Jungang
Barangkali bahwa sejarah itu sebagai ilmu dan seni tidak perlu kita ributkan lagi. Bahwa sejarah sebagai ilmu sudah jelas dasarnya, karena sejarah itu empiris, mempunyai objek, mempunyai teori, dan ada generalisasi. Sedangkan sejarah dikatakan seni karena sejarah perlu intuisi, imajinasi, emosi, dan gaya bahasa. Justru dari sinilah sebenarnya kita bisa membuat improvisasi pembelajaran sejarah yang selama ini terkesan kering dan membosankan. Tentunya tidak bisa dipungkiri bahwa ada juga guru-guru yang kreatif, tetapi bisa kita hitung dengan jari. Dengan demikian, bahwa mendekatkan seni dalam pembelajaran sejarah sebenarnya sesuatu yang hukumnya wajib. Apa dasarnya? Pertama, bahwa mengajar dalam konsep yang lebih luas adalah mendidik. Mendidik itu adalah ilmu dan seni, jadi kalau mendidik tanpa seni, dipastikan guru tersebut tak bakal berhasil. Kedua, belajar melalui seni akan lebih baik bagi pengembangan otak anak. Mengapa? Sebab selama ini pembelajaran sejarah pada anak-anak kita terpaku menggunakan otak kiri seperti menghapal, mendefinisikan, dan sebaganya. Otak kanan mereka seperti dalam berimajinasi, berimprovisasi, lebih banyak diistirahatkan dari pada dioptimalkan. Kesan sebagian masyarakat selama ini adalah bahwa pengembangan IQ itu yang terpenting. Padahal menurut berbagai survei bahwa EQ itulah yang paling besar peranannya dalam mengantar keberhasilan individu. Melalui latihan seni itulah kita bisa mengembangkan EQ. Ketiga, seni itu menyenangkan, sebab filsafat estetika itu akan menghasilkan kesimpulan indah dan jelek, dan pasti seni yang kita nikmati adalah yang indah. Sementara keindahan akan menunculkan kesenangan, dan kesenangan akan menyebabkan siswa betah belajar sejarah.
Sejarah adalah ilmu dan seni, tidak perlu malu mengakui dan khawatir bahwa sejarah akan banci. Dalam penerapan pembelajaran sejarah, kita perlu mengkomunikasikan kedua makna sejarah tersebut. Sebagai guru sejarah, tentu kita tidak memfokuskan dalam pengajaran seni. Tetapi dengan melihat unsur-unsur seni yang ada dalam sejarah, guru dapat menerapkan pembelajaran sejarah dengan memanfaatkan seni. Cara-cara yang ditempuh beragam melalui berbagai model dan metode pembelajaran. Tidak ada model yang paling cocok dan baik. Semua mempunyai kelebihan dan kekurangan. Gurulah sebagai fasilitator pembelajaran yang bertanggungjawab penggunaa model, metode, dan media apa yang paling tepat untuk pembelajaran.
Bahwa sejarah sebagai ilmu sudah jelas dasarnya, karena sejarah itu empiris, mempunyai objek, mempunyai teori, dan ada generalisasi. Sedangkan sejarah dikatakan seni karena sejarah perlu intuisi, imajinasi, emosi, dan gaya bahasa.
Justru dari sinilah sebenarnya kita bisa membuat improvisasi pembelajaran sejarah yang selama ini terkesan kering dan membosankan. Tentunya tidak bisa dipungkiri bahwa ada juga guru-guru yang kreatif, tetapi bisa kita hitung dengan jari. Dengan demikian, bahwa mendekatkan seni dalam pembelajaran sejarah sebenarnya sesuatu yang hukumnya wajib. Apa dasarnya? Pertama, bahwa mengajar dalam konsep yang lebih luas adalah mendidik. Mendidik itu adalah ilmu dan seni, jadi kalau mendidik tanpa seni, dipastikan guru tersebut tak bakal berhasil. Kedua, belajar melalui seni akan lebih baik bagi pengembangan otak anak. Mengapa? Sebab selama ini pembelajaran sejarah pada anak-anak kita terpaku menggunakan otak kiri seperti menghapal, mendefinisikan, dan sebaganya. Otak kanan mereka seperti dalam berimajinasi, berimprovisasi, lebih banyak diistirahatkan dari pada dioptimalkan. Kesan sebagian masyarakat selama ini adalah bahwa pengembangan IQ itu yang terpenting. Padahal menurut berbagai survei bahwa EQ itulah yang paling besar peranannya dalam mengantar keberhasilan individu. Melalui latihan seni itulah kita bisa mengembangkan EQ. Ketiga, seni itu menyenangkan, sebab filsafat estetika itu akan menghasilkan kesimpulan indah dan jelek, dan pasti seni yang kita nikmati adalah yang indah. Sementara keindahan akan menunculkan kesenangan, dan kesenangan akan menyebabkan siswa betah belajar sejarah.
Sejarah adalah ilmu dan seni, tidak perlu malu mengakui dan khawatir bahwa sejarah akan banci. Dalam penerapan pembelajaran sejarah, kita perlu mengkomunikasikan kedua makna sejarah tersebut. Sebagai guru sejarah, tentu kita tidak memfokuskan dalam pengajaran seni. Tetapi dengan melihat unsur-unsur seni yang ada dalam sejarah, guru dapat menerapkan pembelajaran sejarah dengan memanfaatkan seni. Cara-cara yang ditempuh beragam melalui berbagai model dan metode pembelajaran. Tidak ada model yang paling cocok dan baik. Semua mempunyai kelebihan dan kekurangan. Gurulah sebagai fasilitator pembelajaran yang bertanggungjawab penggunaa model, metode, dan media apa yang paling tepat untuk pembelajaran.