Asriangel161
Peristiwa merah putih di Manado merupakan bagian dari serangkaian peristiwa yang terjadi di Indonesia ketika pihak Sekutu berusaha untuk mengambil alih kembali kekuasaan akan Indonesia terlepas dari telah dideklarasikannya kemerdekaan oleh Soekarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Peristiwa ini sendiri terjadi pada tanggal 14 Februari 1946 dan merupakan gerak militer dari pasukan KNIL kompi VII yang pada saat itu ada di bawah pimpinan Ch. Taulu, dimana mereka kemudian merebut kekuasaan di beberapa lokasi di Indonesia dengan bantuan rakyat seperti Manado, Tomohon, dan Minahasa. Dari percobaan perebutan kekuasaan tersebut, ada sekitar 600 orang pasukan Belanda dan pejabat tinggi mereka yang berhasil ditawan. Pertempuran ini berakhir pada tanggal 16 Februari dimana mulai bertebaran sebuah selebaran berisi pernyataan perebutan kekuasaan di seluruh Manado oleh bangsa Indonesia. Peristiwa Merah Putih di Manado Peristiwa merah putih di Manado beserta beberapa peristiwa-peristiwa lainnya di Indonesia yang terjadi setelah deklarasi kemerdekaan tidak lepas dari kejadian bersejarah pada bulan Juli tahun 1944 dimana pada waktu itu Jepang mengalami kekalahan telak melawan pasukan Sekutu ketika mereka bertempur di atas lautan Pasifik. Kekalahan mereka ini membuat mereka mundur untuk memperkuat kubu pertahanan mereka di pulau Sulawesi dan di daerah Maluku Utara. Di bulan yang sama, Sam Ratulangi mengutus pemuda-pemuda untuk pergi ke Manado demi menyambut kemerdekaan yang akan dimiliki oleh Indonesia jika ternyata perang pasifik berakhir dengan hancurnya pasukan Jepang oleh pihak Sekutu. Utusan yang ia kirim ini beranggotakan Mantik Pakasi dan Freddy Lumanauw sebagai utusan tentara, dan Wim Pangalila, Buce Ompi, serta Olang Sondakh sebagai perwakilan pemuda. Mereka pergi menggunakan kereta ke Surabaya, dan melanjutkan perjalanan menggunakan Dai yu Maru menuju Manado. Dua bulan setelah perngutusan pemuda oleh Sam Ratulangi menuju Manado, tiba-tiba muncul pesawat pembom B-29 yang merupakan properti perang udara milik Angkatan Udara Sekutu. Pesawat-pesawat yang berjumlah puluhan itu kemudian menghujani Manado dengan bom, dan meratakannya dengan tanah, mengubah setiap gedung yang terlihat menjadi tak lebih dari gundukan sampah, dan menewaskan banyak penduduk. Hal ini kemudian memicu kecurigaan Jepang bahwa ada mata-mata Sekutu yang berperan ganda sebagai tokoh nasionalis. Di bulan September 1944 ini juga kubu pertahanan Jepang di Sulawesi Utara dan Morotai berhasil ditaklukkan oleh Jenderal Mac Arthur sebelum ia bertolak ke Leyte, Filipina.
Selama pertengahan tahun April 1945 hingga awal Februari 1946, terjadi lagi banyak konflik atau hal-hal yang menuntun kepada terjadinya peristiwa merah putih di Manado. Pada bulan April hingga Agustus 1945 misalnya, dimana Pimpinan Kaigun menyiapkan kemerdekaan Indonesia, sesuai dengan apa yang pernah ia janjikan dahulu kala. Pada masa itu, bendera merah-putih dikibarkan bersebelahan dengan bendera nasional Jepang, yaitu Hinomaru. Pada bulan September di bulan yang sama, NICA dan Belanda yang saat itu ada di bawah perlindungan pasukan Sekutu dengan senang hati masuk ke area Indonesia, dan terlepas dari seluruh usaha yang mereka lakukan, mereka tetap tidak berhasil menciptakan dampak apapun terhadap kehidupan bermasyarakat, berpolitik, maupun ekonomi.
Pada bulan terakhir tahun 1945, Manado mulai sedikit lega dengan perginya seluruh pasukan Sekutu dari tanah itu. Perginya Sekutu tidak berarti kedamaian, karena mereka pada akhirnya menyerahkan tugas yang tengah mereka jalani secara total kepada NICA-KNIL yang dipimpin oleh seorang Inggris. Pada bulan Februari 1946, pasukan KNIL yang ada di Teiling masih dicurigai oleh pihak Belanda. Pihak Belanda juga mengeluarkan perintah strength arrest kepada para pemimpin mereka, yaitu Furir Taulu, Wuisan, Frans Lantu, Wim Tamburian, Wangko Sumanti, dan Yan Sambuaga karena mereka dinilai merupakan penghasut tentara Indonesia.. Pada tanggal 14 Februari, barulah peristiwa merah putih di Manado terjadi. Bagian akhir peristiwa merah putih di Manado terjadi pada tanggal 15 dan 16 Ferbuari, hanya satu hingga dua hari setelah peristiwa ini dimulai. Pada tanggal 15 Ferbruari 1946, komandan KNIL pada waktu itu yang bernama De Vries tertangkap dan menjadi tawanan, hingga ia dihadapkan kepada Taulu dan Wuisan demi membuat kesepakatan akan perselisihan yang terjadi ini. De Vries, seperti layaknya pimpinan lain, bertanya apakah kudeta militer yang akan dilakukan oleh pihak Indonesia akan menjamin keselamatan pasukannya. Pada saat itu, sebenernya Taulu tahu bahwa mereka sedang terdesak dan akan kalah, tapi ia kemudian berkata bahwa mereka sedang berjuang bersama pemuda Indonesia, dan akan mempertahankan perjuangan itu. Setelah kejadian ini, seluruh daerah Minahasa kemudian mulai melihat prosesi pengibaran bendera Merah-Putih. #maaf kalau salah
Peristiwa Merah Putih di Manado
Peristiwa merah putih di Manado beserta beberapa peristiwa-peristiwa lainnya di Indonesia yang terjadi setelah deklarasi kemerdekaan tidak lepas dari kejadian bersejarah pada bulan Juli tahun 1944 dimana pada waktu itu Jepang mengalami kekalahan telak melawan pasukan Sekutu ketika mereka bertempur di atas lautan Pasifik. Kekalahan mereka ini membuat mereka mundur untuk memperkuat kubu pertahanan mereka di pulau Sulawesi dan di daerah Maluku Utara. Di bulan yang sama, Sam Ratulangi mengutus pemuda-pemuda untuk pergi ke Manado demi menyambut kemerdekaan yang akan dimiliki oleh Indonesia jika ternyata perang pasifik berakhir dengan hancurnya pasukan Jepang oleh pihak Sekutu. Utusan yang ia kirim ini beranggotakan Mantik Pakasi dan Freddy Lumanauw sebagai utusan tentara, dan Wim Pangalila, Buce Ompi, serta Olang Sondakh sebagai perwakilan pemuda. Mereka pergi menggunakan kereta ke Surabaya, dan melanjutkan perjalanan menggunakan Dai yu Maru menuju Manado.
Dua bulan setelah perngutusan pemuda oleh Sam Ratulangi menuju Manado, tiba-tiba muncul pesawat pembom B-29 yang merupakan properti perang udara milik Angkatan Udara Sekutu. Pesawat-pesawat yang berjumlah puluhan itu kemudian menghujani Manado dengan bom, dan meratakannya dengan tanah, mengubah setiap gedung yang terlihat menjadi tak lebih dari gundukan sampah, dan menewaskan banyak penduduk. Hal ini kemudian memicu kecurigaan Jepang bahwa ada mata-mata Sekutu yang berperan ganda sebagai tokoh nasionalis. Di bulan September 1944 ini juga kubu pertahanan Jepang di Sulawesi Utara dan Morotai berhasil ditaklukkan oleh Jenderal Mac Arthur sebelum ia bertolak ke Leyte, Filipina.
Selama pertengahan tahun April 1945 hingga awal Februari 1946, terjadi lagi banyak konflik atau hal-hal yang menuntun kepada terjadinya peristiwa merah putih di Manado. Pada bulan April hingga Agustus 1945 misalnya, dimana Pimpinan Kaigun menyiapkan kemerdekaan Indonesia, sesuai dengan apa yang pernah ia janjikan dahulu kala. Pada masa itu, bendera merah-putih dikibarkan bersebelahan dengan bendera nasional Jepang, yaitu Hinomaru. Pada bulan September di bulan yang sama, NICA dan Belanda yang saat itu ada di bawah perlindungan pasukan Sekutu dengan senang hati masuk ke area Indonesia, dan terlepas dari seluruh usaha yang mereka lakukan, mereka tetap tidak berhasil menciptakan dampak apapun terhadap kehidupan bermasyarakat, berpolitik, maupun ekonomi.
Pada bulan terakhir tahun 1945, Manado mulai sedikit lega dengan perginya seluruh pasukan Sekutu dari tanah itu.
Perginya Sekutu tidak berarti kedamaian, karena mereka pada akhirnya menyerahkan tugas yang tengah mereka jalani secara total kepada NICA-KNIL yang dipimpin oleh seorang Inggris.
Pada bulan Februari 1946, pasukan KNIL yang ada di Teiling masih dicurigai oleh pihak Belanda. Pihak Belanda juga mengeluarkan perintah strength arrest kepada para pemimpin mereka, yaitu Furir Taulu, Wuisan, Frans Lantu, Wim Tamburian, Wangko Sumanti, dan Yan Sambuaga karena mereka dinilai merupakan penghasut tentara Indonesia.. Pada tanggal 14 Februari, barulah peristiwa merah putih di Manado terjadi.
Bagian akhir peristiwa merah putih di Manado terjadi pada tanggal 15 dan 16 Ferbuari, hanya satu hingga dua hari setelah peristiwa ini dimulai. Pada tanggal 15 Ferbruari 1946, komandan KNIL pada waktu itu yang bernama De Vries tertangkap dan menjadi tawanan, hingga ia dihadapkan kepada Taulu dan Wuisan demi membuat kesepakatan akan perselisihan yang terjadi ini. De Vries, seperti layaknya pimpinan lain, bertanya apakah kudeta militer yang akan dilakukan oleh pihak Indonesia akan menjamin keselamatan pasukannya. Pada saat itu, sebenernya Taulu tahu bahwa mereka sedang terdesak dan akan kalah, tapi ia kemudian berkata bahwa mereka sedang berjuang bersama pemuda Indonesia, dan akan mempertahankan perjuangan itu. Setelah kejadian ini, seluruh daerah Minahasa kemudian mulai melihat prosesi pengibaran bendera Merah-Putih.
#maaf kalau salah