberikan. Karena, jika hak tersebut tidak diberikan kepada saksi dan korban yang tidak mengerti berbahasa Indonesia maka akan mempersulit proses persidangan maka hak tersebut akan selalu diberikan kepada para saksi dan korban yang tidak mengerti bahasa Indonesia karena dengan adanya penerjemah maka akan mempermudah proses peradilan.
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat
Saksi dan korban mempunyai hak bebas dari pertanyaan yang menjerat, namun menurut Rista Magdalena Situmorang, Jaksa dalam persidangan masih sering memberikan pertanyaan – pertanyaan yang menjerat saksi ataupun korban. Sehingga membuat saksi sering sekali terjebak oleh pertanyaan dari jaksa tersebut. Sehingga pelaksanaan dari pemberian hak ini belum dapat terlaksana dengan baik.
55
f. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus serta mendapatkan informasi mengenai putusan Pengadilan
Kedua Hak ini dilaksanakan selain diberikan oleh LPSK kedua hak ini diberikan pula oleh pihak Pengadilan. Menurut Sri Hartati, pihak pengadilan selalu memberitahukan baik tentang perkembangan dari kasus serta informasi mengenai putusan Pengadilan yang sedang dijalaninya baik ia sebagai korban maupun saksi. Selanjutnya, menurut Rista Magdalena Situmorang informasi mengenai perkembangan kasus serta informasi mengenai putusan pengadilan tersebut bagi saksi dan korban yang dilindungi oleh LPSK maka informasi tersebut diberitahukan melaui LPSK. Selanjutnya selain menunggu informasi tersebut diberikan oleh pihak pengadilan,
LPSK sendiri bisa bertanya langsung kapada pihak pengadilan mengenai perkembangan kasus tersebut lalu memberitahukan kepada saksi ataupun korban, hal tersebut dilakukan oleh LPSK karena pihak Pengadilan kadangkala masih sering tidak memberikan kedua hak saksi ataupun korban ini sehingga untuk melaksanakan agar hak – hak saksi dan korban tersebut terpenuhi maka pihak LPSK malakukan hal tersebut.
Hak untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus ini diberikan dikarenkan seringkali saksi dan korban hanya berperan dalam pemberian kesaksiaan di pengadilan tetapi saksi dan korban tidak mengetahui perkembangan kasus yang bersangkutan jadi sudah seharusnya hak ini diberikan kepada saksi dan korban. Begitupula dengan hak saksi dan korban untuk mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan wajib diberikan sebagai tanda penghargaan atas
56
kesedian saksi dan korban untuk datang dalam proses peradilan. Berdasarkan pejelasan tersebut dapat di katakana hak ini walupun telah dapat diberikan namun dalam pelaksanaannya belum berjalan dengan efektif dikarenakan masih saja ada beberapa pihak yang seringkali tidak memahami pentingnya hak tersebut bagi saksi dan korban sehingga tidak hak tersebut tidak terlaksanakan dengan cukup baik.
g. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan
Hak ini sama halnya dengan hak saksi dan korban untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus dan informasi putusan pengadilan hak ini diberikan pula oleh pengadilan serta disampaikan kepada saksi ataupun korban melalui LPSK. Namun, menurut Sugi Haryanto hak ini sering tidak dilaksanakan atau diberikan pengadilan kepada saksi dan korban,
Rista Magdalena Situmorang menyatakan pendapat yang sama. Rista Magdalena Situmorang mengatakan bahwa LPSK juga dalam hal saksi berhak mendapatkan informasi mengenai hal terpidana dibebaskan
sering tidak diberikan atau
dilaksanakan oleh pengadilan sehingga LPSK sering turun tangan dengan cara bertanya secara langsung kepada Pengadilan guna terpenuhinya hak – hak dari saksi dan korban tersebut. Sebenarnya hak ini sangat penting bagi saksi dan korban sebab di khawtirkan akan adanya balas dendam dari terdakwa. Pelaksanaan pemberian hak ini berdasarkan penjelasan tersebut pelaksanaannya belum berjalan dengan maksimal.
57
h. Mendapat identitas baru
Hak saksi untuk mendapatkan identitas baru ini berdasarkan penjelasan dari Rista Magdalena Situmorang selaku staf dari LPSK dimana lembaga ini yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban belum dapat dilaksankan hal ini dikarenakan pemberian hak untuk mendapatkan identitas baru ini diberikan kepada saksi dan korban yang memang benar – benar jiwanya akan terancam.
Rista Magdalena Situmorang menjelaskan bahwa pelaksanaan pemberian hak untuk mendapatkan identitas baru ini tidak hanya sebatas penggantian nama saja tapi juga penggantian wajah atau dengan kata lain harus dikatakan saksi ataupun korban tersebut harus melakukan faceoff. Selain itu, saksi ataupun korban juga harus dipindahkan ke luar negeri.
Pemberian hak ini belum dapat terealisasikan dikarenakan belum pentingnya untuk memberikan saksi ataupun korban identitas baru jika saksi dan korban hanya ingin meminta hal tersebut hanyalah suatu yang sia – sia saja selain itu belum adanya dana yang memadai untuk memberikan hak tersebut serta LPSK sendiri karena baru berdiri pada tahun 2008 belum banyak bekerja sama dengan instansi – instansi lain yang dapat membantu LPSK dalam pelaksanaan pemberian hak – hak saksi dan korban tersebut. Mengenai pelaksanaan hak ini belum bisa dilaksanakan dikarenakan masih belum diperlukannya hak ini serta belum adanya dana dari pemerintah.
58
i. Mendapatkan tempat kediaman baru
Hak mendapatkan tempat kediaman baru ini berdasarkan penjelasan dari Rista Magdalena Situmorang sajauh ini sudah diberikan kepada saksi ataupun korban yang keamanaannya sangat mengkhawatirkan sehingga saksi ataupun korban tersebut diberikan tempat kediaman baru dengan bentuk penempatan saksi dan korban di rumah aman yang diberikan oleh LPSK namun, tempat kediaman baru ini hanya bersifat sementara. Berdasarkan penjelasan tersebut bahwa hak ini sudah dapat terlaksanakan dengan baik, dengan memberikan rumah aman kepada para saksi dan korban sampai keamanan mereka sudah terjamin.
j. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan
Hak untuk mendapatkan penggantian biaya transportasi ini juga ada dalam KUHAP yaitu pada Pasal 229 (1) yang menyatakan: “ Saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat penggantian biaya menurut peraturan undang – undang yang berlaku.” Sebelum Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini disahkan hak saksi ini memang sudah ada dalam KUHAP, namun menurut Selamet dalam hal pelaksanaan pemberian hak ini tidak pernah diberikan kepada saksi karena tidak adanya biaya serta belum adanya undang – undang yang mengatur mengenai hal penggantian biaya bagi saksi dan korban yang dihadirkan dalam persidangan. Begitupula dari pihak kepolisiaan berdasarkan penjelasan Sugi Haryanto tidak
59
adanya dana untuk penggantian biaya bagi saksi ataupun korban membuat hak saksi dan korban ini tidak bisa terlaksanakan dengan baik. Namun, untuk mengatasi masalah tersebut seringkali pihak kepolisian menjemput sendiri saksi ataupun korban tersebut. Setelah Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ini di sahkan bagi saksi dan korban yang dilindungi oleh LPSK memang tidak perlu mengeluarkan biaya untuk menghadiri persidangan sebab LPSK sendiri yang akan mengantarkan saksi atupun korban tersebut ke pengadilan dimana perkara atas kasusnya sebagai saksi ataupun korban akan disidangkan. Mengenai hak ini dapat dilihat bahwa pelaksananaanya belum berjalan dengan baik sebab tidak adanya dana yang diberikan oleh pemerintah untuk penggantian biaya yang dikeluarkan oleh saksi ataupun korban, Jika selama ini saksi ataupun korban yang dilindungi oleh LPSK ataupun pihak kepolisian tidak mengeluarkan biaya itu dikarenkan biaya – biaya tersebut dikeluarkan dari uang pribadi baik itu oleh pihak LPSK ataupun Polisi.
k. Mendapat nasehat hukum
Hak saksi ataupun korban untuk mendapatkan nasehat hukum berdasarkan penjelasan Rista Magdalena Situmorang diberikan oleh anggota LPSK dalam bentuk nasehat – nasehat yang diperlukan oleh saksi ataupun korban dalam menghadapi perkara dimana mereka dijadikan sebagai saksi ataupun mereka yang menjadi korban. Nasehat – nasehat hukum ini diberikan oleh LPSK kepada saksi dan korban untuk menghadapi persidangan, nasehat hukum ini juga diberikan
60
sesuai dengan kebutuhan saksi dan korban jika nasehat hukum ini tidak diperlukan maka tidak akan diberikan.
l. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir
Hak memperoleh bantuan biaya hidup sementara ini berdasarkan penjelasan Rista Magdalena Situmorang serta Sugi Haryanto diberikan oleh LPSK serta kepolisian kepada saksi ataupun korban yang mendapat perlindungan dari LPSK atau kepolisian. Bantuan biaya hidup ini diberikan karena saksi dan korban tidak diperbolehkan melakukan aktivitas seperti keluar dari rumah untuk bekerja dikarenkan saksi dan korban ini masih dalam perlindungan LPSK atau kepolisian. Bantuan biaya hidup ini dalam bentuk biaya untuk makan sehari – hari para saksi dan korban selama mereka dalam perlindungan LPSK ataupun perlindungan dari polisi Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban juga memberikan hak yang khusus bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat ini tercantum dalam Pasal 6 undang – undang ini. Pasal 6 menyebutkan: “ Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan: a. bantuan medis;dan b. bantuan rehabilitasi psiko-sosial”
61
Menurut penjelasan Rista Magdalena Situmorang hak korban untuk mendapatkan bantuan medis di lakukan oleh LPSK dalam bentuk pemberian bantuan biaya perawatan medis sedangkan untuk bantuan rehabilitasi psiko – sosial diberikan oleh LPSK dengan cara mendatangkan psikolog kepada korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya. Psikolog ini diberikan kepada korban agar dapat memulihkan kondisi kejiwaan korban. Mengenai hak ini dapat dikatakan sudah berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Hak – hak yang ada dalam Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak semuanya diberikan kepada saksi ataupun korban, hak – hak tersebut diberikan sesuai dengan yang dibutuhkan oleh saksi ataupun korban. Dalam pelaksanaan hak – hak saksi dan korban ini berdasarkan penjelasan Rista Magdalena Situmorang LPSK akan selalu ada jika hak – hak yang ada dalam Pasal 5 undang – undang ini terancam maka karena LPSK bertanggungjawab melindungi hak – hak saksi dan korban agar terakomodir dalam sistem peradilan pidana.
Berdasarkan penjelasan dari Sugiharyanto dari pihak kepolisian serta Rista Magdalena dari pihak LPSK, walaupun sekarang LPSK adalah lembaga yang bertanggungjawab dalam pemberian hak – hak saksi ataupun korban tetap saja lembaga peradilan yang lain seperti polisi, jaksa ataupun hakim tetap harus memperhatikan hak – hak dari saksi ataupun korban apalagi jika saksi ataupun korban tersebut tidak meminta perlindungan terhadap LPSK. Berdasarkan uraian mengenai pelaksanaan hak – hak saksi ataupun korban diatas yang ada pada Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
62
Saksi dan Korban dapat dilihat bahwa pelaksanaan hak – hak saksi dan korban yang ada dalam undang – undang tersebut ada beberapa hak – hak yang sudah dilaksanakan oleh lembaga – lembaga peradilan di Indonesia seperti Kepolisian, Kejaksaan , Pengadilan ditambah dengan LPSK. Namun, masih banyak hak – hak yang ada dalam Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang belum terpenuhi seperti hak untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus , hak mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan , hak mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan, serta memperoleh penggantian biaya transportasi. Menurut penulis, hak – hak saksi dan korban tersebut belum dapat terpenuhi dikarenakan dari aparat penegak hukum tersebut yang tidak bisa bekerja secara efektif hal ini dapat dilihat dari tidak terpenuhinya hak saksi atau korban untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus padahal hak ini sangat penting bagi saksi ataupun korban, namun pada kenyataannya hak ini tidak dapat terpenuhi. Seharusnya baik dari pihak pengadilan serta LPSK sendiri harus bisa bekerjasama dalam hal pemberian informasi mengenai perkembangan kasus tersebut kepada saksi dan korban sehingga hak saksi dan korban tersebut dapat terpenuhi.
Saksi dan korban juga harus mendapatkan hak mengetahui dalam hal terpidana di bebaskan karena hak ini sangat penting bagi saksi dan korban. Sebenarnya menurut penulis seharusnya tanpa adanya Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang di dalamnya memuat mengenai hak – hak dari saksi dan korban menurut penulis hak ini memang sudah
63
seharusnya diberikan oleh pihak pengadilan, kepolisian ataupun kejaksaan apalagi jika saksi ataupun korban merupakan pemberi kesaksian pada kasus – kasus yang besar, sebab hak ini sangat penting bagi saksi dan korban karena mungkin saja saksi dan korban akan merasa jiwa mereka nantinya akan terancam karena ketakutan akan adanya balas dendam dari terdakwa. Namun, sepertinya hak ini sangat sulit sekali untuk dipenuhi oleh aparat penegak hukum khususnya dari pengadilan ataupun dari pihak kepolisian padahal jika memang ada kerja sama yang baik antara pihak pengadilan ataupun pihak kepolsian dengan LPSK maka hal seperti ini tidak perlu terjadi dan pastinya hak bagi saksi dan korban untuk mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan akan terlaksana dengan baik. Hak – hak yang tidak terpenuhi yang lain adalah hak untuk mendapatkan penggantian biaya transportasi. Pada dasarnya hak ini diberikan karena dikhawatirkan ada saksi ataupun korban yang tidak mampu membiayai dirinya untuk mendatangi lokasi. Lalu ada juga dana yang harus di berikan kepada korban yang merupakan pelanggaran HAM berat. Hak untuk penggantian biaya transportasi serta biaya – biaya yang lainnya seperti biaya untuk bantuan hidup sementara berdasarkan pengamatan penulis berdasarkan hasil wawancara dengan pihak dari LPSK, pemerintah sendiri belum dapat merealisasikan biaya – biaya tersebut hal ini dapat dilihat dari pernyataan dari pihak LPSK sendiri yang menyatakan bahwa tidak ada penggantian biaya transportasi untuk saksi dan korban karena, pada kenyataannya pihak dari LPSK sendiri yang pada akhirnya menjemput saksi dan korban ke tempat mereka masing- masing. Menurut penulis, tidak teralisasikannya dana untuk penggantian
64
biaya dikarenakan tidak adanya undang – undang yang mengatur tentang hal tersebut. Hal ini juga dibenarkan oleh Slamet selaku jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung serta dari pihak LPSK. Undang – undang hanya mengatur mengenai pemberian kompensasi, restitusi, serta bantuan kepada saksi dan korban pelanggaran tindak pidana HAM berat yang dalam hal ini tertuang pada Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban. Dalam undang – undang ini di jelaskan pihak – pihak yang berkaitan dalam hal pemberian biaya kompensasi, restitusi serta bantuan kepada saksi dan korban mulai dari Pengadilan HAM, Jaksa Agung, sampai dengan Departemen Keuangan. Departemen Keuangan dalam hal ini merupakan pelaksana dalam hal pembiayaan kompensasi.
C. Faktor Penghambat Pelaksanaan Hak – Hak Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana
Beradasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan baik kepada responden jaksa, polisi, hakim maupun pihak dari LPSK, maka diperoleh adanya hambatan dalam pelaksanaan hak – hak saksi dan korban sebagaimana yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Hambatan – hambatan yang menjadi faktor penghambat pelaksanaan hak – hak saksi dan korban pada dasarnya ada dikarenkan dari undang – undangnya sendiri serta dari pemerintah. Dalam teori Soerjono Soekanto mengenai faktor – faktor yang menghambat pelaksanaan penegakan hukum menyatakan mengenai faktor
65
penghambat dari pelaksanaan penegakan hukum, dimana Soerjono Soekanto menyatakan bahwa dalam rangka efektifitas penegakan hukum dibutuhkan lima unsur pokok yaitu: a. Faktor Hukum b. Faktor Penegakan Hukum c. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung d. Faktor Masyarakat e. Faktor Kebudayaan Faktor – faktor penghambat dari pelaksanaan pemberian hak – hak terhadap saksi dan korban dan dihubungkan dengan teori dari Soerjono Soekanto diatas tentang faktor – faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, maka dapat diketahui faktor penghambat pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana hal ini didasarkan pula dari hasil wawancara dari para narasumber yang akan diuraikan sebagai berikut:
a. Faktor Hukum
Menurut Rista Magdalena Situmorang faktor hukum dapat menghambat pelaksanaan hak – hak saksi dan korban, dalam hal ini dapat dilihat dari sifat LPSK sendiri yang merupakan sebuah lembaga yang bersifat pasif, dimana LPSK dalam hal pelaksanaan hak perlindungan serta bantuan kepada saksi ataupun korban harus menunggu saksi atau korban tersebut meminta sendiri kepada LPSK untuk meminta diberikan perlindungan serta bantuan oleh LPSK. Hal ini sesuai dengan Pasal 29 ayat (1) yang menyebutkan “ saksi dan/atau korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang
66
berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK”. Hal ini membuat LPSK yang ingin memberikan perlindungan serta bantuan kepaada saksi ataupun korban yang menurut LPSK berhak untuk mendapatkan perlindungan menjadi terhambat dikarenakan peraturan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Namun, seharusnya baik dari LPSK sendiri ataupun pihak saksi dan korban harus sama – sama aktif dalam pelaksanaan pemberian hak – hak saksi dan korban.
b. Faktor penegak hukum
Faktor penegak hukum ini berdasarkan penjelasan Rista Magdalena Situmorang sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan hak – hak saksi dan korban sebab banyak masyarakat yang menjadi saksi ataupun menjadi korban dari tindak pidana yang telah terjadi mengetahui bahwa mereka mempunyai hak – hak yang seharusnya diberikan oleh para aparat penegak hukum. Namun, banyak aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa yang masih sering melupakan bahwa saksi ataupun korban mempunyai hak – hak yang bisa mereka dapat, hal ini juga dikarenakan beberapa aparat penegak hukum yang masih tidak mengetahui apa saja hak-hak saksi ataupun korban yang ada dalam Pasal 5 Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
c. Faktor masyarakat
Menurut Selamet serta Sri Hartati, beberapa masyarakat telah mengetahui bahwa telah ada lembaga yang sekarang bertanggungjawab untuk memberikan perlindugan terrhadap saksi ataupun korban namun, masyarakat masih tidak
67
menyadari bahwa menjadi saksi ataupun korban dalam suatu tindak pidana apalagi saksi tersebut merupakan saksi kunci dari suatu tindak pidana tersebut dapat membahayakan diri saksi ataupun korban sehingga diperlukan perlindungan serta bantuan dari pihak yang berwenang dalam hal ini. Tingkat kesadaran masyarakat yang masih rendah ini sendiri dikarenakan masyarakat yang menganggap rumitnya prosedur bagi saksi ataupun korban yang ingin mendapatkan hak mereka sebagai saksi ataupun korban sehingga masyarakat menilai cukup mendapatkan perlindungan dari pihak kepolisian saja.
d. Faktor sarana dan fasilitas mendukung
Menurut Slamet serta Sugi haryanto faktor sarana dalam hal ini adalah mengenai biaya atau anggaran dari pemerintah yang masih belum memberikan anggaran kepada aparat penegak hukum dalam hal pelaksanaan pemberian hak – hak terhadap saksi ataupun korban khususnya hak untuk mendapatkan penggantian biaya transportasi serta hak – hak yang lain yang membutuhkan biaya yang tidak cukup sedikit membuat pihak Jaksa serta Polisi dalam melaksanakan pemberian hak terhadap saksi ataupun korban menjadi terhambat.
Rista Magdalena Situmorang juga mengungkapkan hal serupa bahwa faktor ini sangat mengahambat kinerja LPSK sendiri. Sedangkan fasilitas yang tidak mendukung berdasarkan penjelasan dari Rista Magdalena Situmorang serta Sugi Haryanto yaitu menyangkut mengenai keberadaan LPSK yang hanya ada di Ibu Kota Negara membuat masyarakat banyak yang tidak mengetahui keberadaan dari LPSK khususnya bagi masyarakat yang tinggal di luar Jakarta. Apalagi LPSK sendiri masih kurang mensosialisasikan keberadaan LPSK sendiri serta Undang –
68
Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban kepada masyarakat.
Berdasarkan hasil wawancara tersebut tidak semua faktor yang dikemukan oleh Soerjono Soekanto menjadi faktor penghambat pelaksanaan hak – hak saksi dan korban ada satu faktor yang tidak menjadi faktor penghambat pelaksanaan hak saksi dan korban yaitu faktor kebudayaan. Berdasarkan teori Soerjono Soekanto dan hasil wawancara dari para narasumber menurut penulis bahwa faktor hukum merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh dalam pelaksanaan hak saksi dan korban. Dalam hal ini faktor hukum yang menghambat adalah UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban itu sendiri.
Pihak LPSK sendiri pada dasarnya ingin sakali melindungi setiap saksi dan korban yang memang membutuhkan perlindungan namun LPSK sendiri tidak bisa berbuat apa – apa sebab terbentur oleh Undang – Undang yang ada yaitu UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dimana dalam Undang – Undang tersebut secara tersirat menyatakan bahwa LPSK adalah lembaga yang bersifat pasif yang berarti bahwa LPSK tidak bisa langsung memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban yang membutuhkan karena saksi dan korban yang ingin dilindungi oleh LPSK saksi dan korban tersebut harus meminta sendiri kepada LPSK melalui prosedur yang berlaku.
Prosedur yang harus dipenuhi oleh saksi dan korban
tersebut terlalu rumit
sehingga banyak dari para saksi atau korban yang tidak jadi meminta perlindungan dari LPSK. Berdasarkan dari hasil wawancara menurut penulis
69
seharusnya Undang – Undang mengenai hak – hak saksi dan korban
yaitu
Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban diamandemenkan sebab jika undang-undang tersebut tidak di amandemenkan akan dapat mengganggu kinerja dari LPSK sendiri yang merupakan lembaga yang berwenang untuk memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban, Karena menurut penulis Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban masih perlu perubahan terutama pada Pasal 29 ayat (1).
Pasal 29 ayat (1) menyatakan bahwa: “ Saksi dan/atau korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun
atas
permintaan
pejabat
yang
berwenang,
mengajukan
permohonan secara tertulis kepada LPSK”.
Pasal 29 ayat (1)
tersebut
yang membuat LPSK sebagai lembaga yang
berwenang dalam memberikan perlindungan kepada saksi dan korban menjadi terhambat karena LPSK harus menunggu permintaan permohonan pengajuan perlindungan dari para saksi dan korban. Selain faktor hukumnya itu sendiri ada pula faktor yang juga termasuk berpengaruh dalam pelaksanaan hak saksi dan korban yaitu faktor sarana dan fasilitas yang mendukung.
Faktor ini berkaitan dengan keberadaan LPSK yang hanya ada di Jakarta saja tidak ada di setiap propinsi. Menurut penulis keberadaan LPSK yang hanya ada di Jakarta benar – benar dapat menghambat pelaksanaan hak-hak saksi dan korban sebab banyak masyarakat yang tidak mengetahui bahwa telah ada LPSK yaitu sebuah lembaga yang bertanggungjawab untuk melindungi para saksi dan korban. Sehingga, hal ini juga berkaitan dangan faktor penghambat pelaksanaan hak – hak
70
saksi dan
korban yang berhubungan dengan faktor masyarakatnya. Menurut
penulis, kedua faktor tersebut saling berkaitan karena masyarakat yang tidak tahu telah adanya LPSK karena keberadaan dari LPSK itu sendiri yang hanya ada di Jakarta. Namun dari pihak LPSK sendiri menyatakan bahwa untuk mengatasi masalah rersebut, LPSK sering mengadakan sosialisasi di berbagai daerah di Indonesia. Tetapi, menurut penulis hal seperti ini kurang efektif sebab LPSK harus pergi mensosialisasikan ke setiap propinsi di Indonesia dan mungkin saja hal tersebut tidak bisa di lakukan.
Keberadaan para aparat penegak hukum yang lain seperti polisi, jaksa serta hakim menurut penulis sebenarnya dapat membantu LPSK dalam hal mensosialisasikan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban kepada masyarakat luas. Namun, hal ini kembali lagi kepada aparat penegak hukumnya itu sendiri dimana hal ini berkaitan dengan faktor penghambat pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dari aparat penegak hukumnya sendiri. Karena, pada kenyataannya masih banyak polisi, jaksa, maupun hakim yang belum memahami atau tidak mengetahui tentang Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Menurut penulis, pada dasarnya LPSK dapat mengatasi faktor penghambatnya jika ada kerja sama yang baik dengan pihak lain yaitu aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, serta hakim selain itu para aparat penegak hukum tersebut harus benar – benar memahami mengenai Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Selain faktor sarana dan fasilitas yang berkaitan dengan keberadaan LPSK yang hanya ada di Jakarta ada juga
71
faktor yang menghambat dari segi sarana serta fasilitas yaitu yang berkaitan dengan alokasi dana yang diberikan kepada saksi dan korban dalam hal penggantian biaya transportasi serta biaya – biaya yang lain bagi para saksi atau korban. Menurut penulis mengenai dana alokasi ini memang tidak terlaksana karena memang hak tersebut tidak dilaksanakan karena, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa untuk penggantian biaya transportasi ini LPSK belum mendapat realisasinya yang nyata dari pemerintah.
Berdasarkan hasil penelitian untuk faktor yang berkaitan dengan sarana dan fasilitas yang mendukung ini jika dilihat dari fasilitas kantor berdasarkan pengamatan penulis serta hasil wawancara masih sekali banyak kekurangan pada fasilitas kantor dari LPSK sendiri bahkan setelah satu tahun berdiri baru pada bulan September 2009 fasilitas – fasilitas kantor tersebut baru dapat terpenuhi walaupun belum begitu lengkap hal ini dikarenakan tidak terealisasikannya dana yang diberikan oleh pemerintah selain itu juga berkaitan dengan penggantian biaya transportasi kepada saksi dan korban pihak dari LPSK sendiri yang selalu menjemput saksi dan korban ke tempat mereka masing – masing.
Tidak jelasnya realisasi dana alokasi untuk pelaksanaan hak saksi dan korban dalam hal penggantian biaya transportasi ini menurut pengamatan penulis dikarenakan belum adanya undang – undang yang mengatur mengenai hal tersebut dan hal ini di benarkan pula oleh Selamet selaku Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung serta Rista Magdalena Situmorang dari pihak LPSK sendiri.