Dani sedang antusias membaca-baca tentang Indonesia di Wikipedia bebas bahasa Inggris melalui komputer rumahnya. Belakangan cara seperti ini menjadi metode baru belajar Leno untuk belajar ganda; mulai dari belajar bahasa Inggris, belajar bahasa Indonesia sekaligus belajar kewarganegaraan dan lain sebagainya. Teman barunya, Leno; seorang keturunan Cina, yang mengajarinya metode ini. "He, he, enak ya kalau belajar macam ini?" tanya Leno di sampingnya, dengan logat Cina yang kental. Dani mengangguk saja. "Ya... lebih modern dan lebih memperkaya wawasan..." Leno meminum Milo kalengnya sampai habis. "Elu bisa liat di peta yang terpampang itu, kan? Betapa luasnya negara kita dari timur sampai ke barat? Sehingga negara kita memiliki garis pantai terpanjang di dunia?" "Betul juga elu," Dani memasang logat Betawi kakeknya. "Karena negara kita ini menjadi negara yang sangat besar, tak heran kita jadi memiliki begitu banyak suku bangsa..." "Terutama di kawasan timur Indonesia seperti Papua," mendadak saudari kembar Dani, Fani, datang menghampiri. "Menurut gue, kawasan timur Indonesia sampai sekarang seperti masih menunggu kita-kita buat menggali harta karun yang ada di dalamnya..." "Betul itu!" sambut Dani. "Sebenarnya gak cuman di sana aja sih, Fan. Masih ada lagi orang-orang luar Pulau Jawa ini yang lainnya..." "Orang-orang luar Pulau Jawa ini," Leno meletakkan kaleng Milo-nya, "punya sebuah keyakinan sekaligus tradisi, yang kuat. Lebih-lebih orang-orang di Sumatra; yang acapkali suku bangsanya sering kali kita sebut sebagai Batak serta Minang, yang masih memiliki tradisi memelihara nama marga..." "Maksud Len tradisi merantau, bukan?" sambar Fani. "Orang-orang dari Sumatra tersebut, lebih-lebih lelakinya; sebenarnya malu kalau tidak merantau dari luar kampung halaman. Maka dari itu banyak sekali orang Minang yang merantau dan sukses di perantauan, bukan?" "Juga orang-orang Batak yang akhirnya bermukim di Pulau Jawa ini dan banyak membuka warung di sini, kan?" Dani tiba-tiba teringat kedua tetangganya yang kebetulan membuka warung, dan acapkali dipanggil Om-Tante Batak agar lebih gampang diingat. "Betul banget," Leno terkikik, teringat cara bicara pasangan suami-istri Batak Situmorang tersebut, "aku suka cara bicara mereka!" "Yah... tiap-tiap orang di Indonesia punya logat dan cara bicara mereka sendiri-sendiri yang khas..." Dani teringat kakeknya, si pembuat kue rangi khas Betawi. "Sehingga masing-masing dari kita benar-benar unik!" "Dan perlu cara berkomunikasi yang tepat antara satu dengan yang lain... Elu masih ingat, yang waktu Safira dari Banyumas meminta pinjam rautan ke elu..tapi elu ngiranya pensil, jadi elu malah ngasih pensil?" tanya Leno pada Dani. Dani cengengesan. "Atau waktu elu minta ke Tante Batak untuk membeli sekilo terigu, tapi Tante Batak malah ngira elu membeli 3 bungkus garam!" balas Dani. "Kita sepertinya hidup di dunia yang terlalu kompleks," tawa Fani. "Uniknya Indonesia ini!"
Dani sedang antusias membaca-baca tentang Indonesia di Wikipedia bebas bahasa Inggris melalui komputer rumahnya. Belakangan cara seperti ini menjadi metode baru belajar Leno untuk belajar ganda; mulai dari belajar bahasa Inggris, belajar bahasa Indonesia sekaligus belajar kewarganegaraan dan lain sebagainya. Teman barunya, Leno; seorang keturunan Cina, yang mengajarinya metode ini.
"He, he, enak ya kalau belajar macam ini?" tanya Leno di sampingnya, dengan logat Cina yang kental. Dani mengangguk saja. "Ya... lebih modern dan lebih memperkaya wawasan..."
Leno meminum Milo kalengnya sampai habis. "Elu bisa liat di peta yang terpampang itu, kan? Betapa luasnya negara kita dari timur sampai ke barat? Sehingga negara kita memiliki garis pantai terpanjang di dunia?"
"Betul juga elu," Dani memasang logat Betawi kakeknya. "Karena negara kita ini menjadi negara yang sangat besar, tak heran kita jadi memiliki begitu banyak suku bangsa..."
"Terutama di kawasan timur Indonesia seperti Papua," mendadak saudari kembar Dani, Fani, datang menghampiri. "Menurut gue, kawasan timur Indonesia sampai sekarang seperti masih menunggu kita-kita buat menggali harta karun yang ada di dalamnya..."
"Betul itu!" sambut Dani. "Sebenarnya gak cuman di sana aja sih, Fan. Masih ada lagi orang-orang luar Pulau Jawa ini yang lainnya..."
"Orang-orang luar Pulau Jawa ini," Leno meletakkan kaleng Milo-nya, "punya sebuah keyakinan sekaligus tradisi, yang kuat. Lebih-lebih orang-orang di Sumatra; yang acapkali suku bangsanya sering kali kita sebut sebagai Batak serta Minang, yang masih memiliki tradisi memelihara nama marga..."
"Maksud Len tradisi merantau, bukan?" sambar Fani. "Orang-orang dari Sumatra tersebut, lebih-lebih lelakinya; sebenarnya malu kalau tidak merantau dari luar kampung halaman. Maka dari itu banyak sekali orang Minang yang merantau dan sukses di perantauan, bukan?"
"Juga orang-orang Batak yang akhirnya bermukim di Pulau Jawa ini dan banyak membuka warung di sini, kan?" Dani tiba-tiba teringat kedua tetangganya yang kebetulan membuka warung, dan acapkali dipanggil Om-Tante Batak agar lebih gampang diingat.
"Betul banget," Leno terkikik, teringat cara bicara pasangan suami-istri Batak Situmorang tersebut, "aku suka cara bicara mereka!"
"Yah... tiap-tiap orang di Indonesia punya logat dan cara bicara mereka sendiri-sendiri yang khas..." Dani teringat kakeknya, si pembuat kue rangi khas Betawi. "Sehingga masing-masing dari kita benar-benar unik!"
"Dan perlu cara berkomunikasi yang tepat antara satu dengan yang lain... Elu masih ingat, yang waktu Safira dari Banyumas meminta pinjam rautan ke elu..tapi elu ngiranya pensil, jadi elu malah ngasih pensil?" tanya Leno pada Dani. Dani cengengesan.
"Atau waktu elu minta ke Tante Batak untuk membeli sekilo terigu, tapi Tante Batak malah ngira elu membeli 3 bungkus garam!" balas Dani.
"Kita sepertinya hidup di dunia yang terlalu kompleks," tawa Fani. "Uniknya Indonesia ini!"
SEMOGA MEMBANTU~