Bagaimana tata cara pelantikan dpr,mpr,dan presiden?
Rafliyusman
Tata cara pelantikan presiden dan wakil presiden yang diatur dalam Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat berpotensi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu. Anggota MPR dari Fraksi PDI-P, Rieke Diah Pitaloka, mengatakan, potensi itu antara lain ada di poin 4-7 Pasal 114 Tata Tertib MPR. Dalam poin 4 disebutkan, pelantikan presiden dan wakil presiden dilakukan dengan bersumpah menurut agama atau berjanji dengan bersungguh-sungguh di hadapan sidang paripurna MPR. Jika MPR tidak dapat menyelenggarakan sidang, presiden dan wakil presiden bersumpah dan dilantik di hadapan rapat paripurna DPR. Jika DPR tidak bisa bersidang, presiden bersumpah dan dilantik oleh pimpinan MPR dan disaksikan oleh Mahkamah Agung. "Kalau pimpinan MPR tidak bisa datang, bagaimana? Apakah cukup dilantik di depan Mahkamah Agung seperti zaman Pak Habibie dulu?" tanya Rieke dalam sidang paripurna MPR di Jakarta, Senin (29/9/2014). "Namanya politik bisa ditekuk, bisa dibuat tidak kuorum juga (sidang paripurna). Mudah-mudahan tidak perlu ada insiden," tambah Eva Kusuma Sundari, anggota MPR dari Fraksi PDI-P.
Namun, Ketua Panitia Ad Hoc I MPR (yang bertugas membahas Tatib MPR) Daryatmo Mardiyanto mengatakan, pasal tersebut tidak perlu dikhawatirkan. Ia malah meminta semua pihak berdoa agar pelantikan presiden 20 Oktober berjalan dengan lancar.
Ketua MPR Sidarto Danusubroto yang memimpin sidang menyatakan, substansi tatib tidak bisa diubah karena semua fraksi sudah membacakan pandangan dan menyetujuinya.
Selain mengesahkan tatib, sidang paripurna yang dihadiri 456 dari 692 anggota MPR itu juga memutuskan, MPR akan membentuk badan sosialisasi, pengkajian, dan anggaran sebagai bagian dari alat kelengkapan.
"Dengan adanya badan tersebut, MPR diberi tugas melakukan pengkajian dan penguatan Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, ketetapan MPR, mengkaji sistem ketatanegaraan, dan menyerap aspirasi rakyat," kata Daryatmo. Rekomendasi
Dalam rapat itu, MPR juga merumuskan tujuh rekomendasi untuk periode selanjutnya. Panitia Ad Hoc II, M Jafar Hafsah, mengatakan, rekomendasi itu antara lain perubahan UUD 1945 dengan tetap berdasarkan Pancasila; penguatan MPR sebagai lembaga tertinggi dalam mengubah, menetapkan, dan menafsirkan UUD 1945; menguatkan wewenang DPD; serta penyederhanaan sistem kepartaian.
"Itu semua hanya rekomendasi berdasarkan hasil kajian tim kerja kajian sistem ketatanegaraan Indonesia. Pelaksanaannya bergantung anggota MPR mendatang,"
1 votes Thanks 1
manismanis952
Tata cara pelantikan presiden dan wakil presiden yang diatur dalam Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat berpotensi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu. Anggota MPR dari Fraksi PDI-P, Rieke Diah Pitaloka, mengatakan, potensi itu antara lain ada di poin 4-7 Pasal 114 Tata Tertib MPR. Dalam poin 4 disebutkan, pelantikan presiden dan wakil presiden dilakukan dengan bersumpah menurut agama atau berjanji dengan bersungguh-sungguh di hadapan sidang paripurna MPR. Jika MPR tidak dapat menyelenggarakan sidang, presiden dan wakil presiden bersumpah dan dilantik di hadapan rapat paripurna DPR. Jika DPR tidak bisa bersidang, presiden bersumpah dan dilantik oleh pimpinan MPR dan disaksikan oleh Mahkamah Agung. "Kalau pimpinan MPR tidak bisa datang, bagaimana? Apakah cukup dilantik di depan Mahkamah Agung seperti zaman Pak Habibie dulu?" tanya Rieke dalam sidang paripurna MPR di Jakarta, Senin (29/9/2014). "Namanya politik bisa ditekuk, bisa dibuat tidak kuorum juga (sidang paripurna). Mudah-mudahan tidak perlu ada insiden," tambah Eva Kusuma Sundari, anggota MPR dari Fraksi PDI-P.
Namun, Ketua Panitia Ad Hoc I MPR (yang bertugas membahas Tatib MPR) Daryatmo Mardiyanto mengatakan, pasal tersebut tidak perlu dikhawatirkan. Ia malah meminta semua pihak berdoa agar pelantikan presiden 20 Oktober berjalan dengan lancar.
Ketua MPR Sidarto Danusubroto yang memimpin sidang menyatakan, substansi tatib tidak bisa diubah karena semua fraksi sudah membacakan pandangan dan menyetujuinya.
Selain mengesahkan tatib, sidang paripurna yang dihadiri 456 dari 692 anggota MPR itu juga memutuskan, MPR akan membentuk badan sosialisasi, pengkajian, dan anggaran sebagai bagian dari alat kelengkapan.
"Dengan adanya badan tersebut, MPR diberi tugas melakukan pengkajian dan penguatan Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, ketetapan MPR, mengkaji sistem ketatanegaraan, dan menyerap aspirasi rakyat," kata Daryatmo. Rekomendasi
Dalam rapat itu, MPR juga merumuskan tujuh rekomendasi untuk periode selanjutnya. Panitia Ad Hoc II, M Jafar Hafsah, mengatakan, rekomendasi itu antara lain perubahan UUD 1945 dengan tetap berdasarkan Pancasila; penguatan MPR sebagai lembaga tertinggi dalam mengubah, menetapkan, dan menafsirkan UUD 1945; menguatkan wewenang DPD; serta penyederhanaan sistem kepartaian.
"Itu semua hanya rekomendasi berdasarkan hasil kajian tim kerja kajian sistem ketatanegaraan Indonesia. Pelaksanaannya bergantung anggota MPR mendatang,"
Namun, Ketua Panitia Ad Hoc I MPR (yang bertugas membahas Tatib MPR) Daryatmo Mardiyanto mengatakan, pasal tersebut tidak perlu dikhawatirkan. Ia malah meminta semua pihak berdoa agar pelantikan presiden 20 Oktober berjalan dengan lancar.
Ketua MPR Sidarto Danusubroto yang memimpin sidang menyatakan, substansi tatib tidak bisa diubah karena semua fraksi sudah membacakan pandangan dan menyetujuinya.
Selain mengesahkan tatib, sidang paripurna yang dihadiri 456 dari 692 anggota MPR itu juga memutuskan, MPR akan membentuk badan sosialisasi, pengkajian, dan anggaran sebagai bagian dari alat kelengkapan.
"Dengan adanya badan tersebut, MPR diberi tugas melakukan pengkajian dan penguatan Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, ketetapan MPR, mengkaji sistem ketatanegaraan, dan menyerap aspirasi rakyat," kata Daryatmo.
Rekomendasi
Dalam rapat itu, MPR juga merumuskan tujuh rekomendasi untuk periode selanjutnya. Panitia Ad Hoc II, M Jafar Hafsah, mengatakan, rekomendasi itu antara lain perubahan UUD 1945 dengan tetap berdasarkan Pancasila; penguatan MPR sebagai lembaga tertinggi dalam mengubah, menetapkan, dan menafsirkan UUD 1945; menguatkan wewenang DPD; serta penyederhanaan sistem kepartaian.
"Itu semua hanya rekomendasi berdasarkan hasil kajian tim kerja kajian sistem ketatanegaraan Indonesia. Pelaksanaannya bergantung anggota MPR mendatang,"
Namun, Ketua Panitia Ad Hoc I MPR (yang bertugas membahas Tatib MPR) Daryatmo Mardiyanto mengatakan, pasal tersebut tidak perlu dikhawatirkan. Ia malah meminta semua pihak berdoa agar pelantikan presiden 20 Oktober berjalan dengan lancar.
Ketua MPR Sidarto Danusubroto yang memimpin sidang menyatakan, substansi tatib tidak bisa diubah karena semua fraksi sudah membacakan pandangan dan menyetujuinya.
Selain mengesahkan tatib, sidang paripurna yang dihadiri 456 dari 692 anggota MPR itu juga memutuskan, MPR akan membentuk badan sosialisasi, pengkajian, dan anggaran sebagai bagian dari alat kelengkapan.
"Dengan adanya badan tersebut, MPR diberi tugas melakukan pengkajian dan penguatan Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, ketetapan MPR, mengkaji sistem ketatanegaraan, dan menyerap aspirasi rakyat," kata Daryatmo.
Rekomendasi
Dalam rapat itu, MPR juga merumuskan tujuh rekomendasi untuk periode selanjutnya. Panitia Ad Hoc II, M Jafar Hafsah, mengatakan, rekomendasi itu antara lain perubahan UUD 1945 dengan tetap berdasarkan Pancasila; penguatan MPR sebagai lembaga tertinggi dalam mengubah, menetapkan, dan menafsirkan UUD 1945; menguatkan wewenang DPD; serta penyederhanaan sistem kepartaian.
"Itu semua hanya rekomendasi berdasarkan hasil kajian tim kerja kajian sistem ketatanegaraan Indonesia. Pelaksanaannya bergantung anggota MPR mendatang,"