Bagaimana proses pengembangan agama konghucu di indonesia
wulannyunnita
Tidak seperti agama-agama lain yang bersifat agresif dalam usahanya mendapatkan banyak pemeluk, agama Khonghucu lebih menekankan pada sikap membina diri sendiri (dan menghindari sikap menuntut orang lain). Karena itulah perkembangan agama Khonghucu (terutama perihal penyebaran ajaran maupun perkembangan jumlah penganutnya) agak sulit dilacak dengan pasti. Dalam agama lain seperti Islam, Kristen, Buddha dan lain-lain yang umatnya gampang dikenali hanya dengan suatu ‘sumpah masuk agama’ misalnya pembaptisan di agama Kristen dan pembacaan kalimat syahadat di agama Islam, maka seorang penganut agama Khonghucu tulen sangat sulit untuk dikenali karena ‘Kekhonghucuan’ mereka diukur dalam perbuatan dan tingkah laku mereka sepanjang hidupnya. Karena itulah seorang penganut agama Khonghucu semasa hidupnya tidak ‘berani’ menyebut dirinya sebagai penganut agama Khonghucu karena hal ini akan dinilai sendiri oleh generasi-generasi sesudahnya. Perkembangan umat agama Khonghucu mulai disorot dan banyak ditelaah setelah masuknya agama Kristen ke Tiongkok yang dengan agresifnya mencari penganut baru dan mendesak penganut agama Khonghucu. Awalnya misionaris Kristen yang pertama kali masuk ke Tiongkok mengakui bahwa di Tiongkok telah ada agama ‘asli’ (yakni agama Khonghucu) yang lengkap dengan tata cara ibadah yang sangat jauh berbeda dengan agama kristen yang mereka anut. Tapi karena tujuan utama para misionaris Kristen ini adalah mengkristenkan Tiongkok, maka dimulailah segala upaya termasuk menghalalkan segala cara untuk mengalahkan agama asli ini dan bila perlu ‘memusnahkan’ keberadaan mereka dengan jalan mendiskreditkan mereka sebagai ‘aliran filsafat’ belaka dan bukanlah ajaran agama. Adapun alasan mengapa ajaran agama Khonghucu ini tidak dimusnahkan sama sekali adalah karena mereka tidak bisa mengingkari bahwa ada nilai-nilai universal dalam ajaran agama Khonghucu yang bahkan mengilhami banyak cendekiawan Eropa untuk mengadakan pembaharuan di Eropa sendiri. Bahkan Gereja Katolik Roma sampai secara resmi mengakui Kong Zi sebagai salah seorang Santo seakan Beliau pernah berjasa bagi agama Katolik. Adanya upaya agresif kaum Kristen inilah yang mendorong ‘kebangkitan’ agama Khonghucu untuk menghadapinya (walaupun tidak sampai menghalalkan segala cara termasuk menipu, memfitnah dan sebagainya) sesuai dengan tradisi agama Khonghucu itu sendiri. Kebangkitan agama Khonghucu di Tiongkok (yang ketiga) sebenarnya dimulai oleh Zeng Guofan dan berpuncak pada gerakan reformasi yang digagas oleh Kang Youwei. Tapi seiring dengan gagalnya Reformasi 100 hari itu, dapat dikatakan kebangkitan agama Khonghucu di Tiongkok mengalami kegagalan dan baru sedikit tergugah kembali (walaupun dalam skala kecil) dengan slogan-slogan yang diucapkan Deng Xiaoping pada akhir tahun 1970-an. Sebaliknya kebangkitan agama Khonghucu di Indonesia justru merupakan yang pertama kalinya dan sampai kini terus bergulat mencari jati dirinya. Sulit untuk menyebutkan secara pasti kapan agama Khonghucu pertama kali dibawa dari Tiongkok ke Indonesia. Seperti diuraikan diatas, ajaran agama Khonghucu tidak disebarkan secara agresif seperti halnya agama lain (terutama dari Timur Tengah). Ajaran agama Khonghucu diwariskan dari generasi ke generasi melalui bimbingan keluarga dimana seorang ayah akan memberikan teladan perbuatan kepada anaknya dan begitu seterusnya sang anak mewariskannya kepada cucunya. Karena alasan inilah agama Khonghucu yang ‘terbawa’ ke Indonesia sudah bercampur baur dengan ajaran agama Buddha dan agama Dao. Seperti kata-kata Xun Zi, “Dalam hal penyajian makanan kepada orang yang sudah meninggal, seorang susilawan (penganut agama Khonghucu) menganggapnya sebagai perwujudan Laku Bakti dan penghalusan Kesusilaan seorang manusia, sebaliknya orang awam (masyarakat kebanyakan) menganggapnya berhubungan dengan roh-roh ataupun hal-hal takhayul lainnya.” Orang-orang Tiongkok yang merantau hingga ke Indonesia mewakili banyak golongan. Semula mungkin hanya pedagang yang suka tantangan yang berani berlayar hingga ke Indonesia, tapi ada suatu masa dimana karena alasan politik, mereka kabur dari Tiongkok dan menyelamatkan diri ke Indonesia.
11 votes Thanks 23
ameera
Pengakuan agama Khonghucu di Indonesia sebenarnya sudah diakui sejak jauh sebelum masa reformasi di mulai yaitu dengan adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 yang mengakui adanya enam agama di Indonesia yaitu: Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Pengaturan dalam Undang-Undang ini sama dengan Penetapan Presiden Nomor 1. Pn. Ps. Tahun 1965 yang mengakui enam agama.Diskriminasi umat Konghuchu mulai dirasakan dengan diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Selain itu terbut Instruksi Presiden Nomor 1470/1978 yang berisi bahwa pemerintah hanya mengakui lima agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Artinya bahwa Khonghucu yang berdasarkan sensus 1976 dianut oleh sejuta orang bukanlah agama yang diakui oleh pemerintah. Kebijakan tersebut membuat hak-hak sipil penganut Khonghucu dibatasi. Perayaan keagamaan di gedung dan fasilitas publik dilarang. Hari raya Imlek tidak dimasukkan dalam hari besar di Indonesia, Dari segi pendidikan, sekolah di bawah yayasan Khonghucu tidak boleh mengajarkan pelajaran agama Khonghucu. Pernikahan di antara umat Khonghucu tidak dicatat oleh Kantor Catatan Sipil.Pada zaman orde baru Soeharto melaranga segala bentuk aktivitas berbau kebudayaaan dan tradisi Tionghoa di Indonesia. Ini menyebabkan banyak pemeluk kepercayaan tradisional Tionghoa menjadi tidak berstatus sebagai pemeluk salah satu dari 5 agama yang diakui. Untuk menghindari permasalahan politis (dituduh sebagai atheis dan komunit (tak memiliki agama), pemeluk kepercayaan tadi kemudian diharuskan untuk memeluk salah satu agama yg diakui, sebagaimana pengalaman pancasila sila ke 1 ,mayoritas mereka menjadi pemeluk agama Kristen dan Budha. Klenteng yang merupakan tempat ibadah kepercayaan tradisional Tionghoa juga terpaksa mengubah nama dan menaungkan diri menjadi vihara yang merupakan tempat ibadah agama Buddha
Pada zaman orde refomarsi , kebebasan beragama indonesia mengalami kemajuan yg berarti, pemeluk kepercayaan tradisional Tionghoa mulai mendapatkan kembali pengakuan atas identitas mereka sejak UU No 1/Pn.Ps/1965 yang menyatakan bahwa agama-agama yang banyak pemeluknya di Indonesia antara lain Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha dan Khonghucu. yang mengesahkan agama khonghucu menjadi agama yg diakui ke 6 yaitu Gus Dur
Dalam agama lain seperti Islam, Kristen, Buddha dan lain-lain yang umatnya gampang dikenali hanya dengan suatu ‘sumpah masuk agama’ misalnya pembaptisan di agama Kristen dan pembacaan kalimat syahadat di agama Islam, maka seorang penganut agama Khonghucu tulen sangat sulit untuk dikenali karena ‘Kekhonghucuan’ mereka diukur dalam perbuatan dan tingkah laku mereka sepanjang hidupnya. Karena itulah seorang penganut agama Khonghucu semasa hidupnya tidak ‘berani’ menyebut dirinya sebagai penganut agama Khonghucu karena hal ini akan dinilai sendiri oleh generasi-generasi sesudahnya.
Perkembangan umat agama Khonghucu mulai disorot dan banyak ditelaah setelah masuknya agama Kristen ke Tiongkok yang dengan agresifnya mencari penganut baru dan mendesak penganut agama Khonghucu. Awalnya misionaris Kristen yang pertama kali masuk ke Tiongkok mengakui bahwa di Tiongkok telah ada agama ‘asli’ (yakni agama Khonghucu) yang lengkap dengan tata cara ibadah yang sangat jauh berbeda dengan agama kristen yang mereka anut.
Tapi karena tujuan utama para misionaris Kristen ini adalah mengkristenkan Tiongkok, maka dimulailah segala upaya termasuk menghalalkan segala cara untuk mengalahkan agama asli ini dan bila perlu ‘memusnahkan’ keberadaan mereka dengan jalan mendiskreditkan mereka sebagai ‘aliran filsafat’ belaka dan bukanlah ajaran agama.
Adapun alasan mengapa ajaran agama Khonghucu ini tidak dimusnahkan sama sekali adalah karena mereka tidak bisa mengingkari bahwa ada nilai-nilai universal dalam ajaran agama Khonghucu yang bahkan mengilhami banyak cendekiawan Eropa untuk mengadakan pembaharuan di Eropa sendiri. Bahkan Gereja Katolik Roma sampai secara resmi mengakui Kong Zi sebagai salah seorang Santo seakan Beliau pernah berjasa bagi agama Katolik.
Adanya upaya agresif kaum Kristen inilah yang mendorong ‘kebangkitan’ agama Khonghucu untuk menghadapinya (walaupun tidak sampai menghalalkan segala cara termasuk menipu, memfitnah dan sebagainya) sesuai dengan tradisi agama Khonghucu itu sendiri.
Kebangkitan agama Khonghucu di Tiongkok (yang ketiga) sebenarnya dimulai oleh Zeng Guofan dan berpuncak pada gerakan reformasi yang digagas oleh Kang Youwei. Tapi seiring dengan gagalnya Reformasi 100 hari itu, dapat dikatakan kebangkitan agama Khonghucu di Tiongkok mengalami kegagalan dan baru sedikit tergugah kembali (walaupun dalam skala kecil) dengan slogan-slogan yang diucapkan Deng Xiaoping pada akhir tahun 1970-an.
Sebaliknya kebangkitan agama Khonghucu di Indonesia justru merupakan yang pertama kalinya dan sampai kini terus bergulat mencari jati dirinya. Sulit untuk menyebutkan secara pasti kapan agama Khonghucu pertama kali dibawa dari Tiongkok ke Indonesia. Seperti diuraikan diatas, ajaran agama Khonghucu tidak disebarkan secara agresif seperti halnya agama lain (terutama dari Timur Tengah). Ajaran agama Khonghucu diwariskan dari generasi ke generasi melalui bimbingan keluarga dimana seorang ayah akan memberikan teladan perbuatan kepada anaknya dan begitu seterusnya sang anak mewariskannya kepada cucunya.
Karena alasan inilah agama Khonghucu yang ‘terbawa’ ke Indonesia sudah bercampur baur dengan ajaran agama Buddha dan agama Dao. Seperti kata-kata Xun Zi, “Dalam hal penyajian makanan kepada orang yang sudah meninggal, seorang susilawan (penganut agama Khonghucu) menganggapnya sebagai perwujudan Laku Bakti dan penghalusan Kesusilaan seorang manusia, sebaliknya orang awam (masyarakat kebanyakan) menganggapnya berhubungan dengan roh-roh ataupun hal-hal takhayul lainnya.”
Orang-orang Tiongkok yang merantau hingga ke Indonesia mewakili banyak golongan. Semula mungkin hanya pedagang yang suka tantangan yang berani berlayar hingga ke Indonesia, tapi ada suatu masa dimana karena alasan politik, mereka kabur dari Tiongkok dan menyelamatkan diri ke Indonesia.
Pada zaman orde refomarsi , kebebasan beragama indonesia mengalami kemajuan yg berarti, pemeluk kepercayaan tradisional Tionghoa mulai mendapatkan kembali pengakuan atas identitas mereka sejak UU No 1/Pn.Ps/1965 yang menyatakan bahwa agama-agama yang banyak pemeluknya di Indonesia antara lain Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha dan Khonghucu. yang mengesahkan agama khonghucu menjadi agama yg diakui ke 6 yaitu Gus Dur