kimiaku1 Sejak tahun 1983 Sistem Perpajakan di Indonesia menganut sistem "self Assesment" yang menggantikan sistem "Official Assestment". Apa perbedaan dari kedua sistem perpajakan tersebut?
Dalam sistem Official Assesment, tanggung jawab pemungutan pajak terletak sepenuhnya pada penguasa pemerintahan yang diwakili oleh fiskus sebagaimana tercermin dalam sistem penetapan pajak yang sepenuhnya menjadi wewenang administrasi perpajakan. Wajib pajak hanya berperan sebagai pembayar jumlah pajak yang sebelumnya telah ditetapkanoleh fiskus. Sedangkan Dalam sistem Self Assesment terdapat pemberian kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk melakukan sendiri kewajiban perpajakannya, mulai dari mendaftarkan diri, kemudian menghitung, menyetor dan melaporkan pajak terutangnya.
Sistem Self Assesment memberikan konsekuensi yang berat bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban-kewajiban perpajakan yang dibebankan kepadanya. Secara otomatis, sanksi yang dijatuhkan akan lebih berat, yakni berupa denda bunga, ataupun kenaikan jumlah pajak yang terutang. Dalam beberapa hal, bahkan hukuman yang dikenakan akan sangat berat, seperti halnya sandera pajak(gijzeling) ataupun pidana pajak. Oleh karena itu, sistem Self Assessment mewajibkan wajib pajak untuk lebih mendalami peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku agar Wajib Pajak dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik.
Ya Sistem Self Assestment memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk melakukan sendiri kewajiban perpajakannya khususnya dalam hal menghitung. Yang patut menjadi pertanyaan adalah seberapa besarkah wajib pajak tersebut dipercaya untuk menghitung sendiri pajaknya? Disinilah kemudian timbul celah-celah yang banyak dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan dalam hal otak-atik pajak terhutang. Namun tidak semua Wajib Pajak tentunya mengerti mengenai aturan perpajakan yang berlaku di Indonesia yang dinamikanya terus terjadi. Sedangkan sistem Self Assestment secara tanggung jawab akan membuat Wajib Pajak Wajib memahami ketentuan yang berlaku dalam aturan perpajakan Indonesia. Ada Pula Wajib Pajak yang tidak mau ambil pusing dan menyerahkan penghitungan kewajiban pajaknya kepada perusahaan penyedia jasa keuangan untuk perhitungan dan pelaporan pajak.
Apa saja celah-celah yang banyak dimanfaatkan oleh Wajib Pajak dari sistem Self Assestment ini? (Celah-celah inilah yang kemudian banyak meledak menjadi kasus Perpajakan yang bukan hanya menyeret Wajib Pajak melainkan juga Fiskus (petugas perpajakan).
1. Berburu Status "Kurang Bayar" pada Pajak Terhutang
Kelemahan sistem self assestment adalah dalam hal Pengawasan ataupun Pemeriksaan kepada Wajib Pajak oleh Pemungut Pajak (Fiskus). Hal ini disebabkan karena jumlah Wajib Pajak Otomatis lebih banyak daripada petugas pemungut pajak. Fiskus hanya akan melakukan pemeriksaan kepada wajib pajak yang status pajak terhutangnya adalah "Lebih Bayar". Dapat terjadi "Lebih Bayar" dalam suatu Hutang sudah barang tentu menjadi hal aneh. Sehingga fiskus menyimpulkan bahwa terjadi kesemrawutan dalam penghitungan pajak terhutang oleh Wajib Pajak. Banyak wajib pajak yang tidak mengerti benar bagaimana sebenarnya perhitungan pajak terutama pajak Tahunan. Sehingga akhirnya wajib pajak ini pun akhirnya menyerahkan perhitungan pajaknya dengan menggunakan jasa Keungan untuk penghitungan dan pelaporan pajaknya. Nah, dengan keterampilan dan kejelian perusahaan penyedia jasa keuangan ini, maka wajib pajak dalam laporan pajaknya lebih banyak berada pada status "Kurang Bayar" karena lebih aman. Logikanya jika bayar hutang kurang kan tinggal bayar kekurangannya saja dan menjadi aman alias petugas pajak (fiskus) akan menilai bahwa laporan keuangan dan laporan pajaknya adalah Wajar. Padahal belum tentu itu adalah laporan "real".
2. Penyembunyian Transaksi "Real" dalam penyajian Laporan Keuangan
Kembali ke sisi pemeriksaan pajak jika terjadi status "Lebih Bayar" dan mengakibatkan Wajib Pajak diperiksa habis-habisan laporan keuangan dan juga transaksi keuangannya oleh petugas pajak, pada akhirnya akan membuat wajib pajak berpikir bagaimana caranya agar Laporan itu rapi dan diakhir tahun pajak status pajak menjadi "kurang bayar". Akhirnya jadilah laporan keuangan di perusahaan dibuat menjadi dua versi yaitu laporan yang sebenarnya (biasanya disebut laporan intern) dan laporan keuangan untuk petugas pajak (biasanya disebut laporan eksternal). Keuntungan perusahaan yang akan menjadi objek pajak biasanya tersaji dalam laporan intern dan kemudian di laporan eksternal (untuk petugas pajak) akan terbalik menjadi laporan sengan status "rugi". Dan penyajian kerugian dan keuntungan ini pun sangat rapi, mengapa? Karena dokumen pendukung berupa bon-bon atau faktur dll yang ada di dalam kantor perusahaan biasanya adalah yang mendukung laporan eksternal untuk petugas pajak. Sedangkan dokumen yang mendukung laporan real tak tahu bersembunyi di mana.
Sejak tahun 1983 Sistem Perpajakan di Indonesia menganut sistem "self Assesment" yang menggantikan sistem "Official Assestment". Apa perbedaan dari kedua sistem perpajakan tersebut?
Dalam sistem Official Assesment, tanggung jawab pemungutan pajak terletak sepenuhnya pada penguasa pemerintahan yang diwakili oleh fiskus sebagaimana tercermin dalam sistem penetapan pajak yang sepenuhnya menjadi wewenang administrasi perpajakan. Wajib pajak hanya berperan sebagai pembayar jumlah pajak yang sebelumnya telah ditetapkanoleh fiskus. Sedangkan Dalam sistem Self Assesment terdapat pemberian kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk melakukan sendiri kewajiban perpajakannya, mulai dari mendaftarkan diri, kemudian menghitung, menyetor dan melaporkan pajak terutangnya.
Sistem Self Assesment memberikan konsekuensi yang berat bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban-kewajiban perpajakan yang dibebankan kepadanya. Secara otomatis, sanksi yang dijatuhkan akan lebih berat, yakni berupa denda bunga, ataupun kenaikan jumlah pajak yang terutang. Dalam beberapa hal, bahkan hukuman yang dikenakan akan sangat berat, seperti halnya sandera pajak(gijzeling) ataupun pidana pajak. Oleh karena itu, sistem Self Assessment mewajibkan wajib pajak untuk lebih mendalami peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku agar Wajib Pajak dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik.
Ya Sistem Self Assestment memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk melakukan sendiri kewajiban perpajakannya khususnya dalam hal menghitung. Yang patut menjadi pertanyaan adalah seberapa besarkah wajib pajak tersebut dipercaya untuk menghitung sendiri pajaknya? Disinilah kemudian timbul celah-celah yang banyak dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan dalam hal otak-atik pajak terhutang. Namun tidak semua Wajib Pajak tentunya mengerti mengenai aturan perpajakan yang berlaku di Indonesia yang dinamikanya terus terjadi. Sedangkan sistem Self Assestment secara tanggung jawab akan membuat Wajib Pajak Wajib memahami ketentuan yang berlaku dalam aturan perpajakan Indonesia. Ada Pula Wajib Pajak yang tidak mau ambil pusing dan menyerahkan penghitungan kewajiban pajaknya kepada perusahaan penyedia jasa keuangan untuk perhitungan dan pelaporan pajak.
Apa saja celah-celah yang banyak dimanfaatkan oleh Wajib Pajak dari sistem Self Assestment ini? (Celah-celah inilah yang kemudian banyak meledak menjadi kasus Perpajakan yang bukan hanya menyeret Wajib Pajak melainkan juga Fiskus (petugas perpajakan).
1. Berburu Status "Kurang Bayar" pada Pajak Terhutang
Kelemahan sistem self assestment adalah dalam hal Pengawasan ataupun Pemeriksaan kepada Wajib Pajak oleh Pemungut Pajak (Fiskus). Hal ini disebabkan karena jumlah Wajib Pajak Otomatis lebih banyak daripada petugas pemungut pajak. Fiskus hanya akan melakukan pemeriksaan kepada wajib pajak yang status pajak terhutangnya adalah "Lebih Bayar". Dapat terjadi "Lebih Bayar" dalam suatu Hutang sudah barang tentu menjadi hal aneh. Sehingga fiskus menyimpulkan bahwa terjadi kesemrawutan dalam penghitungan pajak terhutang oleh Wajib Pajak. Banyak wajib pajak yang tidak mengerti benar bagaimana sebenarnya perhitungan pajak terutama pajak Tahunan. Sehingga akhirnya wajib pajak ini pun akhirnya menyerahkan perhitungan pajaknya dengan menggunakan jasa Keungan untuk penghitungan dan pelaporan pajaknya. Nah, dengan keterampilan dan kejelian perusahaan penyedia jasa keuangan ini, maka wajib pajak dalam laporan pajaknya lebih banyak berada pada status "Kurang Bayar" karena lebih aman. Logikanya jika bayar hutang kurang kan tinggal bayar kekurangannya saja dan menjadi aman alias petugas pajak (fiskus) akan menilai bahwa laporan keuangan dan laporan pajaknya adalah Wajar. Padahal belum tentu itu adalah laporan "real".
2. Penyembunyian Transaksi "Real" dalam penyajian Laporan Keuangan
Kembali ke sisi pemeriksaan pajak jika terjadi status "Lebih Bayar" dan mengakibatkan Wajib Pajak diperiksa habis-habisan laporan keuangan dan juga transaksi keuangannya oleh petugas pajak, pada akhirnya akan membuat wajib pajak berpikir bagaimana caranya agar Laporan itu rapi dan diakhir tahun pajak status pajak menjadi "kurang bayar". Akhirnya jadilah laporan keuangan di perusahaan dibuat menjadi dua versi yaitu laporan yang sebenarnya (biasanya disebut laporan intern) dan laporan keuangan untuk petugas pajak (biasanya disebut laporan eksternal). Keuntungan perusahaan yang akan menjadi objek pajak biasanya tersaji dalam laporan intern dan kemudian di laporan eksternal (untuk petugas pajak) akan terbalik menjadi laporan sengan status "rugi". Dan penyajian kerugian dan keuntungan ini pun sangat rapi, mengapa? Karena dokumen pendukung berupa bon-bon atau faktur dll yang ada di dalam kantor perusahaan biasanya adalah yang mendukung laporan eksternal untuk petugas pajak. Sedangkan dokumen yang mendukung laporan real tak tahu bersembunyi di mana.