Kesepakatan antara Sultan Akbar II dengan East India Company (EIC) pada awalnya terjadi melalui Perjanjian Amiens pada tahun 1802. Dalam perjanjian tersebut, Sultan Akbar II setuju untuk memberikan hak perdagangan kepada EIC di wilayah-wilayah Hindustan yang dikuasainya. EIC pada saat itu merupakan perusahaan dagang Inggris yang memonopoli perdagangan rempah-rempah dan barang-barang lain di wilayah India.
Namun pada tahun 1803, terjadi kerusuhan antara EIC dan tentara Sultan Akbar II di wilayah Delhi. Meskipun akhirnya kekuasaan Delhi jatuh ke tangan EIC, Sultan Akbar II tetap diakui sebagai pemimpin pemerintahan lokal. Melalui perjanjian-perjanjian selanjutnya, Sultan Akbar II memberikan hak perdagangan dan pajak kepada EIC di wilayah-wilayah yang dikuasainya, dan EIC memberikan perlindungan terhadap keamanan dan integritas wilayah kerajaan. Selain itu, EIC juga memiliki kekuasaan untuk membangun dan mengelola pelabuhan dan infrastruktur publik di wilayah kerajaan.
Namun, hubungan antara Sultan Akbar II dan EIC tidak berjalan mulus karena terdapat perbedaan pendapat mengenai perlakuan terhadap orang India. EIC cenderung mengutamakan kepentingan ekonomi mereka sendiri sementara Sultan Akbar II merasa bahwa EIC tidak menghormati kebudayaan, adat, dan agama masyarakat India. Beberapa bentrokan kecil terjadi antara EIC dan pihak lokal di wilayah India sebagai akibat dari interpretasi yang berbeda terhadap perjanjian-perjanjian yang telah disepakati.
Pada akhirnya, pengaruh EIC di wilayah India semakin besar dan meluas, sehingga pada tahun 1857 terjadi pemberontakan yang dikenal dengan sebutan Pemberontakan Sepoy. Pemberontakan tersebut melawan kekuasaan Inggris di wilayah India dan didukung oleh Sultan yang merasa dirugikan oleh kebijakan EIC. Pemberontakan tersebut akhirnya berhasil dipadamkan oleh Inggris dan menyebabkan hilangnya kekuasaan dinasti Mughal di India.
Jawaban:
Kesepakatan antara Sultan Akbar II dengan East India Company (EIC) pada awalnya terjadi melalui Perjanjian Amiens pada tahun 1802. Dalam perjanjian tersebut, Sultan Akbar II setuju untuk memberikan hak perdagangan kepada EIC di wilayah-wilayah Hindustan yang dikuasainya. EIC pada saat itu merupakan perusahaan dagang Inggris yang memonopoli perdagangan rempah-rempah dan barang-barang lain di wilayah India.
Namun pada tahun 1803, terjadi kerusuhan antara EIC dan tentara Sultan Akbar II di wilayah Delhi. Meskipun akhirnya kekuasaan Delhi jatuh ke tangan EIC, Sultan Akbar II tetap diakui sebagai pemimpin pemerintahan lokal. Melalui perjanjian-perjanjian selanjutnya, Sultan Akbar II memberikan hak perdagangan dan pajak kepada EIC di wilayah-wilayah yang dikuasainya, dan EIC memberikan perlindungan terhadap keamanan dan integritas wilayah kerajaan. Selain itu, EIC juga memiliki kekuasaan untuk membangun dan mengelola pelabuhan dan infrastruktur publik di wilayah kerajaan.
Namun, hubungan antara Sultan Akbar II dan EIC tidak berjalan mulus karena terdapat perbedaan pendapat mengenai perlakuan terhadap orang India. EIC cenderung mengutamakan kepentingan ekonomi mereka sendiri sementara Sultan Akbar II merasa bahwa EIC tidak menghormati kebudayaan, adat, dan agama masyarakat India. Beberapa bentrokan kecil terjadi antara EIC dan pihak lokal di wilayah India sebagai akibat dari interpretasi yang berbeda terhadap perjanjian-perjanjian yang telah disepakati.
Pada akhirnya, pengaruh EIC di wilayah India semakin besar dan meluas, sehingga pada tahun 1857 terjadi pemberontakan yang dikenal dengan sebutan Pemberontakan Sepoy. Pemberontakan tersebut melawan kekuasaan Inggris di wilayah India dan didukung oleh Sultan yang merasa dirugikan oleh kebijakan EIC. Pemberontakan tersebut akhirnya berhasil dipadamkan oleh Inggris dan menyebabkan hilangnya kekuasaan dinasti Mughal di India.