willystrack
Itu kalu gk salah ada dibuku b.indo pr judlnya payung ok saya akan menjawab nya anan. Markun mencibir. ”Enggak ada yang nolongin lu. Mau lari, ha?!” Markun mendesak Dian mundur sampai merapat ke tembok beton. ”Pinjam. Jangan pelit. Nanti malam gua balikin.””Enggak boleh. Gua belum kerja hari ini.””Sama donk, Nyet. Bukan lu aja yang butuh duit!” Bau nafas Markun terbawa hembusan angin. Busuk, sebusuk perbuatannya. Dian melengos, menghindari bau yang menyerang hidungnya. ”Memangnya lu enggak punya payung?””Ngapain lu tanya-tanya?!” bentak Markun sambil menyentuh payung. ”Sini payung lu!” ”Jangaaa…an!” ”Sini!” ”Enggak!” Markun mencoba merenggut payung itu. Tenaganya yang besar menyeret tubuh Dian yang tetap memeluk payung. Markun melepas sebelah tangannya pada batang payung dan melayangkannya pada pipi Dian. Plak! Plak! ”Rasain lu!” ”Aaaa….!” Buk! Markun mendorong Dian sekuat tenaga ke tembok. Payung terlepas dari tangan Dian. Punggung Dian membentur tembok. Sakit. Matanya mendadak panas oleh desakan air mata yang siap-siap tercurah. Sandal jepitnya putus. Markun tak membuang waktu. Sebentar lagi hujan turun. Dengan gesit ia berlari. Tujuannya adalah halte bus di dekat jembatan. Di sana rezeki musim hujan menunggu. Lembaran-lembaran seribu rupiah akan berpindah tangan. Siapa cepat, siapa dapat. Siapa yang rajin, siapa yang kuat, akan menuai lembaran rupiah terbanyak. Dian membuang sandal jepitnya. Telapak kakinya perih, mungkin tergesek kerikil saat tadi Markun mendorongnya kuat-kuat dan menginjak sandalnya. Gagal pekerjaan hari ini. Ia tak memercayai Markun akan mengembalikan payungnya nanti. Seandainya dikembalikan, payungnya mungkin sobek atau patah, tak akan selamat dari kejahilan Markun. Mendadak Dian teringat Diyon. Biskuit dan susu. Satrio dan teman-teman. Payung-payung tambahan. Pasukan Biru. Hatinya sakit. ”Bangsaaat….at!” Lidahnya yang tadi kelu tiba-tiba lantang memaki. Mendengar teriakan itu, Markun menengok dan mengacungkan tinjunya. Lalu, ia melanjutkan larinya. Kilat menyambar-nyambar. Guntur menggelegar di langit yang makin menghitam. Seorang gadis di tepi jalan menjerit sambil menutup telinganya. Terkejut oleh suara guntur, sekaligus karena Dian yang berlari seperti kesetanan dan hampir menabraknya. Markun pun berlari dengan lincah, meliuk-liukkan pinggangnya untuk menghindari tabrakan dengan manusia lain yang berjalan bergegas karena khawatir hujan segera turun. Cepat sekali larinya. Entah, karena dia mendadak takut pada Dian yang mengamuk seperti kesurupan karena memburu waktu, atau karena dia tak mau membuat keributan di pinggir jalan yang mulai padat. Markun pernah diciduk Satpol PP saat tawuran. Ciiiitttt…..!!! Sebuah mobil pikap hitam mendadak mengerem, nyaris menghantam tubuh Markun di belokan pagar beton yang membatasi bantar kali dengan jalan raya. Markun berhenti mendadak dan hampir jatuh karena sandal jepitnya yang tiba-tiba putus. Ia melepas sandalnya dan terus berlari. ”Mampus lu!” Si pengemudi berteriak membentak Markun. Markun tak peduli. Ia terus berlari. Keterkejutan menahan langkah Dian. Ia membiarkan pikap itu lewat memutar di hadapannya. Mendadak tubuhnya terasa lemas. Sebagian kemarahannya berganti kesedihan. Tetesan air hujan pertama jatuh di kening Dian, diikuti tetesan lain yang semakin banyak. Air tumpah ruah dari langit, menyamarkan air mata yang juga mengucur deras. Pandangan Dian menjadi kabur. Semangatnya mendadak runtuh. Markun menghilang. Tak ada gunanya berteduh. Dian menyeberangi jalan raya yang semakin padat. Tak ada Markun di jembatan, berarti ia mengojek payung di tempat lain. Di jembatan terlihat Bono, dengan rambut yang tertutup bandana kuning yang sudah basah, sedang sibuk menawarkan payungnya. Terduduk di median yang lengang. Dian membenamkan wajah di antara kedua lututnya, menghindari tetes hujan yang membuat pipinya pedih. Matanya telah kering oleh air mata. Hanya air hujan yang terus menderas. Dian menutup mata dan telinganya. Lamat-lamat suara klakson kendaraan terdengar berganti-ganti, seolah berasal dari tempat yang jauh. Dian merasa dirinya mandi di bawah pancuran air bergagang putih. Di sekelilingnya, dinding dan lantai keramik yang juga serba putih, seperti dalam iklan sabun mandi yang sering ia lihat di televisi. Hatinya kemudian mendingin dalam tubuh yang menggigil. Di hadapannya, mobil-mobil bergerak tersendat.
1 votes Thanks 0
Novyalfiani
tapii ceren pendek disuruh kalimat menurut kalian
ok saya akan menjawab nya
anan. Markun mencibir. ”Enggak ada yang nolongin lu. Mau lari, ha?!” Markun mendesak Dian mundur sampai merapat ke tembok beton. ”Pinjam. Jangan pelit. Nanti malam gua balikin.””Enggak boleh. Gua belum kerja hari ini.””Sama donk, Nyet. Bukan lu aja yang butuh duit!” Bau nafas Markun terbawa hembusan angin. Busuk, sebusuk perbuatannya. Dian melengos, menghindari bau yang menyerang hidungnya. ”Memangnya lu enggak punya payung?””Ngapain lu tanya-tanya?!” bentak Markun sambil menyentuh payung. ”Sini payung lu!” ”Jangaaa…an!” ”Sini!” ”Enggak!” Markun mencoba merenggut payung itu. Tenaganya yang besar menyeret tubuh Dian yang tetap memeluk payung. Markun melepas sebelah tangannya pada batang payung dan melayangkannya pada pipi Dian. Plak! Plak! ”Rasain lu!” ”Aaaa….!” Buk! Markun mendorong Dian sekuat tenaga ke tembok. Payung terlepas dari tangan Dian. Punggung Dian membentur tembok. Sakit. Matanya mendadak panas oleh desakan air mata yang siap-siap tercurah. Sandal jepitnya putus. Markun tak membuang waktu. Sebentar lagi hujan turun. Dengan gesit ia berlari. Tujuannya adalah halte bus di dekat jembatan. Di sana rezeki musim hujan menunggu. Lembaran-lembaran seribu rupiah akan berpindah tangan. Siapa cepat, siapa dapat. Siapa yang rajin, siapa yang kuat, akan menuai lembaran rupiah terbanyak. Dian membuang sandal jepitnya. Telapak kakinya perih, mungkin tergesek kerikil saat tadi Markun mendorongnya kuat-kuat dan menginjak sandalnya. Gagal pekerjaan hari ini. Ia tak memercayai Markun akan mengembalikan payungnya nanti. Seandainya dikembalikan, payungnya mungkin sobek atau patah, tak akan selamat dari kejahilan Markun. Mendadak Dian teringat Diyon. Biskuit dan susu. Satrio dan teman-teman. Payung-payung tambahan. Pasukan Biru. Hatinya sakit. ”Bangsaaat….at!” Lidahnya yang tadi kelu tiba-tiba lantang memaki. Mendengar teriakan itu, Markun menengok dan mengacungkan tinjunya. Lalu, ia melanjutkan larinya. Kilat menyambar-nyambar. Guntur menggelegar di langit yang makin menghitam. Seorang gadis di tepi jalan menjerit sambil menutup telinganya. Terkejut oleh suara guntur, sekaligus karena Dian yang berlari seperti kesetanan dan hampir menabraknya. Markun pun berlari dengan lincah, meliuk-liukkan pinggangnya untuk menghindari tabrakan dengan manusia lain yang berjalan bergegas karena khawatir hujan segera turun. Cepat sekali larinya. Entah, karena dia mendadak takut pada Dian yang mengamuk seperti kesurupan karena memburu waktu, atau karena dia tak mau membuat keributan di pinggir jalan yang mulai padat. Markun pernah diciduk Satpol PP saat tawuran. Ciiiitttt…..!!! Sebuah mobil pikap hitam mendadak mengerem, nyaris menghantam tubuh Markun di belokan pagar beton yang membatasi bantar kali dengan jalan raya. Markun berhenti mendadak dan hampir jatuh karena sandal jepitnya yang tiba-tiba putus. Ia melepas sandalnya dan terus berlari. ”Mampus lu!” Si pengemudi berteriak membentak Markun. Markun tak peduli. Ia terus berlari. Keterkejutan menahan langkah Dian. Ia membiarkan pikap itu lewat memutar di hadapannya. Mendadak tubuhnya terasa lemas. Sebagian kemarahannya berganti kesedihan. Tetesan air hujan pertama jatuh di kening Dian, diikuti tetesan lain yang semakin banyak. Air tumpah ruah dari langit, menyamarkan air mata yang juga mengucur deras. Pandangan Dian menjadi kabur. Semangatnya mendadak runtuh. Markun menghilang. Tak ada gunanya berteduh. Dian menyeberangi jalan raya yang semakin padat. Tak ada Markun di jembatan, berarti ia mengojek payung di tempat lain. Di jembatan terlihat Bono, dengan rambut yang tertutup bandana kuning yang sudah basah, sedang sibuk menawarkan payungnya. Terduduk di median yang lengang. Dian membenamkan wajah di antara kedua lututnya, menghindari tetes hujan yang membuat pipinya pedih. Matanya telah kering oleh air mata. Hanya air hujan yang terus menderas. Dian menutup mata dan telinganya. Lamat-lamat suara klakson kendaraan terdengar berganti-ganti, seolah berasal dari tempat yang jauh. Dian merasa dirinya mandi di bawah pancuran air bergagang putih. Di sekelilingnya, dinding dan lantai keramik yang juga serba putih, seperti dalam iklan sabun mandi yang sering ia lihat di televisi. Hatinya kemudian mendingin dalam tubuh yang menggigil. Di hadapannya, mobil-mobil bergerak tersendat.