topikmrengkel
AKHIR DARI POLITIK ETISMeskipun pemerintah telah dapat melaksanakan pembangunan di berbagai bidang akan tetapi oleh karena Tujuan terutama sekali adalah untuk kepentingan induk dan kaum kapitalis Belanda, hasilnya tidak begitu terasa oleh rakyat. Bahkan kehidupan rakyat semakin tergantung kepada pengusaha pemilik modal sebagi penyewa tanah dan tenaganya. Tingkat kehidupan ekonomi rakyat tetap renda. Perbedaan di bidang ekonomi, sosial dan politik antara golongan asing dengan golongan pribumi sangat besar. Bahkan diskriminasi berdasarkan warna kulit semakin tajam. Karena menguntungkan, perbedaan yang menyolok tersebut tetap dipertahankan. Perkembangan yang didasarkan atas politik kesejahteraan serta politik asosiasimenimbulkan golongan intelektual Indonesia yang penuh dengan kesadaran akan harga dirinya dan sebaliknya sadar akan keadaan serba terbelakang dari masyarakatnya. Timbullah dan kesadaran kaum intelektul Indonesia itu aspirasi-aspirasi untuk mencapai kemajuan yang mereka anggap menjadi haknya dan hak masyarakatnya. Selama masa 1900-1914 terdapat suasana baik bagi politik etis dan tidak banya dengar kritik terhadapnya. Tetapi sejak 1914 masyarakat mulai bergolak dan banyak dilancarkan kecaman-kecaman bahwa politik etis telah gagal. Dalam kecaman itu juga diutarakan bahwapolitik paternalistis tidak memperhitungkan hasrat pada pribumi sendiri setelah ada kesadaran pada mereka. Begitupun dengan munculnya Pergerakan Nasional, maka politik asosiasi praktis kehilangan dasar existensinya. Perkembangan selanjutnya menunjukkan kecenderungan ke arah radikalisasi baik pada pihak pribumi maupun pada pihak Eropa. Pada pihak pribumi, lebih radikalnya pihak Pergerakan Nasional disebabkan oposisi yang dilakukan ditandai oleh perbedaan ras, sedangkan kebebasan dan kemerdekaan diberi prioritas lebih tinggi dan pada kesejahteraan. Menghadapi keadaan baru yang tumbuh di kalangan rakyat tersebut, di pihak kolonialis terdapat perbedaan pendapat. Ada yang menganjurkan untuk menggantikan politik bevoogding (mengasuh selaku wali) menjadi politik ontvoogding (mendewasakan), di mana sikap keras dan mengecarn lambat-laun harus dikurangi. Golongan yang menyokong Hindianisasi Indonesianisasi menganjurkan supaya nasionalisme dihadapi dengan meluaskan lembaga-lembaga pengajaran, aparat pemerintah dalam bidang sosial dan mencega penggunaan ukuran Barat. Dengan demikian secara Iangsung dikehendaki agar nasionalisme Indonesia diakui secara resmi. Pihak para penguasa, terutama Gubernur Jenderal, sangat menguatirkan perkembangan itu, oleh karena dipandang dapat mengancam kelangsungan hidup kolonialisme Belanda.Tantangan serupa juga terdapat dikalangan Belanda yang konservatif, baik pejabat pemerintah maupun pengusaha-pengusaha.
Perkembangan yang didasarkan atas politik kesejahteraan serta politik asosiasimenimbulkan golongan intelektual Indonesia yang penuh dengan kesadaran akan harga dirinya dan sebaliknya sadar akan keadaan serba terbelakang dari masyarakatnya. Timbullah dan kesadaran kaum intelektul Indonesia itu aspirasi-aspirasi untuk mencapai kemajuan yang mereka anggap menjadi haknya dan hak masyarakatnya.
Selama masa 1900-1914 terdapat suasana baik bagi politik etis dan tidak banya dengar kritik terhadapnya. Tetapi sejak 1914 masyarakat mulai bergolak dan banyak dilancarkan kecaman-kecaman bahwa politik etis telah gagal. Dalam kecaman itu juga diutarakan bahwapolitik paternalistis tidak memperhitungkan hasrat pada pribumi sendiri setelah ada kesadaran pada mereka. Begitupun dengan munculnya Pergerakan Nasional, maka politik asosiasi praktis kehilangan dasar existensinya. Perkembangan selanjutnya menunjukkan kecenderungan ke arah radikalisasi baik pada pihak pribumi maupun pada pihak Eropa. Pada pihak pribumi, lebih radikalnya pihak Pergerakan Nasional disebabkan oposisi yang dilakukan ditandai oleh perbedaan ras, sedangkan kebebasan dan kemerdekaan diberi prioritas lebih tinggi dan pada kesejahteraan. Menghadapi keadaan baru yang tumbuh di kalangan rakyat tersebut, di pihak kolonialis terdapat perbedaan pendapat. Ada yang menganjurkan untuk menggantikan politik bevoogding (mengasuh selaku wali) menjadi politik ontvoogding (mendewasakan), di mana sikap keras dan mengecarn lambat-laun harus dikurangi. Golongan yang menyokong Hindianisasi Indonesianisasi menganjurkan supaya nasionalisme dihadapi dengan meluaskan lembaga-lembaga pengajaran, aparat pemerintah dalam bidang sosial dan mencega penggunaan ukuran Barat. Dengan demikian secara Iangsung dikehendaki agar nasionalisme Indonesia diakui secara resmi. Pihak para penguasa, terutama Gubernur Jenderal, sangat menguatirkan perkembangan itu, oleh karena dipandang dapat mengancam kelangsungan hidup kolonialisme Belanda.Tantangan serupa juga terdapat dikalangan Belanda yang konservatif, baik pejabat pemerintah maupun pengusaha-pengusaha.