Perusahaan Indonesia yang sebelumnya diuntungkan pinjaman berbunga rendah berdenominasi dolar AS (karena suku bunga AS rendah pada awal 1990-an untuk mengatasi resesi) kini kelimpungan memenuhi kewajibannya karena nilai dolar yang melonjak cepat. Apalagi, kepercayaan kreditur luar terhadap Indonesia menguap dan permintaan kredit baru ditolak. Ketiadaan data mengenai utang luar negeri swasta juga menyulitkan pemerintah merumuskan kebijakan mengatasi masalah ini.
Perbankan Rapuh
Pada 1 November 1997, sehari setelah kesepakatan pertama dengan IMF, 16 bank swasta dicabut izin usahanya. Simpanan yang dikembalikan ke nasabah maksimal sebesar 20 juta rupiah. Ini pun membuat masyarakat ketakutan bahwa bank lain juga menyusul dibekukan dan mulai menarik simpanannya atau memindahkannya ke bank yang dianggap lebih kuat.
Perbankan Indonesia sebelumnya mengalami booming setelah kebijakan Paket 27 Oktober 1988 dan 25 Maret 1989 membuat seseorang bisa mendirikan bank dengan modal sekecil-kecilnya 10 miliar rupiah dan mempermudah pendirian BPR maupun bank campuran. Jumlah bank berlipat, dari 111 pada 1988 menjadi 240 pada 1995. Demikian pula penghimpunan dana nasabah dari 37,46 triliun rupiah pada 1988 menjadi 214,76 triliun rupiah pada 1995.
Namun, pengawasan perbankan oleh Bank Indonesia buruk dan pengelolaan bank tidak prudent. Kredit secara jor-joran dipompa ke perusahaan. Terjadi pelanggaran terhadap batas maksimum pemberian kredit. Ini pun menjadi masalah karena peningkatan kredit macet ketika krisis mata uang terjadi. Debitur, termasuk pula perusahaan yang terafiliasi dengan bank, tak dapat memenuhi kewajibannya pada bank.
Pada awal krisis saja (Agustus 1997), ada 20 bank memiliki saldo debet (negatif) di Bank Indonesia. Namun, Bank Indonesia pada 15 Agustus 1997 memutuskan bahwa bank tetap bisa mengikuti kliring walau memiliki saldo debet. Untuk memberi nafas bank, Bank Indonesia meluncurkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang jumlahnya mencapai 144,5 triliun rupiah yang dipompa ke 48 bank. Pengucurannya menjadi kontroversi dan tidak seluruh dana ini kembali ke Bank Indonesia. Malahan, jumlah bank bersaldo debet naik menjadi 39.
Pada April 1998, 7 bank swasta lagi ditutup. Puncaknya, Bank Central Asia sempat menjadi bank BUMN per 28 Mei 1998 setelah diambilalih pemerintah RI dan mengalami rush pada bulan tersebut. Rasio, kecukupan modal perbankan pada 1998 adalah -15,7% , artinya perbankan Indonesia secara umum kekurangan modal.
Utang Dolar dan Kacaunya Perekonomian
Perusahaan Indonesia yang sebelumnya diuntungkan pinjaman berbunga rendah berdenominasi dolar AS (karena suku bunga AS rendah pada awal 1990-an untuk mengatasi resesi) kini kelimpungan memenuhi kewajibannya karena nilai dolar yang melonjak cepat. Apalagi, kepercayaan kreditur luar terhadap Indonesia menguap dan permintaan kredit baru ditolak. Ketiadaan data mengenai utang luar negeri swasta juga menyulitkan pemerintah merumuskan kebijakan mengatasi masalah ini.
Perbankan Rapuh
Pada 1 November 1997, sehari setelah kesepakatan pertama dengan IMF, 16 bank swasta dicabut izin usahanya. Simpanan yang dikembalikan ke nasabah maksimal sebesar 20 juta rupiah. Ini pun membuat masyarakat ketakutan bahwa bank lain juga menyusul dibekukan dan mulai menarik simpanannya atau memindahkannya ke bank yang dianggap lebih kuat.
Perbankan Indonesia sebelumnya mengalami booming setelah kebijakan Paket 27 Oktober 1988 dan 25 Maret 1989 membuat seseorang bisa mendirikan bank dengan modal sekecil-kecilnya 10 miliar rupiah dan mempermudah pendirian BPR maupun bank campuran. Jumlah bank berlipat, dari 111 pada 1988 menjadi 240 pada 1995. Demikian pula penghimpunan dana nasabah dari 37,46 triliun rupiah pada 1988 menjadi 214,76 triliun rupiah pada 1995.
Namun, pengawasan perbankan oleh Bank Indonesia buruk dan pengelolaan bank tidak prudent. Kredit secara jor-joran dipompa ke perusahaan. Terjadi pelanggaran terhadap batas maksimum pemberian kredit. Ini pun menjadi masalah karena peningkatan kredit macet ketika krisis mata uang terjadi. Debitur, termasuk pula perusahaan yang terafiliasi dengan bank, tak dapat memenuhi kewajibannya pada bank.
Pada awal krisis saja (Agustus 1997), ada 20 bank memiliki saldo debet (negatif) di Bank Indonesia. Namun, Bank Indonesia pada 15 Agustus 1997 memutuskan bahwa bank tetap bisa mengikuti kliring walau memiliki saldo debet. Untuk memberi nafas bank, Bank Indonesia meluncurkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang jumlahnya mencapai 144,5 triliun rupiah yang dipompa ke 48 bank. Pengucurannya menjadi kontroversi dan tidak seluruh dana ini kembali ke Bank Indonesia. Malahan, jumlah bank bersaldo debet naik menjadi 39.
Pada April 1998, 7 bank swasta lagi ditutup. Puncaknya, Bank Central Asia sempat menjadi bank BUMN per 28 Mei 1998 setelah diambilalih pemerintah RI dan mengalami rush pada bulan tersebut. Rasio, kecukupan modal perbankan pada 1998 adalah -15,7% , artinya perbankan Indonesia secara umum kekurangan modal.